THE GENTLEMEN (2019)

7 komentar
Mickey Pearson (Matthew McConaughey) sang Raja ganja di Inggris hendak pensiun dan menjual bisnisnya. Tapi The Gentlemen bukan potret seorang gangster yang tengah mencari kedamaian. Tidak ada kedamaian di sini, tidak ada upaya menggali sisi kemanusiaan dari para kriminal. Bukan pula mengenai benturan kekuasaan antar generasi gangster maupun perenungan tentang kematian yang menggelayuti pelaku dunia hitam, sebab The Gentlemen menandai kembalinya Guy Ritchie ke “akarnya” melalui suguhan komedi/kriminal bergaya yang melambungkan namanya dahulu.

Jika familiar dengan filmografi sang sutradara/penulis naskah, anda tentu tahu bahwa substansi tidak seberapa diperhatikan. Kisahnya dibuka saat Mickey berjalan memasuki bar, meminum bir, melakukan panggilan telepon, lalu seseorang yang wajahnya tak diperlihatkan berdiri di belakangnya, menodongkan senjata, dan layar menampilkan cipratan darah di gelas bir. Apa yang terjadi?

Jawaban atas pertanyaan tersebut takkan didapat secara instan. Tidak sebelum kita menyaksikan peristiwa-peristiwa liar yang diceritakan oleh Fletcher (Hugh Grant), seorang detektif swasta, kepada Raymond (Charlie Hunnam), tangan kanan Mickey. Fletcher disewa oleh Big Dave (Eddie Marsan), editor tabloid Daily Print, yang menyimpan dendam, sehingga ingin menjatuhkan Mickey dengan cara mengungkap rahasianya. Bukannya melaporkan hasil temuan pada Big Dave, Fletecher justru menawarkan itu pada Raymond dengan harga £20 juta.

Fletcher menceritakan seluruh temuannya, dan kita pun dibawa mengikuti perjalanan panjang yang membentang dari paparan masa lalu Mickey, sampai intrik-intrik yang melibatkan para pengincar kekuasaan dunia gelap perdagangan mariyuana. Ada Matthew Berger (Jeremy Strong) si milyuner Amerika Serikat yang berniat membeli semua lahan mariyuana Mickey, Dry Eye (Henry Golding) si anggota gangster Cina yang penuh ambisi, hingga seorang pelatih tinju tanpa nama (Colin Farrell) yang kebetulan terseret akibat ulah murid-muridnya.

Dalam merangkai naskahnya, Ritchie bermain-main menggunakan Fletcher selaku unreliable narrator yang gemar memalsukan cerita hanya karena iseng atau memperseru situasi. Tentu sebenarnya Ritchie yang ingin memperseru situasi. Tapi berkat penokohan Fletcher, mudah bagi kita menerima keliaran narasinya. Mudah menerima kala rasio aspek layar berubah agar tampak bak film zaman dulu atau ketika segelintir humor meta dilontarkan Fletcher. Mudah juga menerima saat beberapa kejadian diralat dan ternyata hanya rekaan yang dia pakai untuk menambah bumbu.

The Gentlemen memang kaya akan bumbu. Bumbu berupa ciri sang sutradara, yang meliputi: gerak lambat, penyuntingan kilat, dan banyak twist yang tak perlu repot-repot kita pikirkan logika serta kepentingannya, karena sekali lagi, hal-hal semacam esensi bukan budaya film-film Guy Ritchie. Budaya film-film Guy Ritchie adalah keseruan sarat machismo keren para gentlemen yang sekilas nampak bermartabat dengan setelan jas necis yang sesungguhnya adalah topeng penutup kebengisan.

Dampaknya, sewaktu adegan aksi (yang secara mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa) atau pameran gaya Ritchie tak mengisi layar, dinamika dan daya tarik filmnya turut mengendur. Ritchie bukan seorang pencerita mumpuni, alhasil sewaktu gaya itu dilucuti, pacing-nya melemah, seolah The Gentlemen kehilangan daya. Pertanyaannya, seberapa sering itu terjadi? Untungnya tidak terlalu, mengingat elemen-elemen lain turut mengulurkan bantuan.

Selain barisan musik asyik yang tak pernah absen dari judul-judul Ritchie, performa para pemainnya mengibur lewat keberhasilan menghidupkan image jajaran “penjahat brutal berkelas”. McConaughey, Hunnam, dan Farrell menyimpan hewan buas di balik ketenangan mereka. Hewan buas yang lebih sering dilepaskan dari kandang oleh Golding dalam peran yang berlawanan dengan sosok pria kharismatik baik-baik yang mulai identik dengan dirinya. Begitu pun Grant. Selalu menyenangkan melihat Grant melawan stereotip. Sebaliknya, selalu menyenangkan melihat Ritchie tidak berusaha mengubah image dalam berkarya.

7 komentar :

Comment Page:
tegar mengatakan...

IMHO, GUY RITCHIE tidak pernah gagal...film2nya selalu mempesona..

adnanman mengatakan...

Charlie hunnam sdh beberapa jali dipake sm guy ritchie. Kira2 menurut mas rasyid sudah bisa gantiin perannya aktor langganannya guy ritchie spt jason statham ato dexter fletcher

Rasyidharry mengatakan...

Baru kedua sih ini, tapi emang cocok sama gaya machismo khas Ritchie. Pasti lebih sering dipake lagi ke depannya

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Jika film2 QT sering berisi dialog yang terkesan bertele2, maka film2 Guy Richie adalah konflik atau plot yang bertele-tele (Both in good ways).

Gimana bang?

Harllie mengatakan...

Entah mengapa setiap nonton film Guy Ritchie pasti teringat film Martin McDonagh, sama2 film gangster tp masing2 punya style dan ciri khas tersendiri.

Unknown mengatakan...

Ada link film.a gk kk?

Unknown mengatakan...

Nnton dimana the gentlemannya guys?