TOKO BARANG MANTAN (2020)

9 komentar
Toko Barang Mantan relevan untuk masa sekarang, di mana kata “mantan” dipandang begitu dramatis, sementara keambyaran diagungkan. Kisahnya tentang Tristan (Reza Rahadian) si “mahasiswa abadi” yang rela meninggalkan kuliah demi mengelola Toko Barang Mantan. Seperti namanya, toko ini melayani jual-beli barang-barang kenangan pemberian mantan. Bila sunguh-sungguh ada di dunia nyata, mungkin toko ini sudah viral. Tapi tidak di filmnya. Bahkan Tristan sampai kesulitan membayar sewa gedung.

Kenapa? Mungkin akibat kengototan Tristan untuk tidak berpromosi lewat media sosial. Menurutnya, proses tatap muka antara penjual dan pembeli wajib terjadi, demi pemaknaan mendalam terhadap barangnya. Mungkin juga karena sebagai seseorang yang tidak percaya cinta, bahkan sampai menyebutnya “tai kucing”, Tristan tidak cocok menjalankan bisnis ini. Jadi bagaimana bisa sosok skeptis sekaligus idealis sepertinya terpikir akan konsep tersebut? Konsep yang semestinya hanya dipedulikan oleh mereka yang memuja cinta (terkadang secara berlebihan) beserta segala kenangannya.

Inkonsistensi itulah kelemahan terbesar Toko Barang Mantan. Penceritaan, yang dimotori Viva Westi (Jenderal Soedirman, Koki-Koki Cilik 2) di kursi sutradara dan Titien Wattimena (trilogi Dilan) selaku penulis naskah, memang tak sebegitu solid. Tampak dari beberapa menit awal yang berlangsung cepat cenderung buru-buru, berantakan, dan sulit diikuti. Satu per satu konsumen mengunjungi Tristan dan dua karyawannya, Rio (Iedil Dzuhrie Alaudin) dan Amel (Dea Panendra), guna menjual barang pemberian mantan masing-masing, yang juga memfasilitasi penampilan deretan cameo.

Humor absurd mengiringi kemunculan tiap konsumen, yang sejatinya tidak dibarengi materi dasar kuat, namun setidaknya berhasil memancing senyum berkat penampilan maksimal jajaran cast, di mana mereka tak jarang melakukan improvisasi, yang berjasa memperkuat kesan organik. Nanti saya bakal membahas Reza Rahadian, tapi pertama-tama pujian harus diberikan kepada Dea Panendra, yang sekali lagi melahirkan karakter pendukung memorable. Asyik, sesekali menggelitik, pun berperan menambah bobot emosi kala melakoni adegan dramatis.

Kealamian akting juga memegang kunci dalam presentasi romansa Tristan dan Laras (Marsha Timothy). Laras merupakan mantan Tristan semasa kuliah. Bisa dibilang mantan terindah, sebab hingga kini, Tristan masih menyimpan perasaan. Tapi reuni keduanya dibarengi hal mengejutkan, saat Laras memberikan undangan pernikahan. Dahulu, Laras pergi karena Tristan selalu enggan mengucap kata “cinta”. Sekarang permasalah serupa lagi-lagi jadi penghalang usaha Tristan merebut kembali hati sang mantan.

Penokohan Tristan dan Laura yang sama-sama keras, memproduksi dinamika berupa naik-turun rasa yang amat dibutuhkan sajian romansa. Rasa manis saat keduanya saling menggoda, atau kepedihan sewaktu pertengkaran pecah, semua terasa nyata berkat penampilan Reza dan Marsha yang memang “nyata”. Di satu titik, Tristan mengutarakan kekagumannya atas respon malu-malu Laras. Di situ, Marsha mampu menunjukkan bagaimana seseorang yang sedang jatuh cinta dibuat tersipu mendengar gombalan-gombalan, yang walau ditampik oleh otak, nyatanya membuat hati tidak karuan.

Saya selalu lebih menyukai penampilan Reza di film-film sederhana seperti ini ketimbang transformasi ekstrim yang kerap ia lakukan. Karena seperti sudah sering saya sampaikan di ulasan-ulasan lain, minimal di generasi ini, tidak ada pelakon lain yang sebaik Reza dalam urusan kreativitas mengolah emosi, memainkan intonasi, dan mengeksplorasi ragam aksi-reaksi saat berakting. Natural sekaligus jauh dari monoton.

Viva Westi sadar betul kapasitas kedua pemain utamanya, lalu menggantungkan semua urusan membentuk rasa kepada mereka. Tidak banyak modifikasi atau inovasi di pengadeganan. Kamera lebih sering mengambil posisi close up agar menangkap ekspresi aktor semaksimal mungkin. Dan itu bukan masalah, melainkan keberhasilan memanfaatkan potensi. Satu-satunya kelemahan adalah, begitu konfik memanas meningkat, sutradara terlalu bergantung pada peningkatan intensitas melalui adu teriakan. Tapi itu pun bukan dosa besar. Tidak sebesar dosa mantan yang meninggalkan kita saat sedang sayang-sayangnya.

9 komentar :

Comment Page:
adnanman mengatakan...

Wkwkwk kalimat terakhir merupakan curhatan mas rasyid ?
Btw film kajeng kliwon ngga direview mas ? Lumayan untuk nambah list yg "itu"

Chan hadinata mengatakan...

Kalimat terakhir "itu juga dosa sayang"
Murni - Ratu Ilmu Hitam

Aunul Hakim mengatakan...

Endingnya juga ngeselin mas. Udah kayak me vs mami aja yang sama2 produksi mnc juga. Padahal di pertengahan udah mulai nyaman ngikutin alurnya setelah di menit2 awal kayak ngacak banget.

Unknown mengatakan...

Haha setuju. Menit2 awal ngacak. Terutama yg awal banget itu perpindahan scene per scene nya kayak kasar bgt. Tengah mulai engaging karena acting reza n marsha. Eh endingnya bisa tiba2 keadaan menjadi terlalu sempurna begitu..

Yolana mengatakan...

Mas Rasyid, mungkinkah di Indonesia susah mencari wig yg terlihat natural? Kok ya setiap ada film yang mengharuskan pemeran nya pake wig panjang, baik itu film pendekar apa bukan, pasti wig nya ngeselin.

Rasyidharry mengatakan...

Emang belum bisa dibilang bagus, tapi ngelihat proses pra-produksi film kita yang kebanyakan ngebut, wig Reza ini termasuk lumayan. Mengganggu karena kita masih aneh lihat Reza rambut panjang

Anonim mengatakan...

Wah Yoga belom pernah liat wig Agnez Monica di iklan kosmetik Lakme ya? Persis wig jualan Mangga Dua. Bikin ngakak. Padahal di situ dia bareng artis Megan Fox

Anonim mengatakan...

Yg ini? OMG..OMG...

https://youtu.be/-dyl4l8V9dU

Vian mengatakan...

Nyebelin deh, hr ini br mau nnton di 21 BTM Bogor krn di situs filmindonesia.or.id msh tercatat tayang, taunya nympe BTM udh ga ada ๐Ÿ˜“๐Ÿ˜“ *curcol*