THE PLATFORM (2019)

5 komentar
Tempat bertingkat sebagai gambaran sistem kasta, human nature, halusinasi protagonis tentang sosok yang telah tiada akibat rasa bersalah. The Platform punya semua elemen familiar tersebut. Tapi yang menjadikannya lebih dari sebatas repetisi adalah keseimbangan perspektif, yang bukan sebatas mengkritik golongan atas karena “memakan” golongan bawah, pula mengobservasi bagaimana golongan bawah juga saling “makan”. Hanya saja, pada film ini, aktivitas “saling makan” juga terjadi secara literal.

Kisahnya mengenai penjara berbentuk menara, dengan jumlah tingkat tidak diketahui, setidaknya sebelum memasuki third act. Seluruh tingkat dipenuhi amarah dan frustrasi, namun ketika golongan atas tersulut emosinya karena tampilan panna cotta yang kurang sempurna, golongan bawah tertekan, sebab ada kemungkinan mereka sama sekali tidak bisa makan. Mendapat makanan sisa 100 orang sudah merupakan keberuntungan.

Protagonis kita, Goreng (Iván Massagué), terbangun di tingkat 48. Rekan satu selnya adalah pria tua bernama Trimagasi (Zorion Eguileor). Jangan kaget mendengar nama-nama karakternya yang terdengar seperti kata dalam Bahasa Indonesia. Selain keduanya, masih ada Imoguiri (dari “Imogiri”) hingga Brambang (Bahasa Jawa untuk “bawang merah”). Melalui penjabaran Trimagasi, Goreng (juga penonton) belajar tentang berbagai aturan di penjara itu.

Soal mimbar berisi makanan yang disajikan tingkat per tingkat sehingga semakin rendah tingkat seseorang semakin kecil peluangnya memperoleh jatah, sampai perihal tingkat yang berubah tiap bulan. Dari tingkat atas yang penuh keuntungan, bisa saja seorang tahanan dipindah ke tingkat bawah di bulan berikutnya. Pun nyaris mustahil kabur dari sana, walau jelang akhir, terungkap bahwa sebenarnya ada cara, yang akhirnya memancing pertanyaan, “Mengapa tidak ada yang terpikir melakukan itu sebelumnya?”.

Naskah buatan David Desola dan Pedro Rivero mampu mendetailkan aturan-aturan serta sistem di penjara, yang berfungsi sebagai pengikat atensi, karena bersama Goreng, kita selalu mempelajari hal baru yang tak jarang melahirkan kejutan. Ditambah permainan pacing yang mumpuni dari sutradara Galder Gaztelu-Urrutia, dinamika The Platform sama sekali tidak terganggu oleh keterbatasan latarnya.

Di luar ambiguitas konklusi yang sedikit menyimpan alegori keagamaan, tidak ada banyak ruang bagi kesubtilan di film ini. The Platform bukan Parasite, yang paparan isu sosialnya dapat menenggelamkan penonton dalam diskusi berkepanjangan. The Platform adalah tamparan, bahkan pukulan brutal yang bukan untuk memancing perenungan, melainkan kesadaran hasil dari keterkejutan.

Grotesque. Kesan itu yang langsung terasa, tatkala darah dan isi perut manusia ditumpahkan, lewat pemandangan yang bakal memuaskan para penggemar film genre. Terbukti, filmnya berhasil memenangkan kategori Midnight Madness pada Toronto International Film Festival tahun lalu. Sinematografi arahan Jon D. Domínguez menekankan kegilaan, termasuk melalui penggunaan lampu-lampu merah, yang bahkan membuat sebuah adegan seks imajiner menghadirkan ketidaknyamanan.

Terkai presentasi isu kelas sosial maupun human nature, sudut pandang film ini adil, tanpa pemanis untuk memuaskan para aktivis pembela proletar (sederhananya, ini bukan “film SJW”), dan itulah mengapa perspektifnya tampil segar. Benar bahwa golongan atas menolak menghormati mereka yang di bawah, menganggap dirinya terlalu tinggi untuk sekadar menyapa. Alhasil para petinggi tak tahu betapa kacau kondisi di bawah. Tapi di waktu bersamaan, golongan bawah terlanjur bersikap apatis, menyimpan sentimen negatif yang penuh generalisasi terhadap golongan atas.

Kedua pihak sama-sama cuma memedulikan cara mengenyangkan diri sendiri dan dikuasi ketidakpedulian. Golongan atas menolak berbagi makanan, sedangkan yang di bawah menolak mengakui kesalahan dan melimpahkannya pada mereka yang di atas. “Semua salah orang kaya! Kalau mereka peduli, kami pasti tidak akan berbuat buruk!”, begitu katanya. Sebuah lingkaran setan. Akhirnya, sewaktu pertukaran peran dilakukan, sama sekali tiada perubahan, sebab yang tersisa hanya hasrat balas dendam dan prasangka.

Di tengah pandemi seperti sekarang, ada sebuah momen yang menarik perhatian saya karena relevansinya yang tinggi. Imoguiri (Antonia San Juan), mantan pengelola yang secara sukarela mendekam dalam penjara, berusaha mengajak tahanan lain agar menjatah makanan mereka, supaya tahanan di tingkat bahwa mendapat bagian. Mereka menolak. Mereka tak peduli akan soladaritas semacam itu. Tapi begitu Goreng mengancam bakal mengencingi makanan, mereka menurut. Sama seperti masyarakat kita yang tak memahami istilah “tinggi” seperti social distancing dan semacamnya. Mereka perlu dipersuasi menggunakan metode sederhana dengan kata-kata to the point yang menekankan pada hukuman, atau dampak buruk mengerikan yang bakal menimpa jika tidak patuh.


Available on NETFLIX

5 komentar :

Comment Page:
Redo anggara mengatakan...

Santir sosial nya ngenah sekali ya apalagi saat kondisi virus Corona seperti ini dimana orang-orang banyak mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Alurnya juga bikin penasaran, tapi ending nya masih gantung atau saya saja yg tak terlalu paham hehehe 😁

Imun mengatakan...

Endingnya Kya sebuah penebusan dosa. Bahwasanya pembuatan sistem Nih ada cacatnya... Seseorang yg notabene masih suci turut menjadi korban dan menjadi pesan buat paling atas berlagak seperti Tuhan

Anonim mengatakan...

apa cuma saya yang lebih jijik adegan makan makanan sisa ketimbang adegan makan daging manusia

Gary Lucass mengatakan...

Tokoh goreng sendiri semacam alegori Yesus yang turun ke bumi secara sukarela, meskipun disini dengan cela (mana ada tuhan makan org lain) cuma nampaknya dia yg pling punya hati dan kesadaran buat menyelamatkan sperti beberapa tahanan lain yang menyinggungnya seperti tuhan.
Dan anak itu perlambang harapan bahwa manusia punya hati dan kepolosan suci jauh berbeda seperti ‘manusia”di lantai atas”

Kol Medan mengatakan...

Komunis