WRINKLES THE CLOWN (2019)

3 komentar
Wrinkles the Clown adalah sosok badut yang viral melalui unggahan rekaman CCTV di YouTube pada tahun 2015, yang memperlihatkannya muncul dari bawah tempat tidur seorang gadis cilik. Setelahnya, video-video lain bermunculan, juga stiker yang memajang nomor telepon sang badut. Tapi kalau anda berharap documenter garapan Michael Beach Nichols (Welcome to Leith) ini bakal memberi pemahaman mendalam khususnya dari sudut pandang keilmuwan, bersiaplah kecewa. Karena keinginan sutradara maupun subjeknya adalah membuat cerminan meta mengenai fenomena tersebut, lewat cara yang terasa seperti memindahkan internet trolling ke film panjang.

Reputasi Wrinkles melesat cepat. Setiap hari teleponnya bordering. Ada yang menyatakan kekaguman, kebencian, atau sekadar bentuk keisengan khas muda-mudi kekinian, yang merekam reaksi mereka kala menghubungi si badut dan mendengar rekaman kotak suara mengerikan miliknya. Tapi salah satu hal yang paling menarik perhatian yaitu banyaknya orang tua ingin menyewa jasa Wrinkles guna meneror anak mereka yang melakukan kenakalan. Ada pula yang berpura-pura menelepon sebagai wujud ancaman terhadap si anak. Kita diperdengarkan rekaman panggilan-panggilan itu, yang mayoritas diiringi teriakan penuh ketakutan anak kecil sembari memohon ampun kepada orang tua mereka.

Orang tua menakut-nakuti anak sebagai cara mendidik sudah dilakukan sejak dulu kala dan terjadi di mana pun. Pindahkan latarnya ke Indonesia, maka saya yakin badut akan digantikan beraneka ragam makhluk halus. Pertanyaan yang diajukan film ini, “Apakah itu child abuse?”. Menurut psikolog perkembangan yang Nichols wawancara, jawabannya “Ya, penanganan semacam itu keliru dan berpotensi meninggalkan luka psikis”.

Berikutnya, Nichols menghadirkan beberapa ahli lain. Sejarawan membahas sisi jahat badut yang telah Nampak sejak pertunjukan boneka Punch and Judy; ekspertis di bidang folklore mengaitkan Wrinkles the Clown ke kisah-kisah kontemporer di era digital yang mendorong orang-orang melakukan ritual mistis lalu merekamnya; seorang badut professional mengeluhkan image negatif yang ia terima akibat misinterpretasi badut dalam budaya popular.

Tapi bukannya saling melengkapi dan memunculkan pemahaman baru, Nichols tidak pernah menautkan penuturan pihak-pihak di atas untuk membentuk satu kesatuan narasi mendalam. Semua berhenti di tataran permukan kemudian ditinggalkan tanpa eksplorasi lanjutan. Justru muncul kesan bahwa dokumenter ini bergerak tanpa tujuan, membiarkan penonton tersesat di tengah opini-opini acak yang datang bergantian. Itulah sebabnya, selepas beberapa menit awal yang mengikat, paruh pertama Wrinkles the Clown berjalan hampa, cenderung membosankan.

Sepanjang durasi, Nichols juga membawa penonton mengikuti keseharian sosok di balik topeng Wrinkles the Clown. Wajahnya tak pernah tampak. Kita cuma tahu kalau dia merupakan pria berusia 65 tahun yang menciptakan persona Wrinkles the Clown dengan harapan meningkatkan tawaran pekerjaan. Observasi tentang pria inilah gerbang memasuki paruh kedua yang mengubah arah film. Paruh kedua yang menyentil soal imajinasi liar manusia yang berujung melahirkan fakta-fakta palsu. Paruh kedua yang jauh lebih menghibur, tapi membuat filmnya terasa seperti keisengan besar atas nama proyek seni.

Pantas saja penelusuran melalui cabang-cabang keilmuwannya tidak mendalam. Nichols memang tidak pernah berniat melangkah ke sana. Dia—dan sosok di balik topeng Wrinkles the Clown—hanya berniat mengolok-olok penerimaan serta respon publik atas folklore yang kebenarannya patut dipertanyakan. Menyenangkan disimak? Tentu saja. Rasanya seperti menonton video-video prank di YouTube. Anda akan terhibur, tapi tak lama kemudian bertanya, “Apa pentingnya menonton semua ini?”. Apalagi jika prank tersebut berjalan selama 75 menit dan mengharuskan anda membayar.


Available on KLIK FILM

3 komentar :

Comment Page:
SENKO mengatakan...

他妈的你笨

Muhammad Faisal Aulia mengatakan...

Om review film Escape From Pretoria, ini film keren bgt

Rasyidharry mengatakan...

Nanti kalo udah rilis di streaming legal