TRUE HISTORY OF THE KELLY GANG (2019)

Tidak ada komentar
Film ini mencantumkan “True History” pada judul; dibuka dengan kalimat “Nothing you’re about to see is true”; dinarasikan dalam bentuk surat sang protagonis kepada calon anaknya, agar ia tidak tertipu oleh sejarah tentang sang ayah yang kemungkinan bakal dipelintir para penguasa. Jika terdengar banyak mengandung kontradiksi, itu memang disengaja, sebab sutradara Justin Kurzel (Macbeth, Assassin’s Creed) bersama penulis naskahnya, Shaun Grant (Berlin Syndrome), mengadaptasi novel berjudul sama karya Peter Carey sebagai media bermain-main dengan gagasan mengenai sejarah dan cerita rakyat.

Nama Ned Kelly (versi bocah diperankan Orlando Schwerd, versi dewasa diperankan George MacKay) begitu legendaris. Seorang perampok yang menjadi ikon nasional. Sosoknya pun tak asing di dunia sinema. Mendiang Heath Ledger pernah memerankannya dalam Ned Kelly (2003), begitu pula Mick Jagger dalam film rilisan 1970 berjudul serupa, bahkan mundur jauh ke belakang, film bisu The Story of Kelly Gang (1906) dipercaya sebagai film panjang naratif pertama sepanjang sejarah.

Banyak pihak memuja Ned Kelly, menganggapnya sebagai pejuang kaum bawah yang ditindas penjajah layaknya Robin Hood, namun tak sedikit yang melihatnya sebagai pembunuh keji belaka. Jadi versi mana yang benar? True History of the Kelly Gang tidak tertarik menuturkan kebenaran, tapi mengincar sesuatu yang secara estetika jauh lebih menarik, yaitu eksplorasi terhadap “the creative nature of storytelling”.

Ned punya masa kecil yang keras. Dia melihat ibunya, Ellen (Essie Davis), bercinta dengan Sersan O’Neill (Charlie Hunnam) demi uang; ayahnya, yang kelak meninggal di penjara, konon sering terlihat berlarian sambil mengenakan gaun perempuan berwarna merah (ada rahasia lain terkait fakta ini); harus membunuh sapi ternak tetangga agar bisa memberi makan keluarga; sampai terpaksa meninggalkan rumah setelah Ellen diam-diam menjualnya kepada Harry Power (Russell Crowe), yang kelak mengajari Ned cara merampok dan menembak penis seseorang.

Menerapkan genre western di latar Australia, sinematografi arahan Ari Wegner (Lady Macbeth) mengganti kegersangan wild west dengan pedesaan kumuh yang bakal membuatmu merasa kotor hanya dengan melihatnya. Sebuah panggung sempurna untuk memotret kerasnya kehidupan, pun mungkin juga soal machismo, mengingat filmnya berkisah tentang sekelompok bandit laki-laki gila. Tapi sebaliknya, Kurzel dan Grant justru memberi sentuhan homoerotik. Ned berguling-guling dengan sahabatnya, juga bicara dengan Fitzpatrick (Nicholas Hoult) si jagabaya, yang duduk santai bertelanjang bulat.

Geng Kelly beraksi sambil mengenakan gaun layaknya transvestite. Mereka percaya, dandanan tersebut bisa menumbuhkan ketakutan di benak lawan, sebab manusia cenderung takut pada hal aneh yang tak mereka dipahami. Dari situ, Kurzel berkesempatan menyuntikkan estetika queer di film yang juga bertindak selaku drama keluarga ini. Keluarga disfungsional tentunya.

Sewaktu seorang wanita kaya—yang puteranya Ned tolong saat jatuh ke sungai—menawarkan diri membiayai pendidikan Ned, Ellen menolak, beralasan jika ia tak bisa hidup tanpa sang putera, dan bahwa keluarga selalu jadi yang utama. Ned percaya itu. Dia pun sangat mencintai ibunya, sampai Ned menemukan kenyataan pahit. Cinta Ellen rupanya palsu.....atau tidak? Mungkin memang begitu cara mereka mencintai? Mungkinkah itu dampak persekusi dan tidak pernahnya mereka melihat cahaya harapan? Ned pernah melihat cahaya itu. Saat kecil ia sejenak mengunjungi rumah mewah keluarga kaya, lalu menghabiskan masa remaja jauh dari kumuhnya kampung halaman. Mungkin itulah kenapa, dibanding anggota keluarganya, Ned lebih “lembut”, juga satu-satunya yang terpikir untuk menuturkan kebenaran, tatkala orang lain sebatas memikirkan perut.

Dan layaknya shakesperian, yang mana familiar bagi Kurzel, True History of the Kelly Gang ditutup sebagai tragedi ironis akibat satu kesalahan sang protagonis yang didasari oleh kebaikan hati dan keinginannya melihat cahaya harapan. Sebagaimana Macbeth (2015), Kurzel piawai membangun nuansa bak mimpi buruk penuh kegelisahan, khususnya pada klimaks mencekat berlatar malam kelam, yang disinari kedipan cahay menyilaukan, suar merah, dan puluhan titik-titik cahaya obor. Musik gubahan Jed Kurzel, kakak sekaligus komposer langganan sang sutradara, tak ketinggalan tampil menghantui nan intens. Sama intensnya dengan performa George MacKay yang tampil manik, melepaskan diri sebagai pria beremosi tak stabil yang di balik amarahnya, merindukan cinta di tanah tanpa cinta.

Tapi perlu dicatat, seperti biasa, film Justin Kurzel bukan untuk semua orang. Penonton yang mencari gaya narasi tradisional berpotensi kehilangan selera menyaksikan metode bertuturnya yang liar (banyak disebut membuat filmnya terkesan "punk") dan seperti tanpa konflik utama, yang juga mengesampingkan pendekatan dramatis demi nuansa atmosferik. Terkait narasi, True History of the Kelly Gang pun menyimpan inkonsistensi. Dikemas memakai sudut pandang orang pertama, ada beberapa peristiwa yang semestinya tak diketahui oleh narator. Pada akhirnya, bahkan oleh orang yang mengakui kelebihan-kelebihannya, True History of the Kelly Gang lebih mudah dikagumi ketimbang dicintai.


Available on KLIK FILM

Tidak ada komentar :

Comment Page: