WAVES (2019)

1 komentar
Seperti judulnya, film ini bergerak seperti ombak, baik secara teknis maupun rasa. Waves mengingatkan bahwa Trey Edward Shults yang melahirkan karya out-of-the-box lewat Krisha (2015), masih getol mengeksplorasi dan mendobrak batas-batas storytelling, selepas It Comes at Night (2017) yang lebih seperti usaha menjadi hipster.

Melalui tata kamera arahan sinematografer langganannya, Drew Daniels, Shults mengemas opening yang serupa gelombang di lautan. Kamera berputar 360 derajat, sesekali bergerak liar, sesekali melambat, bahkan saat hanya menyoroti layar smartphone, tetap ada gerakan layaknya riak-riak kecil. Kita pun bisa merasakan betapa kaya serta dinamisnya kehidupan si tokoh utama, seorang siswa SMA populer sekaligus atlet gulat bernama Tyler (Kelvin Harrison Jr).

Karir gulatnya moncer, membuat beasiswa jalur olahraga dari universitas ternama seolah tinggal menunggu waktu. Walau sang ayah, Ronald (Sterling K. Brown), yang dulu mantan atlet kerap terlalu menekannya, sang ibu tiri, Catherine (Renée Elise Goldsberry) membuat Tyler tak kekurangan kasih sayang. Apalagi hubungan cintanya dengan Alexis (Alexa Demie) sedang panas-panasnya.

Hidup Tyler sekilas sempurna, walau sesungguhnya ada beberapa benih permasalahan yang siap meluap. Akibat kerap memaksakan diri, pundak Tyler menderita cedera SLAP (Superior Labral Tear from Anterior to Posterior) Tear tingkat 5 alias tingkatan terparah. Tertekan, Tyler justru diceramahi oleh Ronald, yang berkata, “Menurutmu cuma kamu yang punya masalah?!”. Dia pun memilih bungkam, merahasiakan cedera tersebut. Di saat bersamaan, Alexis mendapati sudah tiga minggu ia telat datang bulan.

Lalu semua yang ditakutkan terjadi. Tyler cedera di tengah pertandingan dan karir gulatnya hancur. Bukannya mengangkat moral puteranya, Ronald justru menyalahkan. Ayah enggan mendengarkan, anak menolak bicara. Demikian juga soal kehamilan Alexis. Tyler bersikeras memaksakan aborsi tanpa mau memedulikan perspektif kekasihnya. Waves mengangkat soal pentingnya proses bicara dan mendengarkan dalam keterbukaan. Seluruh konflik hadir karena karakternya menolak “memasang telinga” sembari membiarkan ego menguasai dirinya.

Waves tidak dibuat agar penonton bersimpati pada protagonisnya, mengingat seiring waktu, Tyler semakin hancur dan semakin sering berbuat kebodohan. Tujuan Waves adalah membuat kita ikut merasakan sakit serta kecemasan yang sama. Shults seperti membawa kita mengarungi ombak ganas, yang bisa berubah dari menghadirkan rasa sesak, kemudian melegakan, hanya untuk tiba-tiba melempar luka.

Dinamika emosi itu diwakili oleh visualnya. Drew Daniels jeli bermain warna, entah itu kamar berdinding biru milik Tyler yang dihiasai sebersit cahaya matahari yang masuk melalui gorden merah-hijau-biru, malam bertabur lampu-lampu neon yang meski vibrant tetap terkesan kelam, hingga biru gelap yang mewarnai laut tatkala senja. Tapi yang paling menonjol sekaligus berkesan tentu bagaimana Shults menggabungkan empat rasio aspek (ada yang menyebut lima, tapi saya hanya menemukan empat, begitu juga data dari IMDb) dalam filmnya.

Dibuka dengan rasio standar 1.85 : 1, gambarnya ikut menyempit saat tekanan yang Tyler alami makin besar (menjadi 2.35 : 1, sempat sejenak menjadi 2.67 : 1, lalu berakhir di 1.33 : 1). Apa yang terjadi setelah aspek rasio menyentuh format 1.33 : 1 di mana protagonis mencapai titik terendahnya? Saat itulah Shults melakukan keputusan tak terduga terkait penentuan arah cerita. Waves memasuki babak kedua, mengoper fokus kepada adik Tyler, Emily (Taylor Russell), berubah dari rangkaian kisah yang menghancurkan jadi membangun. And guess what? Aspek rasionya pun pelan-pelan kembali seperti semula.

Membagi alurnya ke dalam dua babak dengan fokus berlawanan, menandakan bagaimana Shults tidak memandang remeh proses menyembuhkan luka hati. Walau tidak menyimpan kejutan-kejutan seperti babak pertama, ditambah intensitas yang mengendur sebab kita sudah bisa menebak pola yang bakal filmnya tempuh, rasanya tetap menyenangkan sewaktu rentetan rasa sakit yang sebelumnya menerjang tanpa henti mulai dibasuh oleh emosi-emosi positif.

Tidak mau kalah dari departemen visual, tata suara film ini juga piawai mewakili rasa. Mulai efek suara menyakitkan ketika Tyler mengalami cedera, juga barisan musik pilihan sang sutradara yang terdiri atas nomor-nomor rap, R&B, hingga pop elektronik yang terdengar atmosferik (bukan kejutan kalau ada Radiohead). Sementara di jajaran cast, trio Kelvin Harrison Jr., Taylor Russell, dan Sterling K. Brown berhasil menuangkan emosi raw yang efektif mencengkeram hati penontonnya.


Available on CATCHPLAY+

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Film iki istimewa mas. Bagian di awal banyak nyeseknya. Di bagian ke dua mulai anti klimaks