EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA (2020)

1 komentar
Mungkin penggemar berat kompetisi Eurovision Song Contest bakal menyukai film arahan sutradara David Dobkin (Shanghai Knights, Wedding Crashers, The Judge) ini, khususnya saat cameo beberapa kontestan bersatu di sebuah medley, yang menyertakan Waterloo dan Ne partez pas sans moi milik ABBA dan Celine Dion, dua pemenang Eurovision paling populer. Mungkin. Karena sebagai non-penggemar, saya tak bisa bicara mewakili mereka.

Sebagai non-penggemar, Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga tidak menawarkan alasan yang menggoda saya untuk mulai mengikuti kompetisinya. Ada berapa kontestan? Ada berapa babak? Apa saja aturannya? Terpenting, kenapa Eurovision yang telah berjalan lebih dari enam dekade begitu prestisius? Semua gagal dijawab, sehingga saat sang protagonis—yang lagi-lagi mengandalkan gaya kekanak-kanakkan Will Ferrell yang kelucuannya makin pupus—digambarkan amat terobsesi, penonton awam takkan mengerti.

Tentu naskah yang ditulis oleh Ferrell bersama Andrew Steele (Casa de mi padre) menambahkan alasan lain di balik obsesi tersebut. Lars Erickssong (Will Ferrell) ingin membuktikan diri pada ayahnya, Erick Erickssong (Pierce Brosnan), yang memandangnya remeh. Pun kepada seluruh warga kampung (sebuah desa kecil di Islandia) yang senantiasa menertawakannya. Caranya tak lain dengan bermimpi memenangkan Eurovision sebagai The Fire Saga, duo musisi yang ia bentuk bersama sahabatnya sejak kecil, Sigrit Ericksdóttir (Rachel McAdams).

Sigrit menyukai Lars. Orang-orang tidak paham, bagaimana bisa gadis secantik dan sepintar dia menyukai pria aneh seperti Lars. Saya pun tidak paham. Lars menolak kemungkinan adanya cinta di antara mereka, sebab menurutnya, romansa internal dapat mengganggu stabilitas grup musik, sekaligus memberi distraksi dalam usaha memenangkan Eurovision. Lars dikuasai ego. Dia memaksakan aransemen lagu, konsep penampilan, tata kostum, dan lain-lain. Cuma kemenangan yang dipikirkan. Kemenangan bagi diri sendiri, bukan berdua.

Nyaris tidak ada alasan mendukung Lars. Benar bahwa ia ingin membuktikan diri, lelah jadi bahan olok-olok. Tapi pembangunan latar belakangnya terlampau instan. Tidak peduli seberapa baik Pierce Brosnan memerankan “pria tua terluka yang lelah melihat puteranya menyia-nyiakan hidup”, hasilnya nihil tatkala koneksi ayah-anaknya tak tersampaikan secara memadai. Nantinya, begitu kompetisi Eurovision digelar dan kontestan unggulan asal Rusia, Alexander Lemtov (Dan Stevens), berusaha merebut hati Sigrit, sulit berpihak pada Lars. Karena tak sekalipun kita menyaksikan sisi positif si tokoh utama.

Sementara humornya terlalu ragu untuk sepenuhnya melangkah ke ranah komedi gelap, walau filmnya sudah mengandung beberapa kematian (baca: pembunuhan) brutal, juga elemen incest yang beberapa kali disiratkan, baik melalui dialog maupun pilihan nama karakter, yang harus diakui cukup kreatif dan menggelitik. Ketimbang sepenuhnya melangkah ke sana, Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga memilih main aman, bergantung pada keeksentrikan Ferrel yang mayoritas gagal mengenai sasaran, sedangkan McAdams berusaha sekuat tenaga memaksimalkan materi yang sayangnya, sudah terlanjur sukar diperbaiki. Apa humor terlucunya? Tentu saja “Jaja Ding Dong”.

Setidaknya film ini punya barisan lagu pop catchy, pula mampu meyakinkan kita, bahwa performa The Fire Saga memang layak menjadikan mereka unggulan, khususnya ketika membawakan lagu Husavik di babak final yang terasa emosional. Ya, deretan lagu dan Rachel McAdams merupakan nilai positif Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Kalau anda penggemar Eurovision Song Contest, mungkin film ini masih bisa memberikan hiburan. Kalau anda ingin menyaksikan Rachel McAdams memaning tawa, lebih baik menonton ulang Game Night.


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
Gide Buono mengatakan...

Terlepas dari cerita dll yang gitulah, lagu2 di film ini keren2. Dan lagu terakhir kudunya bisa masuk nominasi Oscar.