REVIEW - RAAT AKELI HAI

3 komentar

Raat Akeli Hai (“The Night is Lonely’ dalam Bahasa Inggris) adalah whodunit berlatar keluarga disfungsional serupa Knives Out (2019), dengan seorang polisi selaku protagonis, yang sepanjang investigasi, kerap berbenturan dengan pemegang kekuasaan korup, sembari berusaha menjaga objektivitas tatkala romansa mulai menyambanginya. Pergulatan-pergulatan yang kurang lebih dialami pula oleh J. J. "Jake" Gittes, karakter utama dalam Chinatown (1974) milik Roman Polanski. Apakah naskahnya terinspirasi langsung dari kedua judul di atas? Mungkin. Apakah kualitasnya berada di tingkatan yang sama? Sayangnya tidak.  

Sekuen pembuka menampilkan suatu kecelakaan di malam hari. Sebuah mobil ditabrak oleh truk. Tapi kejadian itu bukan ketidaksengajaan. Seorang pria sengaja menabrakkan truknya, lalu membunuh kedua penumpang mobil, kemudian melenyapkan jasad mereka. Lima tahun berselang, terjadi satu lagi kasus pembunuhan. Raghuveer Singh (Khalid Tyabji) ditemukan tewas di kamar, tepat setelah melangsungkan pernikahan dengan gadis yang jauh lebih muda bernama Radha (Radhika Apte). Radha adalah istri kedua Raghuveer, selepas istri pertamanya meninggal lima tahun lalu.

Inspektur Jatil Yadav (Nawazuddin Siddiqui) bertugas mengusut kasus itu. Kecurigaan tentu mengarah pada Radha, tapi Jatil menolak begitu saja percaya. Biarpun menghadapi banyak tentangan, mulai dari partner yang menganggapnya  “mencari-cari hal yang tidak ada”, hingga anggota majelis legislatif yang kebetulan memiliki kedekatan dengan Keluarga Singh, Jatil tetap percaya bahwa kasus ini lebih besar sekaligus kompleks dari kelihatannya. Tapi benarkah? Apakah Jatil memang penyelidik cermat, atau sebatas terdistraksi perasaan akibat simpati (yang kemudian berubah jadi cinta) terhadap Radha?

Banyak— walau tidak semua —suguhan whodunit mengambil latar satu lokasi, demi menjaga fokus dan memperketat intensitas dalam proses memecahkan teka-teki, sembari memperkuat penokohan serta interaksi antar individu. Raat Akeli Hai memilih pendekatan berlawanan. Skala diperbesar, konflik diperbanyak. Masalahnya, penulisan Smita Singh belum sesolid itu, menghasilkan kerumitan yang kerap membingungkan alih-alih menyenangkan untuk dipecahkan. Setelah paruh awal yang memancing rasa penasaran, intensitas di menit-menit berikutnya melemah, seiring pertambahan problematika pula lokasi yang dikunjungi sang inspektur.  

Saya paham bahwa Smitha menyimpan setumpuk kerisauan perihal isu sosial. Power abuse, domestic abuse, sexual abuse, standar kecantikan, dan lain-lain. Tapi tak semua perlu dimasukkan, hingga membuat filmnya bergulir selama nyaris dua setengah jam. Beberapa poin punya substansi rendah. Salah satunya soal Jatil yang dituntut segera menikah oleh ibunya (Ila Arun), yang disertakan hanya sebagai pembuka jalan bagi unsur romansa yang juga tidak perlu ada, karena: 1) Tidak memperkaya cerita; dan 2) Tanpa payoff emosional yang sepadan.

Segudang karakter muncul, namun gara-gara tipikal satu sama lain yang kurang berwarna, tak ada yang benar-benar menarik diikuti. Ada satu karakter punya peranan besar di paruh akhir (termasuk membawa sebuah isu penting), tapi sepanjang durasi tak diberikan porsi memadai sehingga melucuti dampak saat ia akhirnya mendapat spotlight. Setidaknya, protagonis kita lebih kompleks. Dibarengi penampilan meyakinkan Nawazuddin Siddiqui sebagai penegak hukum berkacamata hitam dan berjaket kulit yang tak kenal takut, Jatil bukan protagonis suci. Amarahnya kerap meledak, tamparan pun tak ragu ia berikan untuk mereka yang mengganggu jalannya penyelidikan. Sementara Radhika Apte piawai mengolah rasa, meski karakternya berhenti di tingkat "seorang tertuduh" dan "calon pasangan Jatil" ketimbang individu yang berdiri sendiri. Padahal ada potensi persoalan gender dapat diangkat dari sosoknya. 

Honey Trehan, yang sebelumnya dikenal sebagai casting director, melakoni debut penyutradaraannya di sini. Hasilnya tidak buruk. Penceritaannya dinamis, pun dibantu tata kamera Pankaj Kumar serta tim departemen artistik, Honey mampu memoles Raat Akeli Hai agar memanjakan mata. Biar demikian, tetap saja ia masih hijau dan belum cukup mumpuni untuk bisa menyelamatkan lemahnya naskah, termasuk momen penjabaran jawaban yang semestinya jadi puncak sebuah whodunit, namun malah tersaji minim intensitas akibat eksekusi buru-buru, yang tak kalah membingungkan dibanding investigasinya.

Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:
Heni mengatakan...

Gada niatan review Spenser Confidential mas?

Wakhid Syamsudin mengatakan...

Baru kelar nonton. Lamban, membosankan.

Anonim mengatakan...

Pusing gatau dan gapaham silsilah keluarganya. Konfliknya runyam