REVIEW - BENYAMIN BIANG KEROK 2

7 komentar

Terkait Benyamin Biang Kerok (2018), saya termasuk minoritas. Saya tidak menentang, tidak membenci, meski harus diakui, hasilnya jauh dari kata “bagus”. Sangat jauh. Setidaknya ada visi yang jelas, walau apakah visi tersebut cocok diterapkan, patut dipertanyakan. Direncanakan sebagai trilogi, setelah film pertama mendapat respon cenderung negatif, baik perihal ulasan, jumlah penonton (730 ribu tidak sedikit, namun jelas bukan angka yang diharapkan), belum lagi perseteruan hak cipta, kabar perilisan film kedua tak kunjung jelas, sebelum akhirnya tayang di Disney+ Hotstar.

Berbeda dengan pendahulunya, Benyamin Biang Kerok 2 bak produk asal jadi, tanpa arah, yang buru-buru diselesaikan guna mengejar tanggal tayang di streaming platform. Selepas rekap beberapa menit yang tidak banyak membantu akibat kisah film pertamanya kurang meninggalkan kesan, protagonis kita, Pengki (Reza Rahadian), berkata pada penonton, jika petualangannya melawan sindikat mafia pimpinan Said (Qomar) demi menyelamatkan sang pujaan hati, Aida (Delia Husein), bakal lebih seru dari film-film Amerika. Berarti, Hanung bersama trio penulis naskahnya, Bagus Bramanti, Senoaji Julius, dan Hilman Mutasi, masih berniat membuat blockbuster mahal, sarat aksi berteknologi tinggi, juga bertabur CGI.

Tapi itu tidak terlihat. Aksi bisa dihitung jari, sementara CGI, selain kuantitasnya menurun drastis, begitu pula kualitasnya. Ada satu momen yang berpotensi melahirkan hiburan berupa pertarungan absurd, di mana Sabeni (Rano Karno), ayah Pengki, memancarkan laser untuk menghajar habis anak buah Hengki (Hamka Siregar) yang berniat membunuh Pengki, disusul tembakan gelombang dari gitar elektrik Nurlela (Lydia Kandou). Tapi efek visualnya setengah (atau malah seperempat?) matang, yang diperparah oleh kecanggungan pengadeganan Hanung.

Mau dibawa ke mana film ini? Seberapa buru-buru penyelesaiannya? Jangankan pasca-produksi, saya pun mempertanyakan, apakah proses produksi, termasuk pick-up, benar-benar sudah usai jauh-jauh hari? Alurnya sendiri sudah dilukai oleh keputusan memecah cerita. Terasa betul kisah dimulai dari tengah, sehingga tanpa struktur penceritaan layak. Belum lagi, perpindahan antar adegan tidak dijembatani secara mulus, seolah tidak ada stok transisi yang cukup.

Misalnya sewaktu Pengki, Somad (Adjis Doaibu), dan Achie (Aci Resti) hendak pergi ke hutan di Kalimantan menggunakan helikopter, untuk memecahkan misteri harta karun Soekarno, yang diduga jadi incaran utama para mafia. Sayang, helikopter kepunyaan Nyak Mami (Meriam Bellina) tiba-tiba mogok. Lalu Achie berkata, bahwa dia tahu harus berbuat apa. Sejurus kemudian, kita melihat CGI shot yang menampilkan sebuah pesawat di angkasa. Mendadak mereka telah tiba di tujuan. Pesawat siapa itu? Mengapa efek visualnya tampak amat mentah? Bagaimana pula Hengki beserta anak buahnya bisa tahu persis keberadaan ketiganya di tengah hutan keramat?

Paling tidak saya menikmati penampilan para pelakon senior, khususnya Rano Karno dan Lydia Kandou, yang berusaha sekuat tenaga memaksimalkan porsi masing-masing. Reza, bermodalkan kejenakaan gestur serta permainan logat dan warna suaranya pun masih nyaman disaksikan. Satu yang benar-benar mengganggu, terlebih di third act, hanya Aci Resi dengan gerutuan dan rengekan menyebalkan yang tak kunjung berakhir.

Artinya jajaran cast berhasil menyelamatkan film ini bukan? Kata “menyelamatkan” rasanya berlebihan. Paruh akhirnya membuat Benyamin Biang Kerok 2 tidak terselamatkan. Antiklimaks, cuma menampilkan sekelumit aksi singkat berisi serbuan beruang dengan CGI menyedihkan, nomor musikal cringey nan murahan diiringi lagu hip hop, pula konklusi dadakan yang menyisakan banyak subplot tanpa resolusi.

Satu hal paling fatal: rambut Pengki berubah! Itu bukan rambut Pengki, tapi rambut Reza. Pengki beralasan, rambutnya dipotong oleh suku pedalaman. Saya curiga, konklusinya adalah pick-up yang diambil jauh setelah produksi selesai, besar kemungkinan untuk menghapus jembatan menuju film ketiga, yang konon merupakan adaptasi Tarsan Kota (1974). Syukurlah bila memang demikian. Cukup. Berhenti sampai di sini.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

7 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Haduh, niat langganan Disney+ itu buat menyaksikan film Indonesia Premiere eksklusif di Disney+, Sampai bela-belain nonton Benyamin Biang Kerok yang super absurd buat nonton yang kedua ini. Kalau Hasilnya kayak gini, yah Entahlah, saya jadi ragu Warkop DKI4 ini jadinya kayak gimana.
mau nanya Bang, untuk Falcon pictures, apa shooting 2 part film itu barengan, kok Warkop DKI 4 sama Benyamin Biang Kerok 2 bisa tayang, padahal nggak mungkin kan syuting di era pandemic kayak gini apalagi Warkop DKI 4 settingnya di luar negeri.

Rasyidharry mengatakan...

Warkop jelas kelar udah lama. Back to back. Benyamin 2,ya kayak udah dibahas itu. Ada kemungkinan pick-up scene diambil jauh setelah jadwal produksi aslinya. Sebelum apa sesudah pandemi, itu yang nggak tahu

Mukhlis mengatakan...

Jadi intinya, Warkop itu langsung syuting 2part ya Mas, yang 4 ini, tinggal editing aja?
Jadi nggak yakin visual effect Warkop DKI 4 ini gimana

Unknown mengatakan...

Bucin kapan direview bang?

aan mengatakan...

Susah bisa ngerasain feel kalo Reza tuh Benyamin...sekuat apapun aktingnya.yg saya rasakan malah Reza bertingkah laku seperti Benyamin....

spidy mengatakan...

kok buka link nya lama ya

Masban mengatakan...

Bang bakal revie serigala terakhir seris gk ?