EOS 2020 - CORPUS CHRISTI

Tidak ada komentar

We are all priest of Christ”, ucap Father Tomasz (Łukasz Simlat), dalam sebuah ceramah di penjara remaja, tempat protagonis kita, Daniel (Bartosz Bielenia), mendekam. Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa semua umat manusia bisa menyebarkan kebaikan sesuai ajaran Tuhan. Tapi bagaimana jika perkataan itu diaplikasikan secara literal? Begitulah kira-kira gagasan utama Corpus Christi, yang berhasil menjadi salah satu peraih nominasi Best International Feature Film, selaku perwakilan Polandia di ajang Academy Awards awal tahun ini.

Daniel di tahan di penjara remaja setelah melakukan pembunuhan tingkat dua, dan akibat latar belakang kriminalnya, Daniel tidak bisa mewujudkan impian menjadi pendeta. Suatu hari ia memperoleh pembebasan bersyarat, kemudian dikirim untuk bekerja di tempat penggergajian di daerah pedesaan. “Apa yang pertama harus kamu lakukan di luar?”, tanya Father Tomasz. “Sober. That’s obvious”, jawab Daniel mantap. Sedetik kemudian kita melihatnya menikmati kebebasan dengan menghisap kokain, mabuk-mabukan, berhubungan seks, dan berpesta semalam suntuk.

Tidak memiliki tempat bermalam, Daniel pun mengunjungi gereja, di mana ia bertemu dengan Marta (Eliza Rycembel), dan iseng-iseng mengaku sebagai pendeta. Keisengan itu rupanya ditanggapi serius. Sewaktu pendeta setempat harus pergi beberapa waktu guna menjalani pengobatan, Daniel diminta menggantikan untuk mengisi misa. Walau awalnya kebingungan, Daniel mampu melewatinya dengan mulus. Sangat mulus malah. Anggota paroki menyukai Daniel, yang sejatinya mengambil ceramah Father Tomasz, yang ia dengar di penjara.

Misa perdana itu dikemas cantik oleh sutradara Jan Komasa, di mana Daniel berdiri di depan sepasang patung malaikat, disinari semburat cahaya matahari, dengan raut wajah yang membuatnya seolah tengah menerima wahyu dari Tuhan. Dari situ petualangan baru Daniel dimulai. Petualangan yang amat relevan mewakili isu yang tengah marak belakangan ini, tidak peduli di agama mana pun. Cukup mengenakan atribut agama, ditambah sedikit keahlian bicara, khususnya perihal menggerakkan massa, begitu mudah bagi seseorang menyebut dirinya ulama, pendeta, ustaz, dan lain-lain.

Tapi Corpus Christi adalah film hopeful mengenai penebusan dosa dan proses memaafkan. Sehingga, alih-alih menghukum “si peniru”, naskah buatan Mateusz Pacewicz menunjukkan bahwa kebohongan itu dapat menjadi realita, bila ada kesungguhan besar untuk berubah. Warga menyukai Daniel karena sosoknya relatable, terutama saat ia mulai menggali tragedi yang menyelimuti desa dengan kesedihan serta kebencian.

Rupanya baru terjadi kecelakaan mobil yang menewaskan enam remaja, termasuk kakak Marta. Di depan gereja, mereka memasang foto-foto korban dan berdoa di hadapannya tiap hari. Daniel tidak memaksa memahami keputusan Tuhan itu, melainkan mengajak mereka berdoa agar Tuhan membantu mereka memahami keputusan-Nya, yang terasa tidak adil, bahkan kejam.

Itulah mengagumkannya film ini. Statusnya sebagai pesakitan, ketimbang menggiring Corpus Christi ke arah kemustahilan fantasi, justru membuat transformasi dan kontribusi sang karakter kepada lingkungan terasa believable. Narapidana seperti Daniel paling tahu soal kelemahan serta keburukan manusia, sehingga memudahkannya memanusiakan para jemaah, entah disadari atau tidak. Hal serupa terjadi dalam subplot yang menyentil pejabat-pejabat korup. Protagonis kita menolak mundur, meski mendapat intimidasi dari sang walikota (Leszek Lichota). Bukan berkat keimanan, namun hasil tempaan kerasnya hidup, baik di jalanan maupun penjara.

Pacewicz menyusun naskah yang penuh, nyaris tanpa kekosongan, dengan beberapa subplot yang sejatinya ada di garis batas antara membuat filmnya overstuffed atau kaya. Corpus Christi untungnya masuk ke golongan kedua, sebab cabang-cabang ceritanya berhasil mendukung gagasan utama, bahwa “Daniel is the right man for the job”. Begitu pula aktor yang memerankannya. Melalui performa Bartosz Bielenia, kita bisa membaca dilema sang protagonis, yang dihimpit dua pilihan, apakah membela kebenaran atau mencari aman.

Corpus Christi bicara tentang bagaimana embel-embel religiuisitas makin kehilangan substansinya. Bukan saja diakibatkan para pemuka agama palsu, juga orang-orang biasa yang dengan mudah mengatasnamakan Tuhan, sebagai justifikasi atas perbuatan mereka. Sekarang ini, rasanya nama Tuhan menjadi sangat murah.

Tidak ada komentar :

Comment Page: