REVIEW - EVIL EYE

Tidak ada komentar

Menampilkan pemain-pemain keturunan India; dibuat oleh orang-orang berdarah India, dari sutradara Elan Dassani dan Rajeev Dassani, penulis naskah Madhuri Shekar yang mengadaptasi audiobook berjudul sama buatannya, hingga jajaran produser termasuk Priyanka Chopra Jonas selaku produser eksekutif; serta mengandung elemen reinkarnasi khas India. Ditambah isu empowerment, dari luar, Evil Eye adalah film penting yang rasanya mustahil menemui kegagalan. Tapi begitulah kenyataannya. Inilah judul terburuk dari rangkaian Welcome to the Blumhouse.

Serupa remaja yang tinggal di Amerika kebanyakan, Pallavi (Sunita Mani) tak mempermasalahkan fakta bahwa di usianya yang menginjak 29 tahun, ia belum juga menemukan calon suami. Tidak demikian dengan sang ibu, Usha (Sarita Choudhury), yang sudah berkali-kali merencanakan kencan buta bagi puterinya. Usha pun amat percaya takhayul. Salah satunya terkait evil eye, yang konon dapat menghalangi seseorang menemukan pasangan hidup. Selain rutin berdoa, Usha pun memberikan gelang pada Pallavi, yang dipercaya bisa menjauhkan evil eye.

Sampai Pallavi bertemu Sandeep (Omar Maskati), si pria tampan, baik hati, dan kaya raya, yang dengan cepat merebut hatinya. Bukannya berbahagia, Usha malah khawatir, bahkan menentang kehadiran Sandeep. Kekhawatiran tersebut dipicu keyakinan bahwa Sandeep merupakan reinkarnasi dari sosok yang bertanggung jawab atas rahasia kelam dari masa lalu Usha.

Seperti tokoh-tokoh lain, awalnya penonton pasti akan menganggap Usha adalah seorang control freak yang bersikap konyol. Lalu seiring terungkapnya rahasia Usha secara bertahap, kita pun memahami alasannya, bahkan bersimpati. Masalahnya, selama hampir satu jam pertama, kita lebih banyak menyaksikan pengulangan, berupa kengototan Usha mencari justifikasi atas kekhawatirannya, entah ke sang suami, Krishnan (Bernard White), teman-teman, hingga seorang peramal. Repetitif.

Menyebalkan pula, sebab nyaris tidak ada peristiwa signifikan terjadi. Cuma tarik ulur kecurigaan yang tak pernah mengarah pada hal konklusif maupun petunjuk untuk penonton pikirkan. Padahal Evil Eye bukannya kekurangan bahan. Seperti sudah disinggung di awal tulisan, filmnya mengangkat deretan isu penting, khususnya soal dampak besar hubungan abusive dengan pria misogini yang terobsesi memegang kontrol atas wanita. Seharusnya ini bisa menjadi kisah emosional tentang kebangkitan wanita atas penindasnya, andai ragam bahan baku yang Evil Eye miliki berhasil diolah dengan tepat.

Elemen-elemennya saling berkontradiksi. Pesan persatuan antara wanita bertabrakan dengan isu kebebasan anak memilih jalan hidup. Unsur supernaturalnya menghalangi presentasi mengenai proses penyembuhan trauma. Seperti benang kusut yang sudah kehabisan waktu sebelum berhasil teruraikan. Kemudian saat mencapai babak akhir, antagonis yang selalu penuh perhitungan, mendadak kehilangan ketenangan sehingga bertindak bodoh, yang seolah dipaksakan terjadi akibat filmnya kehabisan waktu untuk menutup cerita.

Sedikit menyelamatkan adalah performa Sarita Choudhury. Matanya hampa, tapi juga memancarkan horor, sebagai perwujudan meyakinkan dari luka akibat kejahatan pria yang tak pernah (sepenuhnya) sembuh. Di tangan penulis yang lebih mumpuni, itu berpotensi melahirkan kisah dengan dampak emosi tinggi. Sayang sekali.


Available on PRIME VIDEO

Tidak ada komentar :

Comment Page: