JAFF 2020 - KOSONG

Tidak ada komentar

Katanya masyarakat Indonesia itu religius. Gemar sekali kita membawa-bawa nama Tuhan di berbagai situasi. Tapi saat ada pasangan suami istri tak kunjung dikaruniai momongan, kenapa ada tendensi menyalahkan si perempuan? Bukankah kalau memakai sudut pandang agama, anak adalah pemberian Tuhan? Lalu mengapa istri kerap jadi kambing hitam, dianggap aib dan kurang sempurna, bahkan disebut “kosong” layaknya kentongan?

Kosong (stylized as K0s0ng’) membicarakan isu di atas dengan mengangkat kisah lima perempuan di Pulau Jawa, tepatnya lima istri yang menerima tekanan sosial akibat ketiadaan buah hati. Disutradarai oleh Chonie Prysilia dan Hizkia Subiyantoro yang juga merupakan suami-istri, Kosong adalah dokumenter yang dipresentasikan dalam media animasi. Bukan gaya baru, namun masih jarang digunakan, khususnya di skena dokumenter panjang Indonesia.

Di akhir film, muncul teks berupa ucapan terima kasih Chonie terhadap sang ibu, yang tak pernah memaksanya untuk memberikan cucu. Sayangnya, kelima narasumber film ini tidak seberuntung Chonie. Satu per satu dari mereka, dengan nama disamarkan, menyampaikan kisah masing-masing, yang walau dikaitkan oleh satu benang merah berupa penghakiman masyarakat, sejatinya mengangkat perspektif beragam, termasuk alasan belum mempunyai anak yang berbeda-beda.

Ada yang memang sudah berusaha sekuat tenaga tapi terhalang faktor medis, ada yang merasa belum siap, ada pula yang memilih untuk tidak hamil karena baru menikah di usia 45 tahun, pun dengan suami seorang pengidap skizofrenia. Tapi apa pun alasannya, kebanyakan orang di sekitar mereka menolak memahami. Pergunjingan terjadi, bahkan salah satu narasumber “terkenal” hingga ke desa sebelah sebagai “perempuan yang tidak bisa punya anak”.

Bagaimana dengan para suami? Sudah bukan rahasia lagi bahwa memiliki anak, kerap dijadikan simbol kejantanan para laki-laki. Keberadaan keturunan membuat laki-laki merasa superior. Salah satu suami bahkan membandingkan narasumber kita dengan istri pertamanya, yang menurutnya, lebih gampang hamil. Padahal, perempuanlah yang menahan sakit selama sembilan bulan. Semestinya, keputusan mempunyai anak atau tidak merupakan hak mereka.

Pokok bahasan utama Kosong memang soal anak, namun secara general, ini adalah soal gender hingga stereotip (perempuan yang merokok otomatis mendapat cap “nakal”). Isu-isu yang teramat penting. Begitu penting, setumpuk kelemahan teknis film ini bisa sedikit dimaafkan.

Paling kentara terkait tata suara. Gema, noise, atau potongan-potongan audio kasar yang hadir sepanjang durasi, kerap menyulitkan upaya memahami suatu peristiwa. Saya tahu Kosong dibuat dengan keterbatasan dana. Tapi tetap saja, kecacatan audionya mengganggu. Sekadar informasi, proyek ini sempat melakukan penggalangan dana di Indiegogo dengan target $8000 dollar (sekitar 112 juta rupiah), dan hanya berhasil mengumpulkan $1885 dollar, atau sekitar 26 juta rupiah.

Butuh waktu membiasakan diri dengan gaya visualnya. Beragam bentuk gambar digunakan, yang biarpun menciptakan variasi, beberapa di antaranya justru menghasilkan sekat, yang membuat emosi jadi berjarak. Narasinya juga kerap terasa membingungkan akibat perbedaan desain karakter antara satu gaya dengan gaya lain. Sejatinya kualitas tata suara yang mumpuni dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Kosong memudahkan penonton mendukung perjuangan kelima karakternya, walau sepertinya belum cukup kuat mengubah mereka yang berpemikiran kolot. Tapi mungkin bukan itu yang dibutuhkan saat ini. Rasa dipahami, diwakili suaranya, dan mengetahui bahwa di luar sana ada banyak orang berpemikiran sama, pula mengalami permasalahan serupa, perlu didahulukan, setidaknya untuk sekarang. Kosong penting untuk disaksikan karena bisa melakukan itu.


Available on KLIK FILM (25-29 November 2020)

Tidak ada komentar :

Comment Page: