REVIEW - RUN

4 komentar

Setelah melakoni debut penyutradaraan gemilang lewat Searching (2018), sutradara/penulis naskah Aneesh Chaganty kembali dalam satu lagi thriller, yang meski lebih konvensional, tetap memperlihatkan talenta memikatnya soal membangun intensitas. Run menampilkan teror melalui sosok ibu penderita Munchausen Syndrome by Proxy (MSbP), yakni kondisi di mana caregiver memalsukan kondisi orang yang dia rawat, biasanya untuk mencari perhatian.

Salah satu contoh kasus MSbP paling terkenal adalah perlakuan Dee Dee Blanchard kepada puterinya, Gypsy Rose, yang dibuat seolah-olah menderita setumpuk penyakit. Sebelum akhirnya, akibat kontrol berlebihan, Gypsy membunuh sang ibu. Sedangkan di layar lebar, The Baby (1973) karya Ted Post membicarakan kondisi serupa.

Asma, aritmia, hemochromatosis, asma, diabetes, dan kelumpuhan. Menurut Diane Sherman (Sarah Paulson), itulah kondisi-kondisi yang dimiliki puterinya, Chloe Sherman (diperankan oleh Kiera Allen, yang seperti Chloe, juga memakai kursi roda). Menginjak usia 17 tahun, meski punya banyak keterbatasan, Chloe tetap bersemangat bersekolah dari rumah di bawah bimbingan Diane, dan ingin berkuliah di Universitas Washington. Berbeda dengan orang tua lain yang anaknya disekolahkan di rumah, Diane tidak khawatir. Di suatu pertemuan antar orang tua, hanya dia satu-satunya yang merasa bahagia, sebab Diane percaya akan ketangguhan Chloe.

Terdengar seperti keluarga impian bukan? Chloe pun merasa demikian, hingga suatu hari ia mendapati sang ibu memberinya obat yang berbeda. Obat mencurigakan, di mana alih-alih namanya, justru nama Diane yang tercantum di kotak. Bukan perkara sulit untuk menebak ke arah mana Aneesh Chaganty dan Sev Ohanian menggiring alur dalam naskah buatan mereka. Dan itu bukan kekurangan. Tidak fatal. Masalah terletak pada progres buru-buru. Selepas 17 tahun penuh manipulasi, semestinya tak semudah dan secepat itu bagi Chloe mencurigai Diane, yang selama ini ia kenal sebagai ibu penyayang yang tak pernah sedikitpun mengekangnya.

Lubang logika tersebut membuat kisahnya berjarak. Padahal kandungan cerita Run lebih dekat dengan realita dari kelihatannya. Tanpa harus mengidap MSbP, bukankah begitu banyak orang tua yang mengontrol, mengekang, dan memanipulasi anak mereka, namun berkata bahwa semua dilakukan demi kebaikan si buah hati. Bermodalkan gaya histerikal khasnya, penampilan Sarah Paulson mungkin takkan menghadirkan dampak emosi signifikan dari konflik keluarganya, namun sesuai bila dibandingkan dengan “wajah b-movie” filmnya, sebagai sosok antagonis psikotik.

Sebaliknya, Kiera Allen memudahkan penonton mendukung perjuangan karakternya, dalam sekuen-sekuen yang berhasil dikemas secara menegangkan oleh Aneesh Chaganty. Pun kondisi fisik Chloe ditambah keterampilannya, melahirkan berbagai situasi kreatif, misalnya saat ia berusaha kabur dari kamar yang dikunci oleh Diane. Kreativitas tersebut agak memudar kala klimaksnya sebatas menampilkan aksi kejar-kejaran klise, sebelum (untungnya) film ditutup oleh momen “sakit” yang bakal membuat anda tersenyum puas.

Sedikit easter eggs: Aneesh Chaganty mengajak dua pemain Searching untuk ambil bagian di sini. Salah satunya mudah ditemukan, sedangkan satunya lagi akan terlewatkan bila kurang teliti. Bisakah anda menyebutkan siapa saja mereka?


Available on HULU

4 komentar :

Comment Page:
M. ARif Kurniawan mengatakan...

Haha, ternyata ada jg yg sdar dgn mbak2 yg di situs univ itu sebenarnya sama kyk si mbak2 tipu di searching

Anon mengatakan...

Susternya sama yang di iklan universitas sama kek di searching

Thoriq mengatakan...

Situs ini memungkinkan bagi pembaca untuk ikut mereview apa tidak ya? sepertinya bakal seru nih kalau bisa. meskipun tetep harus dimoderatori/koreksi oleh pemilik situs.

reza mengatakan...

Maas, main2lah ke Europe on Screen, butuh rekomen film2 bagus niih