REVIEW - HAPPY OLD YEAR

1 komentar

Sebuah kantor bernuansa minimalis terlihat. Warna putih mendominasi, dan cuma berisi segelintir perabotan. Sang pemilik, Jean (Chutimon Chuengcharoensukying), menjelaskan bahwa kantor itu dahulu merupakan rumahnya. "Sama seperti filosofi Budha, desain minimalis adalah soal merelakan", ucapnya. Kemudian Happy Old Year, yang merupakan perwakilan Thailand di ajang Academy Awards 2021, memakai 113 menit durasinya guna memperlihatkan perjalanan Jean sebelum melakukan renovasi, menjabarkan perbedaan antara "letting go" dan "throwing away".

Obsesi Jean terhadap minimalisme terinspirasi dari pengalamannya selama tiga tahun di Swedia. Pula bukan kejutan saat Marie Kondo adalah salah satu panutan protagonis kita. Rencananya, Jean akan merombak lantai bawah rumah, membuang semua barang, sementara sang adik, Jay (Thirawat Ngosawang), bersama ibu mereka (Apasiri Chantrasmi) tinggal di lantai atas. Walau niatan tersebut ditentang ibunya (khususnya sewaktu Jean ingin membuat piano milik ayahnya), Jean tidak gentar. Semua dibuang begitu saja, tanpa peduli apakah suatu benda menyimpan kenangan. Apa perlunya memiliki buku kalau sudah ada e-book? Kenapa mendengarkan musik lewat CD jika layanan musik digital mudah diakses? Demikian prinsip Jean.

Naskah buatan sutradara Nawapol Thamrongrattanarit (Heart Attack) membagi kisah dalam enam babak, yang masing-masing dibuka dengan title card bertuliskan beberapa tajuk seperti "Don't Reminiscing the Past" atau "Don't Feel Too Much". Tentu elemen ini sebatas pernak-pernik yang takkan mempengaruhi kualitas penceritaan. Disertai tempo lampat, ditambah lagi first act yang berlangsung agak terlalu lama, butuh waktu bagi Happy Old Year untuk benar-benar mencengkeram, sebagaimana Jean, yang butuh waktu hingga menyadari kalau ia tidak saja membuang barang bekas, juga orang-orang di sekitarnya. 

Kesadaran itu mengubah pola pikir Jean, yang menuntunnya bertemu lagi dengan Aim (Sunny Suwanmethanont), sang mantan kekasih yang ia tinggalkan tanpa kabar selepas kepergian menuju Swedia. Reuni keduanya adalah titik balik dinamika emosi film ini. Chutimon (yang popularitasnya melambung pasca kesuksesan Bad Genius) menuangkan perasaan bersalah karakternya secara emosional, sementara Sunny melengkapi momen yang bakal mengaduk-aduk perasaan penonton itu dengan senyuman hangat. 

Jean pun sadar, banyak hal yang ia sukai hingga sekarang, berasal dari Aim. Dari situlah Happy Old Year menuturkan pesan soal kenangan, yang tersaji emosional berkat sensitivitas Nawapol. Serupa prinsip minalis tokoh utamanya, sang sutradara tidak memerlukan banyak sentuhan besar. Musik cuma terdengar kala diperlukan, dan acap kali keintiman justru diperkuat oleh keheningan, atau suara "natural", seperti saat semilir angin yang menembus dedaunan pohon mengiringi reuni Jean dan Aim. 

Sebagai sutradara sekaligus penulis, Nawapol jeli memilih gambar apa yang mesti ditangkap kamera, juga kalimat yang paling tepat menggambarkan emosi yang hendak dimunculkan suatu momen. Bahkan hanya berbekal sebuah foto yang memenuhi layar, filmnya sanggup memancing rasa haru. "Seemed like ordinary photo, but it's priceless", ucap salah satu karakter. Karena begitulah memori. Kita akan beranjak meninggalkannya, melanjutkan hidup (move on) di tempat lain, bersama orang-orang berbeda, namun jejaknya takkan hilang, pun tidak harus berusaha kita musnahkan.

Tapi ada satu pengecualian, yang hadir apabila kenangan itu terus menyakiti, bahkan menghancurkan pemiliknya. Persoalan itu diwakili oleh subplot mengenai keluarga Jean, yang sayangnya tidak digali secara mumpuni, sehingga tak memberi dampak emosional sebagaimana mestinya, biarpun dalam shot penutup, Chutimon sudah mengerahkan segalanya guna mencabik-cabik hati penonton.

1 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Sudah pernah bikin review One Day (2016) Mas Rasyid ? Saya suka filmnya tapi setiap ingin melihat review di internet adanya malah lebih ke sinopsis saja,ingin tahu sih secara teknis film,apa yg membuat film ini begitu enak dinikmati ?