REVIEW - PIECES OF A WOMAN

3 komentar

Pieces of a Woman dibuka oleh adegan home birth dalam long take sepanjang kurang lebih 22 menit yang sudah ramai dibicarakan, selaku ajang unjuk gigi hampir tiap departemen. Pertama, tentu saja sinematografi Benjamin Loeb, di mana kamera sanggup mengikuti seluruh detail Mise-en-scène yang dibangun sang sutradara, Kornél Mundruczó, guna melahirkan momen senyata mungkin. Realisme yang mencengkeram atensi juga emosi penonton. Pun efek spesial untuk membuat Vanessa Kirby tampak meyakinkan sebagai wanita yang tengah menjalani persalinan, patut diberi pujian.

Momen tersebut turut memperkenalkan kita pada performa kelas wahid Kirby, yang bakal membuat penonton menahan napas, sembari merasakan sakit serta penderitaan karakternya. Nantinya sang aktris memberi lebih banyak lagi. Tapi selain adegan persalinan dan akting Kirby, apa lagi yang orang bicarakan tentang film ini? Saya rasa tidak banyak, kalau bukan tidak ada. Selain karena dua elemen itu teramat menonjol, dalam sisa durasinya, Pieces of a Woman memang tak menawarkan hal spesial lain.

Bukan spoiler bila saya menyebut persalinan itu tidak diakhiri dengan perayaan penuh suka cita. Hampir semua materi promosi sudah mengungkap, bahwa Martha (Vanessa Kirby) dan Sean (Shia LaBeouf) kehilangan bayi mereka. Kesalahan dilimpahkan kepada Eva (Molly Parker) selaku bidan pengganti dadakan. Ibu Martha, Elizabeth (Ellen Burstyn), ngotot ingin menjebloskan Eva ke penjara. Menurut Elizabeth, seseorang mesti disalahkan dan menerima ganjaran. Martha tidak berpikiran sama.

Martha pun melanjutkan hidup, kembali ke kantor walau orang-orang memberinya tatapan yang berbeda. Naskahnya, yang ditulis oleh istri Mundruczó , Kata Wéber, berdasarkan tragedi personal yang mereka alami, memaparkan luka si protagonis, yang diperparah oleh banyaknya tekanan dari orang-orang di sekitarnya. Berkata ingin membantu, sejatinya mereka cuma berniat memenuhi ego masing-masing. Keinginan agar Martha membaik bukan sepenuhnya didasari kepedulian tulus, melainkan karena cara Martha menangani duka membuat mereka tidak nyaman.

Mereka lupa (atau malah tidak peduli?) kalau Martha-lah yang kehilangan kepingan-kepingan dirinya. Luar biasa bagaimana Kirby mewujudkan duka karakternya. Duka yang kerap membuat Martha nampak kosong, namun itu bukan wujud kelemahan. Dia rapuh, tapi tetap berusaha bertahan dengan kokoh. Dia rapuh, tapi menolak hancur. Bahkan, bisa dibilang, biarpun Martha yang paling menderita, ia juga yang paling bisa menata diri. She’s a woman with dignity. Mundruczó paham betul sebagus apa performa aktrisnya. Tidak jarang latar musik maupun suara dihilangkan, guna membiarkan akting Kirby “berbicara paling keras” di tengah kesunyian menyakitkan.

Bertolak belakang dengan pendekatan realis Kirby, ada Shia LaBeouf, yang seperti biasa, punya tendensi meledak-ledak. Menyaksikannya terasa melelahkan. Saya selalu menganggap LaBeouf bak rekan seperguruan Nicolas Cage. Keduanya sama-sama gemar tampil berlebihan. Bedanya, gaya hiperbola Cage cenderung menghibur, sementara melihat LaBeouf menyiksa diri sendiri juga terasa menyiksa. The world where his characters live must be a world where the sun don’t shine.

Kali ini bukan seutuhnya kesalahan LaBeouf. Naskahnya berusaha terlalu keras menampilkan situasi ekstrim. Tidak hanya Sean, nyaris semua tokoh pendukung di sekitar Martha digambarkan bak villain. Apa pun yang mereka lakukan selalu menyakiti Martha sekaligus memancing amarah penonton. Metode itu efektif membuat kita mendukung Martha, tapi terlalu manipulatif, untuk film yang dibuka melalui adegan yang dibuat dengan semangat menampilkan realisme sekuat mungkin.

Anehnya, di saat bersamaan Wéber seolah juga berusaha memanusiakan mereka, bahkan sempat terkesan mendorong penonton menaruh simpati. Akhirnya saya malah tidak pernah yakin harus merasakan apa, dan harus bersikap bagaimana terhadap mereka. Bisa jadi Pieces of a Woman ingin bersikap adil. Masalahnya, jika benar demikian, keputusan memanipulasi emosi penonton sebagaimana saya sebut di atas, justru menjadi bumerang.

Selain emotionally confusing, juga membuang waktu. Contohnya, daripada menaruh fokus pada Sean (yang terkesan ingin menjustifikasi perbuatannya), kenapa tidak mengajak penonton menghabiskan waktu lebih sering bersama Martha demi memperkuat keintiman cerita? Pieces of a Woman sejatinya dibuat berdasarkan niat baik, namun sayang, keping-kepingnya gagal tersusun dengan baik. Tetap saja, filmnya pantas disimak, semata demi akting Vanessa Kirby dan adegan persalinannya.


Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:
Galan AZ mengatakan...

Mas, dengan semakin banyaknya serial di Disney+, WeTV, Netflix, dan semacamnya, apakah ada kemungkinan website ini juga akan review serial ke depannya?

Bayu Prasetya mengatakan...

Bang, review wandavision dong, tiap episodenya, biar greget..��

Rasyidharry mengatakan...

Nggak mau bilang mustahil, tapi rada kecil kemungkinannya. Masalah waktu