REVIEW - COMING 2 AMERICA

3 komentar

Jauh sebelum penonton film mengenal Wakanda, Coming to America (1988) sudah lebih dulu muncul dengan Zamunda. Sebuah negara fiktif di Afrika yang makmur, dengan istana mewah, pakaian glamor, serta tradisi-tradisi unik. Salah satunya rutinitas pagi Pangeran Akeem (Eddie Murphy), saat pelayan wanita membersihkan "royal penis" miliknya. Ditengok sekarang, bagaimana film itu menggambarkan wanita memang nampak bermasalah, dan menilik premisnya, Coming 2 America bak usaha melakukan penebusan. 

Selang 33 tahun sejak film pertama, Akeem dan Lisa (Shari Headley) telah dikaruniai tiga anak. Semuanya perempuan, yang artinya, menurut tradisi Zamunda, tak satu pun dari mereka berhak atas tahta. Meski demikian, puteri sulung mereka, Meeka (KiKi Layne), pantang menyerah dan terus mempersiapkan diri sebagai calon penguasa Zamunda. Sampai sebelum ajalnya, Raja Jaffe Joffer (James Earl Jones) menyampaikan kabar mengejutkan: Akeem mempunyai anak laki-laki di Queens!

Lavelle (Jermaine Fowler) namanya, putera dari Mary (Leslie Jones). Demi menjaga kejutan, saya takkan memberi tahu bagaimana Akeem, yang dahulu cuma berfokus pada Lisa, bisa berhubungan dengan Mary. Tapi momen itu memberi kesempatan pada departemen efek visual untuk unjuk gigi, menciptakan flashback dengan CGI mumpuni, yang membuat Eddie Murphy dan Arsenio Hall terlihat tiga dekade lebih muda. Momen yang turut menunjukkan, sebagaimana sekuel/remake berjeda waktu lama lain, Coming 2 America juga penuh nostalgia.

Nostalgia baik berupa kemunculan sosok-sosok lama seperti "trio pangkas rambut" (masih diperankan Murphy dan Hall berbalut tata rias luar biasa) yang masih jago mengocok perut lewat selorohan tanpa saringan mereka, tipe-tipe humor familiar yang juga belum kehilangan daya bunuh, atau momen-momen bersifat referencial. Sedikit penyesuaian muncul di sana-sini, sebutlah restoran McDowell's yang kini berpindah ke Zamunda, dan mempunyai versi kulit hitam dari Ronald McDonald selaku maskot. 

Naskah buatan dua penulis film pertamanya, Barry W. Blaustein dan David Sheffield, yang kali ini mendapat tambahan tenaga dari Kenya Barris (Barbershop: The Next Cut, The Witches), memastikan agar komedinya tetap memuaskan penggemar lama. Tapi bagaimana dengan elemen lain? Di sinilah masalah terbesar Coming 2 America berada. 

Ketimbang sekuel, Coming 2 America lebih seperti remake terselubung, di mana unsur nostalgia kerap jatuh menjadi pengulangan semata. Lavelle tidak hanya dipersiapkan sebagai pangeran, pula calon suami bagi puteri Jenderal Izzi (Wesley Snipes), penguasa Nextdoria selaku rival dari Zamunda, sekaligus kakak Imani (Vanessa Bell Calloway). Ya, mantan calon istri Akeem yang ia "kutuk" sehingga terus melompat dengan satu kaki sambil menggonggong. Berikutnya, menyusul poin-poin alur, yang mencerminkan perjalanan Akeem dahulu.

Saya bukan golongan anti "repetisi-berkedok-tribute". Saya bersuka cita kala mendapati The Force Awakens merupakan carbon copy dari A New Hope. Nostalgia itu menyenangkan. Pun sejatinya, repetisi tersebut malah bisa dimanfaatkan guna menguatkan gagasan utama kisahnya, yakni tentang Akeem, yang seiring pertambahan usia, semakin mirip dengan hal yang dulu dibencinya: kekolotan sang ayah. 

Film pertama sukses mengubah resistensi Akeem terhadap hal konservatif menjadi suguhan komedi-romantis yang amat manis. Ada hati. Ada rasa. Pencapaian itu gagal diulangi, akibat para penulis seolah kebingungan menaruh fokus. Apakah soal Akeem yang mencari kembali "api" dalam dirinya? Apakah soal Lavelle yang mengejar kebebasan? Apakah soal para wanita Zamunda? Hasilnya tumpang tindih. Bukan saja repetisi, Coming 2 America adalah repetisi yang disajikan sambil memencet tombol fast forward, sementara para pembuatnya mencentang checklist, tiap alurnya melewati poin demi poin film pertama yang ingin diulangi.

Seharusnya ini menjadi kendaraan Eddie Murphy membangkitkan karirnya, namun walau ia mampu memberi kehangatan di segelintir momen dramatik, Akeem seperti terpinggirkan dari franchise-nya sendiri. Begitu pun para wanitanya. Ketangguhan KiKi Layne, keberhasilan Headley (masih secantik 33 tahun lalu) menjadikan Lisa figur bijak serupa mendiang Madge Sinclair sebagai Ratu Aoleon dahulu, maupun "keliaran" Leslie Jones, jadi sia-sia. Sedangkan percintaan Lavelle dan Mirembe (Nomzamo Mbatha) si royal groomer jauh dari romantisme Akeem-Lisa, akibat presentasi yang buru-buru serta kurangnya fokus pada hubungan keduanya. Mau bagaimana lagi? Kisahnya memang terlalu penuh.

Paling tidak, jika sebatas mencari hiburan atau obat rindu, sutradara Craig Brewer (Hustle & Flow, Dolemite Is My Name) sanggup melahirkan lanjutan, yang dalam konteks hiburan, masih menyimpan tenaga dan jiwa yang sama dengan pendahulunya. 


Available on PRIME VIDEO

3 komentar :

Comment Page:
Anon mengatakan...

Review "Never rarely sometimes always" mas rasyid hehehee

aan mengatakan...

Gara2 Pluto Nash flop parah...Eddy tenggelam ya..ketolong ama pengisian suara di shrek...film Coming 2 America nongol pas pandemi...mumet juga...

Rasyidharry mengatakan...

Sadly.
Habis Pluto Nash sebenernya masih ada harapan di Shrek, terus Dreamgirls. Bener-bener abis ya setelah back to back Meet Dave & Imagine That. Terakhir A Thousand Words Bikin makin ancur