REVIEW - SURGA YANG TAK DIRINDUKAN 3

3 komentar

Secara filmis, Surga yang Tak Dirindukan 3 sejatinya agak lebih baik ketimbang film kedua, yang juga superior dibanding film pertama, berkat peralihan fokus dari kisah religi seputar poligami menuju disease porn berbalut drama keluarga. Belum pantas disebut "bagus", namun peningkatan tetaplah peningkatan. Wajib diapresiasi. Selain kehadiran Marsha Timothy menggantikan Raline Shah sebagai Meirose, ketertarikan menonton pun muncul saat Pritagita Arianegara (Salawaku) ditunjuk mengisi kursi penyutradaraan. 

Kita tahu seri Surga yang Tak Dirindukan kental nuansa patriarki, sehingga walau masih berbasis novel buatan Asma Nadia, pun naskahnya masih ditulis Alim Sudio, menarik disimak, bagaimana kehadiran sutradara wanita memberikan pengaruh. Dan memang tampak ada niatan menggeser perspektifnya. Kini giliran Pras (Fedi Nuril) berada di posisi mendiang istri pertamanya, Arini (Laudya Cynthia Bella), kala Ray (Reza Rahadian) kembali ke kehidupan Meirose.

Siapa Ray? Ingat saat di film pertama Meirose yang tengah hamil mencoba bunuh diri akibat ditinggal tanpa kejelasan oleh calon suaminya? Ray adalah pria itu. Ayah kandung Akbar (Ali Fikry). Biarpun Meirose sudah berusaha menyembunyikan itu dari sang suami, toh semua akhirnya terbongkar. Mengira Meirose masih mencintai Ray, amarah Pras memuncak setelah tahu bahwa istrinya pernah berduaan di kamar bersama Ray. Padahal kondisi saat itu, Meirose baru siuman pasca sebuah kecelakaan.

Bukankah Pras berada dalam situasi yang mirip sewaktu menyelamatkan Meirose dahulu? Saya takkan menyebut Surga yang Tak Dirindukan 3 sebagai film yang menggugat kerapuhan maskulinitas (apalagi kala gagasan "istri adalah pelayan suami sang kepala rumah tangga" masih tercium di sana-sini), tapi keputusan menukar sudut pandang, membuktikan filmnya mau berkembang. Warna religi dipertahankan tanpa mencekoki penonton dengan ceramah agama. 

Naskahnya lebih cerdik. Misal ketika Pras mengetahui jika puterinya, Nadia (Zara Leola) tak lagi suka mendongeng sebagaimana Arini, dan memilih membuat video dance di YouTube. Masalah itu bisa saja dibawakan memakai tone konservatif, namun Pras memilih sedikit membuka pikiran, kemudian berujar, "Apa yang kita suka belum tentu baik". Konteksnya mengingatkan, bukan melarang. Dan memang betul, hal yang kita sukai belum tentu baik bagi kita. 

Sayangnya deretan hal dipaksakan tetap jadi batu sandungan. Misalnya keputusan Ray menyembunyikan alasan meninggalkan Meirose, yang jelas sebuah retcon kasar terhadap alur film pertama. Atau kebingungan Pras akibat perusahaannya terlilit utang sebesar 2,5 miliar. Perusahaan macam apa yang terancam gulung tikar gara-gara angka tersebut? Sekecil apa profit margin-nya? Tapi biarlah. Saya takkan mempersoalkan lubang logika, untuk film yang memiliki kalimat epik, "SANDIWARA APA YANG SEDANG KALIAN MAINKAN?!". Kalau saja dirilis luas di bioskop, saya yakin kalimat itu bakal jadi bahan banyak meme.

Terpenting, filmnya watchable. Apabila Hanung membawa film keduanya tampil megah nan dramatis, Pritagita menangani emosinya secara lebih intim, dibantu penampilan solid jajaran pemain. Marsha tahu cara menyeimbangkan keteguhan dengan kelembutan, Zara cukup piawai menangani momen dramatis, sementara Reza, seperti biasa, nyaman disaksikan. Aksen medoknya tak selalu enak didengar, namun setidaknya, Reza memakai pendekatan lebih subtil, alih-alih hiperbolis layaknya banyak aktor lain.

Surga yang Tak Dirindukan 3 juga menjadi installment paling menggelitik melalui sentuhan humor, khususnya berkat dua nama: Dea Panendra dan Zsazsa Utari. Dea menjadi seorang guru berkelakuan konyol, dalam peran comic relief yang biasanya identik dengan Asri Welas (kebetulan nama karakternya pun Welas), sedangkan Zsazsa mencuri perhatian melalui celetukan-celetukannya (that "Kecap Bango" jokes will catch you off guard).

Saya bersedia melupakan segala kekurangan film ini, mengakuinya sebagai suguhan layak tonton, hingga tiba sebuah momen. Momen singkat yang sebenarnya tak perlu ada, atau minimal, bisa dipresentasikan secara berbeda. Momen yang memperlihatkan ketidakpekaan filmnya terhadap isu dengan urgency tinggi, yakni kekerasan dalam rumah tangga, di mana mayoritas pelaku adalah suami. 

Momen tersebut terjadi saat Pras yang bimbang mesti bagaimana menyikapi hubungan Meirose dan Ray, menemui seorang ustaz. Sang ustaz kemudian berpetuah, bahwa menurut Islam, jika istri berselingkuh, suami boleh memberi hukuman, mulai dari mengingatkan, memarahi, bahkan memukul asal tidak berniat melukai. Apa perlunya hal itu disampaikan, bila konfliknya sendiri tak pernah mengarah ke sana? 

Film tidak perlu memberi pesan moral. Tapi film wajib peka terhadap situasi, sebagai bentuk tanggung jawab sosial pembuat karya. Apakah bijak, secara sepintas mencatut ayat yang kerap disalahartikan, tanpa mengolah konteks sekaligus pemaknaannya lebih mendalam? Di masa kegelapan dulu, suami bisa menyiksa bahkan membunuh istri yang dianggap membangkang, sehingga "memukul tanpa niat melukai", sama halnya dengan diperbolehkannya pria mempunyai empat istri, merupakan "jalan tengah" yang harus diambil. Sekarang? Wahai pembuat film, silahkan direnungkan, lalu berusaha pahami, bagaimana perasaan istri korban kekerasan tatkala menyaksikan momen tersebut. 


Available on DISNEY+ HOTSTAR

3 komentar :

Comment Page:
Isnaini mengatakan...

Jika adegan ustaz itu dihilangkan, apakah nilainya akan lebih tinggi dari SYTD 2?

Rasyidharry mengatakan...

Kemungkinan besar iya

agoesinema mengatakan...

Saya terganggu dgn Reza yg sdh main di SYTD 2 dgn peran lain, bermain lagi di sini dgn karakter berbeda