REVIEW - OXYGEN

2 komentar

Serupa Devil (2010) dan Buried (2010), Oxygen mengurung protagonisnya di sebuah ruang sempit. Naskahnya dibuat oleh Christie LeBlanc si debutan menjanjikan, namun di kursi penyutradaraan, duduklah sosok berpengalaman: Alexandre Aja. Bukan kali pertama Aja menangani film serupa. Terakhir ia membuat Crawl (2019) yang menjebak karakternya di tengah banjir bersama buaya, pun ia pernah menulis naskah sekaligus memproduseri P2 (2007), mengenai wanita yang terjebak di parkiran bawah tanah.

Tapi dibanding keduanya, Oxygen jelas punya tingkat kesulitan lebih. Latarnya jauh lebih sempit, yakni sebuah kapsul kriogenik. Seorang wanita (Mélanie Laurent) terbangun dari hypersleep dalam kapsul tersebut, sendirian, panik, kehilangan ingatan, dengan kadar oksigen hanya tersisa 35%. Satu-satunya sumber informasi hanya AI canggih bernama M.I.L.O. (disuarakan oleh Mathieu Amalric). Disajikan hampir secara real time, kita disuguhi usahanya menyelamatkan diri sebelum kehabisan oksigen.

Semakin sedikit informasi yang anda tahu, semakin memuaskan filmnya, jadi saya tidak akan membahas alurnya lebih lanjut. Tapi berbeda dengan contoh-contoh "film satu lokasi" di atas, Oxygen punya lebih banyak variasi, mengingat latarnya adalah kapsul kriogenik canggih. Ancaman pun bukan cuma berasal dari menipisnya oksigen, pula sistem di dalamnya yang menjalankan protokol keamanan (contohnya suntikan robotik). 

Sinematografi garapan Maxime Alexandre, yang sudah menjadi langganan Aja sejak High Tension (2003), pun mampu memanfaatkan berbagai opsi visual sebagai cara menghapus kesan monoton, seperti panning out guna membawa penonton seolah keluar dari kapsul (teknik yang juga dipakai di Buried), hingga shot 360 derajat yang meningkatkan intensitas, sekaligus menandai titik balik alurnya. Melalui sebuah twist, baik penonton maupun karakternya, menyadari bahwa situasi ternyata jauh lebih berbahaya dari perkiraan. 

Twist tersebut jadi langkah cerdik memperluas skala, menambah pilihan konflik, pula memperkaya penceritaan, yang sebelumnya telah dibangun lewat deretan flashback. Melalui flashback (yang juga bertujuan menjauhkan kemonotonan), protagonis kita secara berkala mendapatkan lagi fragmen demi fragmen memorinya, walau sayangnya, beberapa caranya mengembalikan ingatan terkesan dipaksakan, sebatas memenuhi kebutuhan agar kisahnya terus berjalan, ketimbang sebuah progres natural.

Tidak demikian dengan akting Mélanie Laurent. Tidak ada yang dipaksakan dari penampilan superiornya, yang berulang kali melompat dari cemas, tenang, lalu kembali ke cemas. Kita pun bisa memahami saat karakternya mengambil keputusan kurang tepat, atau bersikap kurang kooperatif dengan pihak-pihak yang hendak memberi bantuan. Sekadar informasi tambahan, sebelumnya peran ini akan diberikan pada Anne Hathaway, lalu berpindah ke Noomi Rapace, sebelum didapat Laurent. Rapace akhirnya menjadi produser eksekutif, sedangkan Hathaway mengisi suara versi Bahasa Inggris. 

Memasuki 25 menit terakhir, muncul satu lagi twist, yang tidak seperti titik balik di pertengahan durasi, kali ini terasa mencurangi. Mengacu pada apa saja yang sebelumnya dilakukan si tokoh utama, seharusnya twist tersebut mustahil terjadi. Tapi Aja, selaku salah satu sutradara "genre film" terbaik saat ini, membangun tontonan yang membuat penonton melupakan, atau bahkan tak menyadari cacat-cacat logika. Dinamikanya konsisten, lewat keberadaan jump scare, beberapa momen menyakitkan, serta intensitas yang terus terjaga. Sebagai parade teror dan ketegangan, Oxygen merupakan paket lengkap, karena para pembuatnya jelas paham betul, sekaligus mencintai genre yang mereka buat.


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:
Anon mengatakan...

"Those who wish me dead" nya angelina jolie mantep juga bang. Next review kah?

Chan hadinata mengatakan...

"The woman in the window" nya amy adams sebusuk itukah filmnya??
Score by RT