REVIEW - LUCA

8 komentar

Luca bernasip seperti The Good Dinosaur (2015), Incredibles 2 (2018), dan Onward (2020). Judul-judul di atas jauh dari buruk. Bagus malah, dan bila dirilis oleh studio lain, mungkin bakal disebut sebagai karya terbaik studio itu. "Sialnya", mereka dirilis tepat setelah film-film yang dilabeli "Pixar's best outputs", yang mana punya standar luar biasa tinggi. Luca hadir enam bulan pasca Soul, dan tampak inferior bila disandingkan. Padahal, satu-satunya "dosa" milik debut Enrico Casarosa di kursi penyutradaraan ini, hanyalah kesan familiar. 

Alkisah, hiduplah Luca Paguro (Jacob Tremblay), monster laut berumur 13 tahun yang penasaran akan kehidupan di darat. Keingintahuan itu mesti dipendam, karena larangan yang senantiasa dilontarkan Daniela (Maya Rudolph), ibunya. Alasannya, manusia pasti bakal membunuh semua monster laut yang dilihatnya. Para monster laut sendiri menyebut manusia sebagai "land monster". Ya, ini soal perspektif. Soal stigma yang timbul akibat ketidaktahuan. Soal sulitnya menjadi "berbeda". 

Naskah buatan Jesse Andrews (Me and Earl and the Dying Girl) dan Mike Jones (Soul) mengangkat kisah berisi pesan-pesan yang mungkin bisa kita temui dalam film baru tiap minggu. Semua dipresentasikan secara solid, walau memang, minim sentuhan unik ala Pixar. Tidak ada mitologi dunia detail sebagaimana kita saksikan di seri Finding Nemo misalnya, sebagai sesama film Pixar berlatar bawah laut. Begitu pula hubungan ibu-anak, yang biasanya menawarkan insight segar, ketimbang sekadar konflik "orang tua kaku melawan anak serba ingin tahu".

Tapi sekali lagi, semua elemen tertata di tempat yang tepat. Familiar, namun solid. Bahkan semakin menarik kala Luca bertemu Alberto Scorfano (Jack Dylan Grazer), monster laut yang telah berpengalaman tinggal di daratan. Dari Alberto, Luca belajar hidup di permukaan (setelah mengetahui kalau tubuh monster laut dapat bertransformasi menjadi manusia), bahkan menemukan cita-citanya, yakni mengendarai vespa. Bagaimana cara monster laut mendapatkan vespa?

Pertemuan dengan Giulia Marcovaldo (Emma Berman) si gadis berjiwa petualang, membuka jalan ke sana. Giulia memberi informasi tentang balapan berhadiah uang yang digelar tiap musim panas. Mulailah ketiga membentuk tim, berlatih bersama, sementara Luca perlahan belajar tentang betapa luasnya dunia yang belum ia ketahui. 

Berlatar di Italia tahun 1963, wajar saat Enrico Casarosa menyelipkan beberapa tribute bagi film-film Italia dari era tersebut, meski jika bicara visual, pengaruh film-film Studio Ghibli khususnya Ponyo (2008), akan mendominasi pembicaraan. Contohnya di beberapa adegan sureal selaku gambaran angan-angan Luca, yang mengingatkan pada (1963) buatan Federico Fellini. Karya Fellini memang berpengaruh besar dalam pengarahan Casarosa, termasuk dalam salah satu adegan substansial yang bakal saya singgung nanti.

Hubungan Luca-Alberto menghasilkan dinamika menarik. Seorang remaja yang ingin terlihat tahu segalanya, dan remaja lebih muda yang naif. Alberto memang kerap tampak sok tahu, tapi bukan didasari kesombongan. Ada kisah memilukan tentang pemuda yang merasa hidupnya merupakan kegagalan menyedihkan, sehingga menjadikan itu sebagai mekanisme pertahanan diri. Tremblay dan Grazer tampil mengesankan selaku pengisi, baik saat menangani humor yang minimal mampu memancing senyum, maupun menghantarkan emosi.

Biarpun mayoritas bergulir di ranah familiar, ada satu modifikasi menarik yang naskahnya lakukan, terkait formula film coming-of-age berlatar liburan musim panas. Kisah tersebut sering mengetengahkan individu yang mengisi liburan di suatu tempat (biasanya kota yang lebih kecil dari tempat tinggalnya), untuk kemudian belajar, lalu pulang setelah mengalami pendewasaan. Di sini agak berbeda. Ada figur semacam itu (Giulia), tapi ia bukan tokoh utama, melainkan sosok yang berperan membukakan pintu bagi si tokoh utama. Luca bukan mengenai "kunjungan", melainkan "kepergian", atau mungkin lebih tepatnya "keberangkatan".

Babak akhirnya mengalami naik-turun kualitas. Selepas puncak konflik yang heartbreaking (sekaligus mengejutkan), klimaksnya diisi aksi kejar-kejaran formulaik, sebelum menawarkan solusi sarat simplifikasi tentang community acceptance. Tapi penyutradaraan Casarosa mampu memberikan hati di waktu, dosis, serta tempat yang pas. Termasuk adegan penutupnya, yang merupakan tribute untuk I Vitelloni (1953) milik Fellini, walau sebagian besar penonton rasanya cenderung mengasosiasikannya dengan Call Me By Your Name (2017). Tergantung pada bagaimana anda memandang, hubungan seperti apa yang sebenarnya terjalin antara Luca dan Alberto. 


Available on DISNEY+ HOTSTAR

8 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

coba aja final actnya ga terlalu rushed, jadinya kurang aja di konklusinya.

well, menurut saya kayaknya oscar taun ini bakal dipegang sony sih

Abay mengatakan...

Review Rurouni Kenshin The Final bangšŸ™

Rasyidharry mengatakan...

So far masih The Mitchells vs Luca. Tinggal nunggu hasilnya Encanto gimana

Anon mengatakan...

Review "Censor" bang. Dah rilis web dl nya hehehe

Unknown mengatakan...

R.Kenshin dong.
Ane lagi marathon nih nnnton ulang dari awal.

Anonim mengatakan...

Flee salah satu kandidat kuat juga untuk best animated feature kalau keluar tahun ini.

Rasyidharry mengatakan...

Penghalang terbesar Fleet: negara

Dari 20 tahun, baru 2 animasi non-US yang menang

Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Pantesan adegan endingnya kok familiar yaaa, setelah dipikir2 emang ngingetin Call Me By Your Name sih. Entah bener atau tidak, mungkin enggak sih klo film ini ngasih hint2 percintaan sesama jenis ketimbang bromance. Kayak ngangkat isu LGBT secara implisit gitu. Karena di beberapa adegan ditunjukan alberto kayak cemburu pas ngeliat Luca deket sama Gulia. Apakah saya yang suudzon hehe.