REVIEW - RUROUNI KENSHIN: THE BEGINNING

7 komentar

The Beginning adalah pilihan berani. Ketika franchise lain memilih tampil seepik mungkin di babak pamungkas, di film kelimanya, Rurouni Kenshin justru mengambil pendekatan melodrama berskala lebih kecil, lebih sunyi, lebih lambat, seraya mengajak penonton menengok ke masa lalu, guna memahami alasan Battosai mengakhiri legenda "si pembantai".

Kisahnya sederhana saja, yakni menyoroti puncak kejayaan (kalau bisa disebut demikian) Kenshin Himura alias Battosai (Takeru Satoh), yang membantai banyak orang demi terciptanya zaman baru. Selama sejalan dengan tujuan tersebut, nyawa siapa pun yang melayang, bukan jadi soal. Begitulah ideologi Kenshin. 

Mengambil latar kala Kenshin masih menjadi Battosai, walau kental unsur drama, ditambah penerapan tempo bertutur lambat oleh Keishi Ōtomo selaku sutradara, The Beginning tetap tersaji brutal tiap memasuki sekuen aksi, meski kuantitasnya menurun dibanding empat film sebelumnya. Sebab, bagaimana mungkin film dengan protagonis seorang pembantai tidak menumpahkan darah? Bahkan The Beginning adalah installment paling brutal. Entah faktanya demikian, atau sebatas "ilusi" karena penuturannya paling mendekati realisme, sehingga tiap tetes darah terasa lebih berdampak.

Lalu terjadilah pertemuan Kenshin dan Tomoe Yukishiro (Kasumi Arimura), kakak dari antagonis The Final, Enishi Yukishiro (Mackenyu Arata). Hanya berniat menolong sang gadis yang pingsan di hadapannya, kehadiran Tomoe justru perlahan mengguncang ideologi Kenshin. Keduanya jatuh cinta (bagi penonton yang masih asing dengan Rurouni Kenshin, akan ada twist di penghujung second act), dan romansa inilah yang Ōtomo pakai untuk menjabarkan transformasi Kenshin.

Interaksi keduanya (dikemas menggunakan tone sendu oleh Ōtomo) membuat Kenshin menyadari, bahwa orang-orang yang ia habisi, memiliki sosok-sosok yang menantikan kepulangan mereka. Setelah merasakan jatuh cinta, Kenshin bisa membayangkan sakitnya kehilangan orang tercinta. Ideologinya goyah, dan mulailah proses transisi sang protagonis, dari "pembantai yang ingin berbuat BENAR" menjadi "pengembara yang ingin berbuat BAIK". 

Di media mana pun (khususnya manga, mengingat versi anime baru mengangkat kisah ini melalui OVA Rurouni Kenshin: Trust & Betrayal yang tayang setahun selepas seri asli berakhir), hubungan Kenshin-Tomoe amat krusial. Berkatnya, perubahan Kenshin lebih memiliki bobot emosi. Fase ini memang pantas dibuatkan filmnya sendiri. Nilai plus bagi Ōtomo dan tim, atas keberanian mengambil risiko. 

Kekurangannya, The Beginning jelas tidak diperuntukkan bagi semua kalangan. Penonton awam yang berharap disuguhi aksi pedang tanpa henti, bisa jadi terkejut kemudian kecewa. Sebaliknya, para penggemar pasti sudah mengantisipasi tempo lambatnya, meski beberapa mungkin berpikiran seperti saya, yang menyayangkan keputusan Ōtomo terus menyuguhkan kesenduan sepanjang 137 menit durasi.

Benar bahwa fase hubungan Kenshin-Tomoe tidak se-playful kisah-kisah lain, namun kala membaca manganya, saya masih bisa sesekali dibuat tersenyum. Biarpun alasan menghindari inkonsistensi tone dapat diterima, meniadakan warna lain dalam interaksi dua tokoh utamanya malah melemahkan romantisme mereka. 

Romantisme itu baru terasa, sewaktu Kenshin dan Tomoe terpaksa pindah ke suatu rumah terpencil, pasca pasukan Hajime Saito (Yōsuke Eguchi) bersama seluruh pasukan Shinsengumi, memukul mundur pergerakannya. Orkestra indah buatan Naoki Satō mengiringi hari-hari pertama mereka di sana, saat Kenshin menemukan kehidupan baru yang mendatangkan rasa damai dan bahagia. 

Babak puncaknya menawarkan keseimbangan antara aksi dan drama. Seperti biasa, koreografi Rurouni Kenshin selalu luar biasa. Over-the-top, cepat, dan kali ini makin variatif, di mana selain beradu pedang, Kenshin harus melewati ledakan bom, juga perangkap-perangkap mematikan (for me, these traps are the highlight). Di ranah drama, voice over Kasumi Arimura membacakan buku harian Tomoe terdengar menyentuh, sekaligus menampakkan kompleksitas karakternya.

Tapi satu hal cukup mengganjal. (SPOILER ALERT) Di manga, Tomoe memberi laporan palsu mengenai kelemahan Battosai. "Cara dia tidur", ungkapnya. Padahal Tomoe tahu, kelemahan terbesar Kenshin adalah kebaikan hati, yang jauh dari citranya sebagai si pembantai. Monolog internal ini penting, karena memberi pemahaman, tentang mengapa dendamnya berubah jadi cinta. Menghapus elemen signifikan. Adaptasi live action Rurouni Kenshin memang kerap terjangkit "penyakit" satu ini, walau bagi non-fans, rasanya bukan masalah besar.


Available on NETFLIX

7 komentar :

Comment Page:
Anon mengatakan...

Mas mau tanya deh sebagai movie enthusiast and reviewer. Menurut pandangan mas rasyid, alasan kenapa dan apa yang membuat chinese movies merajai box office tertinggi sekarang yang notabene mostly ga banyak rilis internasional global even dalam masa kritis" nya film pada saat ini? Hollywood can't stand with it?

Anonim mengatakan...

China kan udah lama bebas covid makanya film-filmnya tetap sukses kayak sebelumnya. Beda dengan negara lain yang bioskopnya pada ditutup makanya perfilmannya kurang sukses

Rasyidharry mengatakan...

Jangan lupa, dari 2020 Cina udah jadi pasar film terbesar, ngalahin Hollywood. Kondisi yg aslinya udah bagus, ditambah bioskop buka duluan di timing yg pas (libur nasional) jadi faktor

Penontonnya kangen hiburan, & Industrinya udah berhasil meyakinkan publik, kalo film-film lokal punya kualitas sekelas Hollywood. Penonton sana mulai nggak suka "film nasionalis", tapi suka spektakel ala Hollywood yg "rasa Cina"

Mereka belajar dari Hollywood, bikin Hollywood ngira "Oh kita bisa eksploitasi pasar sini", padahal yg dilakuin adalah nyerap semua ilmu industri & filmmaking, buat diterapin ke karya khas lokal yg disukai penonton & nggak akan bisa ditiru negara lain

amel mengatakan...

ya bang kalau urusan film, menurut gue tuh china tuh "hollywood"nya asia karena china tuh imbang bener filmnya di macem-macem genre mau yang film festival sama blockbuster atau genre yang khusus kayak animasi sama dokumenter.jadi film china bisa sebesar sekarang bukan cuma karena faktor pasar sama penduduknya yang banyak tapi emang filmnya pada bagus semua karena penduduknya pada ngedukung sama sineasnya pada kreatif berkarya.

menurut gue indonesia juga bisa sebenarnya kaya china secara pasar sama penduduk disini itu juga gede banget (lah secara penduduk disini terbanyak ke-4 didunia) tapi ya gitu kayak nya masih jauh perjuangan kita sampai kesana secara orang-orang disini banyak yang anti nonton buatan lokal dan sineas kita bikin film dan serial masih pada gak kreatif

Visible Man mengatakan...

Adegan pedang memang tidak se epik 4 film sebelumnya, tp its oke karena ini menceritakan awal mula battosai, yg agak mengganjal adalah alasan tomoe jatuh cinta sama kenshin, karena hampir sepanjang film, kenshin masih bersikap sangat dingin.

barjokondo mengatakan...

Pinginnya sih ada gelut kensin lawan saito yang intens gitu, tapi pas lawan okita juga keren sih,cukup puas walau masih bagusan OVA trust and betrayal

Betmen mengatakan...

#Team yang masih ingin liat pertarungan kenshin (era battosai) vs Saito (era bakufu/shinsengumi) :(