Danur 2: Maddah adalah teror yang kehabisan daya akibat buruknya naskah. Apa perlunya horor memiliki naskah bagus? Bukankah
menjadi seram sudah cukup? Benar, tapi banyak yang lupa atau luput memahami,
bahwa kengerian dan kestabilan intensitas membutuhkan kekuatan naskah. Awi
Suryadi (Danur: I Can See Ghosts, Badoet)
adalah sutradara horor berbakat dengan sejumlah visi memikat soal membangun teror.
Tapi Awi juga punya batasan. Tatkala (seperti film pertama) Maddah nampak bak mozaik jump scare satu setengah jam ketimbang
jalinan plot, ia pun kelabakan, seperti tengah menimba di sumur hingga kering,
kemudian mengambil tanah basah di dasar sumur, memerasnya, berharap menemukan
air. Tentu cuma ada kotoran.
Saya belum membaca Maddah
buatan Risa Saraswati, tapi jumlah halaman naskah ciptaan Lele Laila (Danur: I Can See Ghosts, Keluarga Tak Kasat
Mata) rasanya tidak sampai setengah novel setebal 252 halaman itu. Naskah
yang disusun bukan demi menyampaikan cerita utuh melainkan memenuhi kuota 92
menit durasinya. Caranya bebas, termasuk mengulang adegan mimpi sebanyak tiga
kali. Awi pun dibebani tugas sama. Dibantu sinematografer Adrian Sugiono (Danur: I Can See Ghosts, Jomblo Keep Smile),
kamera kerap bergerak pelan, melayang
layaknya arwah kehilangan tujuan yang sesekali mampu mencuatkan atmosfer mencekam,
namun lebih sering terkesan cuma untuk mengulur waktu.
Prilly Latuconsina kembali sebagai Risa dan ia terlihat makin
nyaman serta solid memerankan gadis indigo yang mempunyai teman-teman berwujud hantu
anak kecil. Setelah mengalahkan Asih
(baca: puluhan ekspresi seram Shareefa Daanish), Risa diminta oleh sepupunya,
Angki (Shawn Adrian), menyelidiki rumah barunya, termasuk sikap
aneh ayahnya, Ahmad (Bucek), yang gemar mengurung diri di dalam paviliun.
Risa melihat penampakan, Angki melihat penampakan, Riri (Sandrinna Michelle
Skornicki), adik Risa, melihat penampakan. Semua melihat penampakan, walau tiada yang lebih mengerikan dibanding hantu yang mengikuti gerakan Tina (Sophia
Latjuba) kala berzikir. That’s one of the
creepiest scene in our horror movie ever.
Pondasi Danur 2: Maddah
memang sekedar kompilasi penampakan yang dijahit paksa, tapi sekali lagi, Awi
Suryadi adalah sutradara horor berbakat. Mayoritas jump scare ditempatkan pada timing
tepat yang efektif memberi kejutan. Pun keputusan menempatkan versi berbeda
dari adegan dalam trailer terbukti
mampu mengecoh ekspektasi. Tapi tak ada elemen yang peningkatannya melebihi
tata rias. Apabila Asih di film pertama cuma mengandalkan kebolehan Shareefa
Daanish bermain raut muka, Maddah diberkahi
keberadaan Maria Margaretha Earlene yang menciptakan riasan mengerikan
sekaligus kreatif alih-alih sekedar gaya “muka hancur” sebagaimana banyak horor
dalam negeri. Elena Viktoria Holovcsak si pemeran hantu dengan tubuh tinggi
ditambah tawa menggelegar makin melengkapi efektivitas teror sang antagonis
terbaru.
Sayangnya seperti ada yang lupa menyalakan lampu di set Danur 2: Maddah. Hampir tiap momen
dibuat segelap mungkin sampai sulit mengamati apa yang tersaji di layar,
termasuk terornya. Jangankan paviliun, rumah sakit saja tampak seperti bangunan
angker tanpa penghuni dengan kamar, lorong, pula musala remang-remang . Lalai
menyalakan lampu, Awi dan Adrian malah asyik “bergaya” memainkan sudut-sudut
kamera. Dutch tilt dan “kawan-kawan”
digunakan tanpa maksud pasti, nihil memberi dampak terhadap pembangunan
intensitas.
Danur 2: Maddah menyimpan setumpuk kekurangan. Itu
pasti. Kemudian saya coba mengingat-ingat. Selain Pengabdi Setan yang ada di level berbeda, dalam 5 tahun terakhir, berapa
banyak horor lokal punya teror seefektif Maddah?
Ada, tapi tidak banyak. Apalagi melihat pendahulunya, Maddah merupakan lonjakan kualitas. Keputusan saya sudah bulat
untuk memberi nilai 3 bintang. Sampai konklusinya memberi twist menipu yang menjadikan segala teror yang Risa hadapi berakhir
percuma serta tidak masuk akal, bahkan di tataran logika horor supernatural. Oh,
lagi-lagi permasalahan naskah. Masih menganggap sajian horor tidak perlu memperhatikan
naskah?
Saya sudah hatam membaca trilogi Danur, jujurr dari ketiga novel itu sangat menarik karena jika boleh saya analogikan ketiga novel tersebut "memanusiakan hantu" karakterisasi serta latar belakang kenapa mereka menjadi hantu diceritakan begitu menarik oleh Teh Risa, kita turut bersimpati serta terenyuh oleh kisah hantu tersebut. Namun sedari Danur: I can see ghosts, film dengan novelnya memang dibuat berbeda, karena memang permintaan Peter cs yang tidak mau di eksploitasi kisah pilu-nya dan ingin dibuat mereka seolah pahlawan di filmnya. Sebenarnya di novel Maddah begitu banyak kisah, tak hanya permusuhan Elizabeth dan Ivanna saja, ada kisah cinta beda agama antara Diga dan Dira, kisah Canting, sepasang calon pengantin Adam dan Biyan, serta teman baru Peter cs Norma dan Norah.
BalasHapusMending apresiasi Ready Player One aja gan
Hapusmasih menimang nimang, apakah perlu untuj diapresiasi dengan nonton ke bioskop atau gunakan untuk film yg lebih perlu diapresiasi nanti
BalasHapusApa yg membuat mas rasyid menyebut awi sebagai sutradara berbakat 2 kali?
BalasHapus@Ungki Nggak apa sih, dan emang tepat buat filmnya pure nonjolin hiburan horor. Sayangnya, filmnya bukan cuma mengurangi sedikit unsur cerita tapi hampir menghilangkan semua.
BalasHapus@Teguh Nggak terlalu rekomendasiin buat nonton. Ada TTM, Ready Player One, Shape of Water.
@Panca Perlu ditekankan ya, "sutradara HOROR berbakat". Karena yakin banget kalau dikasih naskah yang bagus, bakal gila film dia.
Ready player one ditunggu reviewnya ☺
BalasHapusReady Player One bang
BalasHapusTeman tapi menikah dong bang😁
BalasHapusTahun ini film horror yang memikat perhatian saya baru A Quiet Place, Hereditary, ama Ghost Stories yang kayaknya ketiga film itu bakal punya naskah yang kuat. Ditunggu juga review Ready Player One
BalasHapusKalo saya nunggu channel YouTube review-nya bareng Bang ViJo, penasaran liat mas Rasyid jadi Youtubers, hehee. Good luck ya mas and congratulations....Btw, masih akan tetap aktif review di blog kan??
BalasHapus@Anna Yes, nggak sabar minggu depan A Quiet Place!
BalasHapus@Ungki hahaha masih lah. Diseret ViJo itu, cuma buat rame-rame hahaheh aja
Anjay, film Indonesia makin ke sini makin ABSURD aja.
BalasHapusMinim genre kali yah, bebernya itu itu muluk. Kalau gak Horror, Komedi, Drama.
Gak ada sutradara yang berani eksplor genre baru.
Udah muak gue sama film Indonesia.
Di tunggu review ready player one.y bang
BalasHapusSuatu pencapaian tersendiri saat adegan shalat digarap full baru kali ini saya lihat biasanya langsung salam, jum scarenya bagus abaikan ceritanya
BalasHapusAyo, kalau ada yang berpikiran/komentar sama kayak anonim di atas, silahkan kontak saya secara personal. Nanti kita ngobrol sambil ngopi-ngopi biar nggak stres :)
BalasHapusSaya boleh ikut gak? Hahahaha
HapusAndai mas Rasyidharry orang sulsel wkwkwk
BalasHapusini bukan masalah genre, dear anonim
ini masalah kualitas naskahnya, kalau si anonim muak, harusnya muak ama semua film di seluruh dunia, wong genre itu-itu doang
u know nothing, anonim
film indonesia sudah berkembang menyentuk banyak genre loh, meski eksekusi teknis dan naskah selalu ada kekurangan, tapi keberanian mereka perlu di apresiasi
BalasHapuskecuali garuda superhero sama rafathar ga perlu di apresiasi
hehehe
@Raid wah kenapa kalo Sulsel? :D
BalasHapus@Teguh Rafathar boleh lah diapresiasi (Anggy, bukan Raffi). Garuda sih anggep nggak ada aja haha
di indonesia adakah penghargaan semacam razzie award
BalasHapuskalau tidak ada bisa tuh diawali dengan nominasi di dunia maya dulu
andai saya bisa melupakan mimpi buruk tentang garuda garuda superhero
BalasHapusIndonesia punya film dengan genre misteri yang kayak karya" Agatha Christie atau Gosford Park ga si?
BalasHapus@Teguh nggak ada dan susah. Di sini cuma bakal nambah musuh :)
BalasHapus@Willy Genre whodunit begitu masih jarang, dan begitu dibikin kurang oke. Terakhir Pesantren Impian dan Hangout (yang jelas ambil banyak inspirasi dari Agatha)
betul sih, penghargaan begitu pasti jd nambah musuh kalo disini
BalasHapushahaha
baru nonton dan adegan dzikir emang paling kreatif
sayang naskah sama penceritaannya kurang, kurang banget
Makanya blog ini udah stop bikin list terburuk. Lebih banyak impact negatif. Nanti, kalau industri udah solid :)
BalasHapusFilm horror terbaik menurut mas Rasyid di abad 21 apa?
BalasHapusLokal "Keramat", overall "Noroi".
BalasHapus