REVIEW - BLACK BOX DIARIES
Black Box Diaries mendokumentasikan investigasi sang sutradara, Shiori Itō, terhadap kasus pemerkosaan yang menimpanya. Kita melihatnya melangsungkan konferensi pers, di mana untuk kali pertama, Itō mengungkap peristiwa yang menimpanya ke publik. Mayoritas media menyudutkannya, sedangkan publik (banyak di antaranya perempuan) menuduhnya melakukan panjat sosial, bahkan menyebutnya "murahan" hanya gara-gara tak menutup semua kancing di kemeja yang ia kenakan.
Deretan reaksi di atas sudah cukup untuk menjustifikasi eksistensi dokumenter ini, selaku medium bersuara bagi para perempuan yang dibisukan oleh paham seksisme. Apalagi si pelaku, Noriyuki Yamaguchi, adalah jurnalis terpandang sekaligus penulis biografi bagi Shinzo Abe yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri, sebelum dibunuh pada tahun 2022.
Laporan pertama Itō ditolak polisi, dengan alasan minimnya bukti kecuali pernyataannya yang berbasis memori. Polisi baru bertindak pasca Itō menyerahkan rekaman CCTV hotel yang memperlihatkan Yamaguchi membawanya masuk secara paksa, namun pada akhirnya dakwaan tetap dibatalkan. Terdapat indikasi campur tangan petinggi pemerintahan. Jepang memang maju secara infrastruktur, namun caranya menangani kasus perkosaan ternyata masih terbelakang.
Memakai kamera smartphone, Itō, yang juga seorang jurnalis, merekam kesehariannya. Kita melihatnya menangis, hancur oleh ingatan traumatis yang bisa kapan saja tiba-tiba menerjang, bahkan sempat menimbang-nimbang untuk bunuh diri. Black Box Diaries tidak unggul dalam hal teknis, tidak pula mendobrak pola narasi dokumenter investigatif, namun "kementahan" yang tersaji merupakan sumber kehebatannya. Sebuah perjalanan intim mengarungi realita personal yang coba disangkal oleh suatu negeri.
Ada kalanya Black Box Diaries terasa sangat menghancurkan. Itō sempat mengajak kita mengintip fotonya semasa kecil sembari bertutur tentang kenangan bersama keluarganya. Sungguh menyakitkan melihat gadis cilik polos di foto tersebut kelak jadi korban kebiadaban laki-laki. Di sisi lain, momen menyentuh tak luput filmnya tangkap. Misal sewaktu beberapa perempuan tua berorasi melontarkan dukungan bagi Itō. Salah satu di antara mereka tidak benar-benar mengingat wajah Itō, namun ia paham betul kalau ada sesama perempuan yang memerlukan dukungan.
Pemerkosaannya terjadi bersamaan dengan mekarnya sakura. Sejak itu Itō tak lagi mampu menikmati cantiknya warna bunga tersebut. Black Box Diaries menunjukkan bagaimana pemerkosaan, atau kasus pelecehan seksual berbentuk apa pun, bisa berdampak menghapuskan keindahan dalam hidup korbannya.
Tapi Itō menolak selalu menampakkan penderitaan di sini. Dia tetap bercengkerama dengan teman-teman, tertawa bersama, pula bersemangat kala berhasil menentukan judul buku (Black Box) yang ia tulis berdasarkan pengalamannya. Black Box Diaries enggan mendefinisikan si protagonis hanya sebagai "korban pemerkosaan". Shiori Itō tetaplah individu dengan segala kompleksitas warna-warninya yang berhak merasakan kebahagiaan.
(Klik Film)
REVIEW - SELEPAS TAHLIL
Tidak ada yang benar-benar memalukan dari adaptasi untuk salah satu cerita horor dari siniar Lentera Malam ini. Selepas Tahlil, yang bicara tentang harga yang mesti dibayar oleh manusia pendosa, cuma mempunyai satu dosa: meneruskan kemonotonan dan minimnya keberagaman dalam horor Indonesia. Masih cerita yang sama dengan cara menakut-nakuti yang juga serupa.
Alurnya masih membahas soal kematian yang tidak berlangsung mulus akibat semasa hidupnya, almarhum melakukan perjanjian dengan setan untuk mendapatkan ilmu, masih soal duka yang dirasakan keluarganya, masih berpusat pada acara tahlilan sebagaimana terpampang jelas di judul, masih pula sangat Jawasentris dan Islam-sentris.
Saras (Aghniny Haque) dan Yudhis (Bastian Steel) hanya ingin mengubur ayah mereka, Hadi (Epy Kusnandar), namun rintangan selalu datang menghadang. Di satu kesempatan kala tahlilan tengah berlangsung, jenazah Hadi pelan-pelan bangkit, terduduk, sebelum mengucapkan kalimat yang menyiratkan bahwa maut bakal menjemput keluarganya. Entah sudah berapa kali pemandangan serupa dipakai oleh horor kita.
Konflik lain berasal dari wasiat Hadi, yang meminta dimakamkan di kampung halamannya. Ketika adik Hadi, Setyo (Adjie N.A.), tiba guna menjemput jenazah kakaknya, Saras menolak. Dia enggan terpisah jauh dari sang ayah. Naskah buatan Husein M. Atmodjo sejatinya membawa niat baik, dengan memperlihatkan fase denial yang mengiringi proses berduka manusia. Aghniny pun (seperti biasa) tampil total menyuarakan carut-marut perasaan karakternya.
Sayang, naskahnya sendiri tidak sebegitu dalam menyelami dinamika psikis tersebut. Durasi 96 menitnya pun tersusun atas alur yang tipis, minim misteri yang bisa mengikat atensi, pula terkesan repetitif akibat ketidakmampuan pembuatnya mengatasi agar acara tahlilan yang beberapa kali dilangsungkan tidak cuma berakhir sebagai pengulangan monoton.
Upaya positif untuk menggarap horor secara sungguh-sungguh sebenarnya terasa betul dimiliki oleh Selepas Tahlil. Departemen teknis digarap cukup solid, Adriano Rudiman selaku sutradara mampu mengambil titik tengah dalam hal mengolah pacing supaya filmnya bergerak penuh kesabaran tanpa harus terkesan berlarut-larut, alurnya pun menolak sekadar mengumbar penampakan. Tapi apa yang tersisa dari sebuah film yang ingin bercerita namun tak dibarengi penceritaan mumpuni?
Apalagi terornya tampil tak seberapa mencekam. Masalah sudah terasa sedari opening-nya, yang luput membangun intensitas atau sekadar menyiratkan kengerian. Padahal adegan pembuka berperan besar memengaruhi antisipasi serta kesediaan penonton menaruh atensi bagi sebuah film. Sewaktu babak puncaknya sebatas diisi rukiah ala kadarnya yang berlangsung tanpa ketegangan maupun kebaruan, saya pun tidak lagi terkejut.
REVIEW - SORE: ISTRI DARI MASA DEPAN
Sore: Istri dari Masa Depan, yang berangkat dari serial web berjudul sama, menangani elemen perjalanan waktunya lewat pendekatan magical realism, alih-alih fiksi ilmiah yang berupaya memberi penjelasan logis. Keajaibannya, yang menelusuri gagasan bahwa cinta mampu menembus ruang dan waktu, memang bukan untuk dijabarkan, tapi dirasakan. Sungguh kisah yang indah.
Pertama kali kita menemui Jonathan (Dion Wiyoko), ia sedang mengambil foto di tengah hamparan es Finlandia. Lanskap megah dengan aurora yang terlukis cantik di langit mampu ditangkap oleh Dimas Bagus Triatma Yoga selaku sinematografer. "Gambar indah" adalah sesuatu yang bakal secara rutin penonton temui sepanjang dua jam durasi filmnya.
Sayangnya kondisi batin si protagonis tidak seindah itu. Alam Finlandia (juga nantinya Kroasia) bukan sebatas pajangan indah untuk kartu pos, tetapi tanah asing yang jadi panggung bagi perjalanan sesosok individu, yang sedang berkutat dengan kesendirian dan keterasingannya.
Naskah garapan sang sutradara, Yandy Laurens, membagi alurnya ke dalam tiga babak, yang masing-masing dipisahkan oleh tulisan sub-judul besar di layar. Di dalam teks bertuliskan "Jonathan" yang jadi tajuk babak pertamanya, kita melihat lapisan es yang pecah oleh terjangan kapal pemecah es. Begitulah Jonathan. Hatinya dingin, dan tanpa sadar tengah mengalami keretakan sedikit demi sedikit.
Jonathan tinggal seorang diri di Kroasia, berharap dapat menggelar pameran tunggal dengan bantuan Karlo (Goran Bogdan melahirkan karakter pendukung yang mencuri perhatian), agen sekaligus satu-satunya kawan dia di sana. Tapi sahabat terdekatnya adalah botol-botol alkohol serta puntung rokok menggunung yang menemaninya bekerja hingga larut malam. Jonathan menaruh kekhawatiran terhadap perubahan iklim yang menghancurkan Bumi, bahkan mengabadikannya lewat karya foto, namun membiarkan dirinya, baik secara fisik maupun psikis, pelan-pelan hancur.
Sampai suatu pagi, Jonathan terbangun dan mendapati seorang perempuan sudah duduk di sampingnya. Sore (Sheila Dara Aisha) nama si perempuan, yang sembari tersenyum simpul, memperkenalkan diri sebagai "istri Jonathan dari masa depan". Di awal kemunculan Sore, Sheila Dara membawa kesan ethereal yang misterius nan menghipnotis, sebelum nantinya, seiring kita mengenal karakternya lebih lanjut, mata sang aktris mulai mendefinisikan kekuatan cinta yang luar biasa. Sedangkan Dion Wiyoko tampil solid selaku perpanjangan hati penonton dalam menyikapi peristiwa misterius yang menimpa Jonathan.
Sore datang untuk memperbaiki hidup Jonathan, yang menurut pengakuannya, akan meninggal beberapa tahun ke depan akibat serangan jantung. Minuman keras dan rokok Jonathan dibuang, pola tidurnya diperbaiki, menu makannya dimodifikasi, sedangkan lari pagi kini jadi rutinitas tiap hari. Berlawanan dengan fenomena alam yang menandai peralihan terang menuju gelap, Sore membawa hidup Jonathan bertransisi ke arah lebih baik. Setidaknya itu yang coba ia lakukan.
Yandy tidak sedang berceramah mengenai hidup sehat. Sore: Istri dari Masa Depan bukan arahan mengenai dampak buruk nikotin atau seberapa berbahaya konsumsi alkohol secara berlebih. Di matanya, luka hati yang luput ditangani bisa jauh lebih mematikan ketimbang segala bahan kimia di atas, dan cinta merupakan obat paling mujarab, dengan pasangan yang sungguh-sungguh mengasihi sebagai dokternya.
Di atas kertas terdengar cheesy, tapi Yandy dengan sensitivitas bertutur yang senantiasa menguatkan karya-karyanya mampu menghindari kesan murahan, untuk memotret cinta layaknya fenomena agung yang melengkapi keindahan semesta. Tengok caranya menggarap konklusi (yang rasanya tepat disebut "anti-La La Land ending"), di mana Yandy memadukan pemakaian lagu tepat guna dengan penyuntingan taktis Hendra Adhi Susanto, guna memvisualkan "gelombang perasaan yang menerjang hebat." Emosinya memuncak. Kita bukan sedang melihat akhir, tapi justru awal sebuah cerita, sebagaimana sore bukan bertugas mengakhiri hari, melainkan mengawali malam panjang dengan segala romantismenya.
REVIEW - SUPERMAN
Perkenalan saya dengan komik pahlawan super Amerika terjadi lewat terbitan Misurind yang waktu itu menguasai pasar. Karena masih duduk di bangku SD, saya pun cuma asal mengambil beberapa judul tanpa memperhatikan urutan nomornya. Akibat tidak mengikuti cerita dari awal, banyak poin cerita luput saya pahami, sejumlah tokoh sampingan pun tidak saya kenali. Tapi pengalaman membaca yang dihasilkan sungguh luar biasa. Rasanya seperti bergabung di tengah jalan, dalam petualangan besar yang sudah berlangsung beberapa waktu.
Superman karya James Gunn memantik perasaan serupa. Ketika film dimulai, sudah tiga dekade berlalu sejak kedatangan Kal-El (David Corenswet) ke Bumi, di mana selama tiga tahun terakhir, sang putra terakhir Krypton memulai karirnya sebagai Superman si pahlawan umat manusia. Permusuhannya dengan Lex Luthor (Nicholas Hoult) telah memanas, romansanya dengan Lois Lane (Rachel Brosnahan) pun telah terjalin.
Perihal menumpas ancaman, Superman tidak sendiri. Anggota Justice Gang yang terdiri atas Guy Gardner/Green Lantern (Nathan Fillion), Mister Terrific (Edi Gathegi), dan Hawkgirl (Isabela Merced) turut ambil bagian. Dunianya sudah berjalan jauh sebelum penonton tiba, dan bakal terus bergulir selepas kita meninggalkan bioskop.
Perayaan terhadap komik pahlawan super. Itulah yang ingin Gunn sajikan. Dia pun enggan membatasi Superman versinya dalam satu era. Fase Silver Age yang dikenal lewat kekonyolannya tidak luput dirayakan, misal saat Lex Luthor coba merusak reputasi Superman, dengan mengutus pasukan monyetnya untuk menciptakan ujaran kebencian di internet. Gunn memang jagonya menangani keanehan khas komik. Karakter macam Mister Terrific yang di permukaan terkesan konyol pun bisa dibuatnya beraksi secara keren.
Era modern yang lebih kompleks pun direpresentasikan dengan cara memanusiakan Superman. Sebagaimana film-film superhero lain buatannya, di sini Gunn kembali menunjukkan kalau karakterisasi solid yang tak menutup mata perihal ketidaksempurnaan si protagonis, tidak bersinonim dengan kegelapan atau keseriusan berlebih (walau ada kalanya pendekatan tersebut diperlukan).
Kisahnya bermula kala Superman berada di titik paling rendah. Si metahuman terkuat untuk pertama kalinya mengalami kekalahan, hingga memerlukan pertolongan anjingnya, Krypto. Dari situlah narasi yang menjauhi pakem klise film pahlawan super digulirkan. Beberapa kali kita mendapati Superman kewalahan mengatasi ancaman Lex Luthor. Bukan berarti ia lemah. Kemenangan tak mendefinisikan kepahlawanan. Superman adalah perwujudan sisi terbaik manusia, yang senantiasa melihat sisi baik dari manusia. Sewaktu ia mengudara, kemudian lagu tema ikoniknya terdengar, harapan akan dunia yang lebih baik seketika menyeruak. Itulah kepahlawanan.
Karenanya, di hadapan kompleksitas dunia modern, pola pikir Superman nampak terlalu naif. Dia hanya ingin menyelamatkan semua makhluk, dari seekor tupai kecil, maupun manusia yang terkekang oleh represi. Di antara tetek bengek geopolitik, tendensi kolonisasi oleh negara-negara adidaya, juga prasangka-prasangka terhadap mereka yang dianggap berbeda, Superman tetap menomorsatukan cinta, bahkan tatkala cinta terkadang menyakitinya, entah dalam bentuk pertengkaran dengan Lois, maupun saat publik mencapnya "alien jahat".
David Corenswet memberi humanisme dalam diri karakternya, baik sebagai Clark Kent atau Superman. Dia masih hijau, belum stabil secara emosi, bukan pula "dewa di antara manusia" layaknya interpretasi Christopher Reeve. Corenswet melahirkan figur pahlawan yang lebih relevan untuk masa sekarang. Di kutub yang berlawanan, Hoult membuat penonton mudah mengutuk aksi Lex Luthor, yang sebagaimana banyak "penjahat" zaman modern, begitu gemar menyebarkan sudut pandang negatif.
Klimaks Superman memang cenderung mengecewakan. Puncak pertarungan sosok metahuman terkuat mestinya lebih bombastis daripada baku hantam generik sebagaimana yang Gunn sajikan di sini. Tapi bahkan di tengah penurunan kualitas tersebut, filmnya menolak kehilangan relevansi. Babak ketiganya tak melibatkan invasi alien atau monster interdimensional. Sebatas dampak dari keserakahan dan kebencian umat manusia yang tidak lagi bisa dikendalikan. Tapi setidaknya, semesta film ini mempunyai pahlawannya yang selalu bisa mendatangkan harapan.
REVIEW - JAGAD'E RAMINTEN
Jika membicarakan kapasitas bercerita, dokumenter arahan Nia Dinata ini memang belum sampai taraf luar biasa. Meski demikian, ia berfungsi sebagai sesuatu yang lebih besar daripada sekadar "sinema berkualitas". Jagad'e Raminten memberi ruang aman bagi kaum marginal untuk berkisah secara bebas, sembari membanggakan identitas mereka sebagaimana adanya.
Sesosok perempuan queer berusia paruh baya dengan dandanan khas Jawa. Mustahil melewatkan figur Raminten yang eksentrik nan ikonik kala menginjakkan kaki di Yogyakarta walau cuma sejenak. Entah sudah berapa banyak pula kenangan manusia pernah terekam di The House of Raminten, rumah makan 24 jam yang mengabadikan namanya. Melalui film ini, giliran kita yang mendengarkan kenangan tentangnya.
Raminten sejatinya adalah nama karakter dari siaran ketoprak Pengkolan yang diperankan Hamzah Sulaeman, atau yang juga dikenal dengan nama Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamijinindyo, selepas gelar tersebut dianugerahkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X. Seorang seniman, pengusaha, hingga abdi dalem keraton. Apa lagi yang belum kita tahu mengenai individu hebat yang baru saja meninggal dunia pada 23 April lalu tersebut?
Sebagaimana judul filmnya, Nia Dinata mengajak penonton bertualang mengarungi semesta ciptaan Hamzah/Raminten. Sebuah semesta inklusif yang memanusiakan manusia, pula memanusiakan seniman. Salah satu narasumbernya adalah Ratri, anak angkat Hamzah yang paling muda. Tanpa ada keraguan ia sampaikan penerimaan sang ayah (dipanggil "Kanjeng" olehnya dan orang-orang terdekat lain) mengenai orientasi seksualnya sebagai lesbian.
Inklusivitas itu paling diwakili oleh Raminten Cabaret Show yang diadakan di lantai atas Hamzah Batik, Malioboro. Pertunjukan tersebut banyak melibatkan individu LGBTQ, yang setiap hari Jumat dan Sabtu diberi kesempatan menjadi bintang di atas panggung, biarpun dalam rutinitas sehari-hari, stigma negatif masyarakat terhadap mereka belum juga lenyap.
Nia Dinata menyusun narasi Jagad'e Raminten melalui wawancara dengan seluruh anggota kabaret. Semua diberi peluang bertutur. Di satu sisi, itu merupakan upaya bersikap adil yang patut dipuji, namun di sisi lain, prinsip "kuantitas di atas kualitas" membuat kisah para narasumber luput digali secara mendalam. Perkenalan kita dengan karakternya pun tak lebih dari sebatas nama (nama panggung mereka ditulis dengan teks besar sebagai penanda pergantian segmen) serta kulit luar, padahal masing-masing membawa cerita yang cukup kaya untuk dijadikan film tersendiri.
Pergerakan narasinya acap kali begitu kasar, terutama karena tiap segmen bergulir teramat singkat. Akibat keterbatasan waktu pula, jawaban dari pertanyaan "Bagaimana sosok Hamzah di mata kalian?" yang diajukan ke narasumbernya gagal berkembang lebih luas dari sebatas rangkaian puja-puji mengenai kedermawanan yang kerap mendiang lakukan.
Tapi cerita mengenai kemanusiaan seorang Hamzah Sulaeman beserta semangat inklusivitas miliknya memang tak pernah gagal memancarkan pelukan kehangatan. Terpenting, sebagaimana sosok legendaris yang ia angkat kehidupannya, Jagad'e Raminten, di luar kelemahannya bernarasi, mampu menjalankan peran selaku penyedia ruang aman bagi kaum marginal.
Lesbian, gay, transpuan, cross-dresser hetero beristri, perempuan berjilbab, para laki-laki cis, semua dibiarkan berkisah tanpa larangan. Karena begitulah semesta yang dicita-citakan Hamzah Sulaeman. Sebuah semesta tanpa stigma, tanpa prasangka, pula dipenuhi cinta antar sesama manusia yang diperlakukan sebagaimana mestinya manusia.
(Artjog 2025)
REVIEW - SISTER MIDNIGHT
Belakangan semakin banyak sinema India yang membicarakan isu pemberdayaan perempuan. Melalui karya terbarunya, bukan kebaruan seputar topik tersebut yang Karan Kandhari coba sentuh, melainkan soal bentuk pendekatan. Sister Midnight tampil seperti kehidupan itu sendiri. Kadang ia tidak beranjak ke mana-mana, tapi sejurus kemudian melaju begitu liar hingga mustahil untuk diperkirakan destinasinya.
Perjodohan telah mengguncang hidup Uma (Radhika Apte). Bukan cuma karena ia mesti menikahi Gopal (Ashok Pathak), yang hanya ia kenal lewat pertemuan singkat kala keduanya masih berumur 8 tahun, juga seputar realita sebagai istri di lingkungan konservatif India. Baik dalam hal domestik maupun seksual, perempuan acap kali diperlakukan bak manusia kelas dua.
Pada malam pertama pernikahan, Gopal bahkan terlalu canggung untuk berganti baju di hadapan istrinya. Uma pun terusir, lalu hanya bisa duduk di teras rumah, merokok, sembari memamerkan ekspresi terkejut yang akan berulang kali ia pasang di sepanjang film. Jangankan membagi isi hati, bibir keduanya bahkan tertutup rapat untuk sekadar saling bertukar kata-kata sederhana.
Setiap kecanggungan terjadi, Gopal akan segera mengenakan seragam kerja lalu buru-buru berangkat ke kantornya. Tapi naskah buatan Karan Kandhari enggan mengambil jalur mudah dengan sebatas menumpahkan kesalahan pada Gopal. Dia pun korban dari adat kolot yang memaksanya menjalani hidup baru tanpa kesiapan memadai. Gopal bukan suami pendosa layaknya iblis dari neraka, namun ia bersalah akibat tidak berusaha mengusahakan surga bagi sang istri.
Awalnya Sister Midnight terkesan stagnan, bahkan seperti tanpa plot, kala mengetengahkan rutinitas Uma di rumah. Apabila si tetangga, Sheetal (Chhaya Kadam), sedang tidak tersedia untuk diajak berkeluh kesah, Uma bisa menghabiskan seharian penuh duduk di depan rumah. Di sinilah pendekatan unik Karan Kandhari mengambil peran.
Ditolaknya gaya bertutur konvensional, seolah memberi pernyataan bahwa ketajaman bercerita tidak bersinonim dengan keseriusan. Kita diajak menertawakan kondisi Uma, bukan karena penderitaannya lucu, tapi di realita pun, terkadang nasib tragis terus datang silih berganti, dengan cara luar biasa absurd pula, sehingga yang bisa kita lakukan hanya tertawa.
Didukung tata kamera arahan Sverre Sørdal yang kerap memotret penderitaan Uma dalam simetri cantik sehingga memunculkan ironi, juga setumpuk situasi canggung arahan Karan Kandhari yang ada kalanya makin diperkuat oleh cara Napoleon Stratogiannakis menyunting narasinya, Sister Midnight pun tampil bagaikan karya-karya Wes Anderson, minus kemeriahan warna yang digantikan oleh ruang-ruang gelap di sekitar protagonisnya.
Di antara kegelapan tersebut, Radhika Apte memancarkan sinarnya, menunjukkan bagaimana seni berlakon yang memanfaatkan seluruh aset dalam diri seorang aktor. Wajah penuh kekagetan dan kebingungannya, olah tubuh kikuknya, semua memudahkan penonton bersimpati sekaligus tertawa menyaksikan keabsurdan jalur hidup yang takdir pilihkan baginya.
Kelak sebuah peristiwa misterius menimpa Uma, mengubah dirinya menjadi sesuatu yang identik dengan malam kelam, pula membawa film ini bertransformasi menjadi wujud yang mengingatkan ke A Girl Walks Home Alone at Night (2014) karya Ana Lily Amirpour. Kisahnya bergerak liar menjamah ragam area yang tak terbayangkan, sementara lagu-lagu rock dari The Stooges, T. Rex, hingga Motorhead, yang sekilas terdengar tidak pada tempatnya, berfungsi menginjeksi kesan sureal, sekaligus menegaskan posisi Uma yang juga "tidak pada tempatnya", sebagai perempuan yang berani menggugat di tengah lingkungan konservatif yang mengelilinginya.
Sayang, seiring waktu Sister Midnight mulai dirugikan oleh keanehannya sendiri. Ketajaman pesannya tenggelam di balik surealisme, yang makin lama terkesan datang bukan untuk menguatkan penuturan, tapi sebagai penambah daya kejut semata. Keunikannya mulai menampakkan sisi pretensius, ketimbang teriakan kritis terhadap ketidakadilan yang disuarakan secara ambisius.
Tapi Sister Midnight tetap salah satu judul terbaik yang saya tonton tahun ini. Serupa Taxi Driver (1976) buatan Martin Scorsese yang ia beri penghormatan melalui desain posternya, film ini mengingatkan akan kegelapan sebuah kota, yang apabila dipertemukan dengan rasa sepi yang sedikit demi sedikit menelan habis jati diri seseorang, bakal pelan-pelan menyabotase kewarasan si manusia.
(Klik Film)