Berjam-jam saya memandangi halaman review yang masih putih polos alias kosong. Sambil duduk ditemani
batang demi batang rokok, ingatan saya melayang kembali menuju Reuni Z, kolaborasi kedua Soleh Solihun
bersama Monty Tiwa di kursi penyutradaraan setelah Mau Jadi Apa? (2017), berharap memperoleh ide tentang paragraf
pembuka. Tapi nihil. Semakin memeras otak, semakin kusut isi kepala. Mungkin
saya sedang buntu. Mungkin saya penulis yang buruk. Mungkin karena cuma sedikit
hal berkesan dalam filmnya. Reuni Z memang tidak buruk, tetapi bakal
segera terlupakan. Padahal, dilupakan jauh lebih mengerikan dari dikejar
zombie.
Berbeda dengan jajaran protagonis, khususnya Juhana (Soleh
Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) yang sulit melupakan permasalahan mereka
semasa SMA. Sempat bersahabat, bahkan membentuk band bersama, keduanya
bertengkar di panggung, menghasilkan hubungan canggung yang bertahan hingga 20
tahun kemudian tatkala reuni diadakan. Ketika Juhana telah angkat nama sebagai
aktor film murahan sekaligus bintang iklan pompa air, Jeffri tetap merasa
Juhana menghancurkan mimpinya sukses di dunia musik. Jeffri sendiri kini
menikahi Lulu (Ayushita), si mantan bassis, dan sudah dianugerahi momongan, sedangkan
Juhana masih hidup seorang diri.
Ketiganya, ditambah Mastur si penggebuk drum yang telah
berganti kelamin dan nama menjadi Marina (Dinda Kanya Dewi), bertemu lagi di
reuni SMA yang oleh naskah buatan Soleh bersama Agasyah Karim dan Khalid
Kashogi bukan cuma dijadikan arena para zombie berburu mangsa empuk, pula
memfasilitasi keberadaan ensemble cast.
Dari Surya Saputra si tukang bully,
Henky Solaiman si guru, Verdi Solaiman si tukang pamer, Fanny Fabriana si MC, Ence
Bagus si pria sok alim, Joe P Project si satpam, sampai penampilan pasangan
Anjasmara dan Dian Nitami. Begitu ambisius, kisahnya berusaha membagi porsi
nyaris sama rata ke setumpuk nama di atas. Waktu pun terbagi, sehingga elemen
persahabatan Juhana-Jeffri yang harusnya diutamakan justru sebatas numpang
lewat.
Setelah repot-repot menaruh fokus pada banyak tokoh, saat
tiba waktunya ajal menjemput akibat serangan zombie, adegan kematian malah
tersaji off-screen. Apalagi kalau
bukan demi meminimalkan sadisme yang berpotensi memantik debat kusir
melelahkan di tahap sensor. Dampaknya, beberapa kematian tak terduga maupun
pengorbanan karakternya urung berefek. Polanya sering berulang. Salah satu
tokoh terkepung pasukan zombie, sebelum adegan langsung berpindah tanpa
memperlihatkan nasibnya. Bahkan sulit mengetahui apakah seseorang sudah
meregang nyawa atau belum, jika bukan karena mereka tak muncul di momen penutup.
Poin terkuat Reuni Z,
yang sejatinya juga urung dimaksimalkan, adalah komedi. Beberapa kali saya
tergelak. Melanjutkan pencapaian di Hangout
(2016), Dinda jadi sosok terlucu yang mencuri perhatian berkat kesediaan
menanggalkan rasa malu saat melucu. Totalitas. Masalahnya tak semua tokoh
menyimpan karakteristik selucu Marina alias Mansur. Jeffri tak lebih dari pria
paruh baya yang sesekali bersikap bodoh. Sementara profesi Juhana sebagai aktor
film murahan hanya dijadikan jalan supaya film ini bisa memajang beberapa
parodi poster film Indonesia klasik serta menyelipkan cameo Joko Anwar. Selebihnya, daya tarik Juhana cuma sebuah slogan
yang semakin sering diulang semakin menghilang kelucuannya.
Serbuan zombie dapat memunculkan kesan atmosferik sebagaimana
Night of the Living Dead (1968), bisa
pula seru seperti Dawn of the Dead,
baik versi Romero (1978) atau remake
karya Zack Snyder (2004). Tapi kejar-kejaran dengan zombie di Reuni Z tidak menegangkan, mencekam,
atau seru. Humornya pun bak berdiri sendiri, di mana mengganti zombie dengan
makhluk lain, takkan mempengaruhi gaya leluconnya. Timbul beberapa pertanyaan.
Bagaimana zombie mendeteksi korbannya? Mereka bisa ditipu oleh bau, terpancing suara,
tapi kadang melihat buruannya. Mereka pun dapat dihentikan melalui serangan di
bagian tubuh mana saja, membuat konklusi yang coba bermetafora bahwa mengenai
kekuatan persahabatan jadi kurang berarti. Setidaknya riasan dan
efek spesial pada klimaks digarap cukup baik.
Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:
Nah, ini Paragraf pembuka yang Epic bang :D
BalasHapusSaya juga berharapnya ada adegan berdarahnya kayak di Rumah Dara atau gigit leher di The Doll 2.. selebihnya oke sih..
BalasHapusKoe koe koe koenaon eihhh, hahaha.
BalasHapusBukan gitu atuh. KOU KOOU KOOU KOUNAOON EEEH! 😂
BalasHapusNilai film ini brp nbang
BalasHapusNilai film ini brp nbang
BalasHapusKlo dibanding sama film Hangout masih mending mana mas?
BalasHapusHangout. Selain lebih lucu, mix antar genrenya juga lebih oke.
BalasHapusHangout aja garing menurutku... artinya ini lbh garing lg
BalasHapusYa, kalau demen sama gaya komedi Soleh macam di 'Mau Jadi Apa?', mungkin enjoy nonton ini.
BalasHapusSudah diprediksi dari dulu saat2 dinda kanya dewi masih asik2nya di sinetron. Dia itu harus nyobain masuk industri film. bener juga aktingnya di film2 gak pernah mengecewakan. All out !
BalasHapusYap, pertama mencuri perhatian di 'Tuyul Part 1', setelah itu konsisten main bagus. Tinggal cari peran variatif.
BalasHapusLiat trailernya aja gk meyakinkan nih film :v
BalasHapus