01/05/25

REVIEW - THUNDERBOLTS*

0 View

Thunderbolts bukan tim darurat yang dibentuk guna melangsungkan misi bunuh diri demi menyelamatkan dunia. Bahkan konsep "menyelamatkan dunia" adalah sesuatu yang tak sedikit pun terbesit di benak masing-masing anggotanya. Mereka hanya orang-orang yang ingin sembuh dari luka hati, kemudian mendapati ada individu lain tengah merasakan kepedihan serupa, sehingga timbul dorongan untuk menyelamatkannya atas dasar empati. Justru karena itulah mereka spesial. 

Sebutlah Yelena Belova (Florence Pugh), yang selepas kematian Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), seolah mati rasa, dan sebatas menjalani rutinitas tanpa semangat. Tentu "rutinitas" yang dimaksud melibatkan aksi spionase antar-negara dan meninggalkan setumpuk mayat, karena ia masih bekerja di bawah arahan direktur CIA, Valentina (Julia Louis-Dreyfus). 

Yelena kehilangan tujuan hidup, sembari dihantui rentetan dosa masa lalu yang disesalinya. Kondisi serupa dirasakan oleh Alexei Shostakov / Red Guardian (David Harbour), John Walker / U.S. Agent (Wyatt Russell), Ava Starr / Ghost (Hannah John-Kamen), dan pemuda misterius bernama Bob (Lewis Pullman) yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Di lain pihak, Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang kini berstatus anggota kongres memiliki problematikanya sendiri. Jangan tanya di mana Antonia Dreykov / Taskmaster (Olga Kurylenko) berada. 

Mayoritas nama di atas merupakan barisan karakter yang tidak perlu berpikir dua kali kala ditugaskan untuk menghabisi target. Jangankan pahlawan super, Thunderbolts adalah sekelompok individu yang seketika mengamini kala salah satu dari mereka menyatakan, "We suck!". Thunderbolts* adalah kisah tentang para manusia yang memiliki ruang hampa (void) di hati mereka. 

Naskah buatan Eric Pearson dan Joanna Calo pantang memandang remeh persoalan kesehatan mental yang dialami karakternya (sebatas menjadikannya materi humor, misal). Semua ditangani dengan hati secara hati-hati. Atas dasar itulah narasi yang unik untuk standar film MCU pun terbentuk, di mana paruh pertama filmnya, alih-alih langsung dipenuhi aksi masif, cenderung bermain dalam skala kecil, memusatkan diri di satu lokasi, lalu membiarkan ikatan antar karakter, juga karakter dengan penonton, tumbuh secara alami. 

Kesan realis dan humanis yang begitu jarang hadir di suguhan MCU pun mampu Thunderbolts* miliki. Memahami pentingnya realisme tersebut, Jake Schreier yang duduk di kursi sutradara memilih menggunakan efek praktikal di banyak adegan aksinya guna mempertahankannya. CGI dipakai seperlunya, termasuk kala Sentry pertama kali memamerkan kekuatan, yang sayangnya dipenuhi inkonsistensi kualitas. 

Bicara soal realisme, salah satu momen favorit saya justru berupa sebuah peristiwa sederhana yang amat jauh dari citra blockbuster ala Marvel, yaitu kala Yelena dan Alexei terlibat perdebatan emosional. Ketimbang di markas rahasia atau lokasi bernuansa eksklusif lain layaknya para pahlawan super, keduanya saling bertukar rasa di ruang publik, tepatnya di pinggir jalanan New York, sementara pejalan kaki tetap berlalu-lalang seperti biasa, bahkan beberapa terlihat coba mencuri pandang. Yelena dan Alexei tidak ada bedanya dengan manusia biasa yang rapuh seperti kita. 

Jajaran pemainnya mendukung pendekatan humanis filmnya,menjalin chemistry solid yang terkadang menghasilkan humor menggelitik secara natural. Wyatt Russell dan Hannah John-Kamen memberi kompleksitas tambahan bagi tokoh masing-masing, David Harbour menyeimbangkan komedi dan drama, Sebastian Stan di atas motor dengan kacamata hitam memberkahi kita dengan imagery paling keren dari seorang Bucky Barnes versi MCU, namun tak ada yang bersinar seterang Florence Pugh, yang ironisnya malah menyusun performanya menggunakan awan gelap bernama "kemanusiaan". 

Satu hal lagi yang menarik perhatian adalah, hal pertama yang para anggota Thunderbolts lakukan kala kekacauan pecah bukanlah menyerang sumber bahaya, melainkan menyelamatkan warga sipil. Mereka mungkin rapuh, tidak sempurna, namun status kepahlawanannya tak perlu diragukan. 

Babak ketiganya mungkin bakal mengundang komplain dari penonton awam yang mengeluhkan minimnya keseruan (dan tidak sepenuhnya keliru), namun itu bukanlah kelalaian. Secara sengaja, Thunderbolts* menggantikan aksi bombastis ala Marvel dengan momen personal yang membuatnya memiliki salah satu babak ketiga paling emosional sepanjang sejarah MCU. 

3 komentar :

  1. Gw sempet berkaca2 wkt Yelena deep talk sama bokapnya di pinggir jalan itu. Kena sih emosinya 🥺

    BalasHapus
  2. Damned, salah satu film MCU yang bikin gw nangis di scene Yelena. Duhhhh, gila banget.

    BalasHapus
  3. Berani banget mereka nyentuh isu mental health

    BalasHapus