Tanggal 8 Juni 2012 lalu untuk pertama kalinya saya merasakan perasaan bahagia walaupun gagal mendapatkan tiket film yang akan saya tonton di bioskop. Pada hari itu tiket untuk film Soegija sudah habis terjual padahal jam abru menunjukkan pukul 2 siang. Mungkin tidak akan mengagetkan untuk film Hollywood macam The Avengers, tapi untuk sebuah film Indonesia apalagi yang disutradarai oleh Garin Nugroho yang karya-karyanya selama ini sulit diterima penonton Indonesia, pemandangan itu cukup mengejutkan sekaligus juga menyenangkan. Senang rasanya penonton berbondong-bondong menonton film ini walaupun disaat bersamaan ada film-film kacrut macam Kakek Cangkul dan Mr. Bean Kesurupan Depe yang biasanya dan sayangnya selalu memenangkan persaingan melawan film-film berkualitas untuk ukuran penjualan tiket. Saya ingat jelas bagaimana Modus Anomali kalah bersaing dengan Nenek Gayung atau saat Lovely Man bertahan tidak sampai dua minggu di bioskop. Filmnya sendiri sempat menuai kontroversi karena dituduh melakukan upaya Kristenisasi. Bah, saya tidak peduli dengan kontroversi tersebut. Meskipun benar Soegija adalah Kristenisasi lalu kenapa? Saya sendiri adalah Muslim dan bagi saya masalah keimanan tiap individu adalah masalah mereka masing-masing.
Jikalau ada yang sampai berubah keyakinan karena sebuah film ya bukan salah filmnya, kecuali jika dalam film itu ada sebuah subliminal atau apalah yang bisa "menghipnotis" para penontonnya. Apa hanya karena Indonesia diisi mayoritas Islam sehingga Agama lain tidak boleh berdakwah juga? Ah sudahlah masa bodoh dengan segala isu tersebut. Saya lebih tertarik membahas Soegija yang merupakan film kedua Garin Nugroho di 2012 ini. Saya sangat menyesal tidak sempat menonton Mata Tertutup yang di Yogyakarta hanya bertahan tidak sampai seminggu. Padahal saya sangat tertarik dengan isu yang diangkat. Tapi tentu saja proyek 12 Miliar dari Garin ini juga sangat menarik. Setelah sebelumnya biopic Ahmad Dahlan di Sang Pencerah sangat memuaskan, maka pasti akan jadi warna baru jika muncul biopic yang mengisahkan tentang pemuka Agama lainnya dalam hal ini adalah Albertus Soegijapranata yang merupakan uskup pribumi pertama. Saya sendiri baru pertama kali mendengar nama Soegija setelah materi promosi film ini rilis. Filmnya sendiri berlokasi pada tahun 1940-1949. Saat itu adalah masa transisi yang berat bagi Indonesia dimana bangsa ini harus berganti masa dari penjajahan Belanda, lalu Jepang, kemudian setelah merdeka masih harus menghadapi pasukan Belanda yang masih belum rela melepas wilayah jajahannya ini.
Meski bertajuk biopic tentang Soegija, tapi film ini tidak melulu bicara soal Soegija. Justru subplot yang ada seringkali berjalan dengan lebih dominan dan mendalam seperti kisah seorang gadis pribumi bernama Mariyem yang harus menghadapi kerasnya hidup di masa perang tersebut dimana ia menjadi seorang perawat dan disisi lain harus terlibat sebuah kisah cinta dengan seorang jurnalis asal Belanda yang tentunya menjadi dilema tersendiri. Masih banyak sub cerita lainnya yang dihadirkan disini. Yang jelas sangat terlihat bahwa Soegija adalah sebuah film tentang kemanusiaan dan perbedaan-perbedaan yang terjadi di bangsa ini. Bagaimana seharusnya perbedaan itu tidaklah menjadi alasan untuk saling membenci dan menyakiti. Jika yang dijadikan sasaran utama adalah itu, maka film ini adalah film yang baik. Tapi patut diingat bahwa film ini mengatasnamakan dirinya sebagai sebuah kisah yang menceritakan tentang Albertus Soegijapranata, sebuah biopic bagi beliau. Apa yang penonton atau setidaknya saya dalam sebuah biopic adalah sebuah pengetahuan baru tentang seorang tokoh yang difilmkan tersebut. Sang Pencerah adalah biopic yang bagus karena selain menghantarkan konfliknya dengan baik, penonton diajak menyelami berbagai sisi lain Ahmad Dahlan dan saya sendiri mendapat banyak pengetahuan baru.
Sedangkan disini, selain tahu bahwa Soegija adalah uskup asli Indonesia yang pertama, tidak banyak pengetahuan lain yang saya dapat khususnya yang berhubungan dengan perjuangan beliau pada masa perang. Memang ada beberapa tapi itu bukanlah yang menarik dan tidak butuh sebuah fiilm berdurasi hampir dua jam untuk merangkumnya. Pendekatan Garin yang lebih memilih menyoroti hanya pada rentang tidak sampai satu dekade itulah yang jadi penyebabnya. Andaikan film ini menyoroti lebih jauh tentang hidup Soegija misalkan dari masa dia kecil hingga menjadi uskup lalu diselingi masa perang saya yakin akan jauh lebih baik. Saya rasa keengganan menjadikan film ini terasa nuansa Kristen yang sangat kuat menjadi alasan pemilihan model penceritaan begini. Pilihan yang tidak keliru tapi bagi saya sangat mubadzir sekali hal ini dilakukan.Tapi tentu saja jika hal ini dilakukan kontroversi bisa saja membesar dan biaya 12 miliar itu bisa saja terbuang percuma karena film ini berpotensi diancam untuk dicekal oleh you know who. Sayangnya lagi, meski melakukan pendekatan kisahnya lewat karakter-karakter lain, tetap saja saya merasa kisahnya kurang dalam meski tidak dangkal juga. Hanya saja untuk ukuran filmnya Garin, makna yang ada dalam kisahnya kurang mengena.
Tapi toh tidak adil juga jika menilai film ini buruk hanya karena saya merasa Soegija kalah superior dibanding film Garin yang lain. Cara bertutur yang lebih sederhana dibanding dengan filmnya yang lain membuat film ini lebih mudah dinikmati. Pada dasarnya jalinan kisahnya meski sering terasa kurang dalam masih tetap termasuk enak dan menarik diikuti. Meski begitu di beberapa bagian masih ada suasana unik khas Garin Nugroho yang membuat film ini tetap khas miliknya. Tapi ada satu adegan dengan nuansa surealis yang sedikit mengganggu yaitu saat momen perang yang mana ditampilkan sosok seorang pria bersenandung tentang perang yang meletus. Saya rasa tidak perlulah adegan unik khas Garin tersebut muncul di film yang formatnya linear dan realis seperti ini. Namun momen unik lain yang menarik dan bisa diterima toh juga ada seperti kemunculan cameo dari Marwoto yang mampu mengundang tawa. Untuk urusan mengundang tawa, film ini juga cukup jago menyelipkan unsur komedi khususnya dari tokoh Toegimin yang diperankan Butet Kertarejasa.
Meski dari kisahnya kurang maksimal, untuk segi visual film ini membuktikan bujet raksasanya dipakai dengan maksimal. Lihatlah set yang luar biasa dalam menampilkan pemandangan serta suasana Indonesia pada masa itu. Begitu maksimal dan terasa sangat realistis. Adegan perang juga ditampilkan dengan baik meski tidak dominan muncul. Meski berlatar perang, film ini memang tidak "berisik" dalam menghadirkan adegan perangnya karena memang bukan perangnya yang jadi sorotan utama tapi tema kemanusiaan dan persamaan adalah yang utama. Untuk urusan persamaan, saya sangat suka dengan karakterisasi beberapa tokoh non pribumi baik itu dari Jepang ataupun Belanda. Mereka ditampilkan memang kejam tapi tidak kehilangan unsur kemanusiaan masing-masing. Kita akan sadar bahwa mereka semua yang ada dalam film ini adalah manusia biasa dengan pernak perniknya masing-masing.
Pada akhirnya saya tetap tidak tahu banyak dan detail mengenai siapa dan bagaimana sebenarnya sosok Soegija itu. Ideologi dan perjuangannya lewat diplomasi bisa sedikit terbaca tapi jelas tidak ditampilkan dalam porsi yang memuaskan. Karakterisasinya juga tidak terlalu menarik untuk disaksikan, entah kenapa spirit yang harusnya muncul dari figur ini kurang terasa bagi saya. Meski begitu jika melupakan bahwa ini adalah biopic yang kurang bercerita banyak tentang tokoh utamanya, maka Soegija adalah sebuah film dengan latar perjuangan yang menarik untuk diikuti. Meski tidak mampu menyajikan kisahnya dengan lebih mendalam, tetap saja berbagai konfliknya enak ditonton. Visualnya sangat memikat dan disajikan dengan maksimal. Nuansa Katolik jelas akan terasa dan bagi saya itu adalah keunikan tersendiri karena jarang film Indonesia yang mengambil pendekatan suasana semacam itu. Jika anda adalah orang yang berpegang teguh bahwa sebuah biopic harus total menceritakan pernak-pernik tokoh dalam judulnya maka film ini akan mengecewakan. Tapi jika anda tidak terlalu masalah dengan hal tersebut, maka Soegija akan mampu menghibur anda. Satu hal yang pasti menonton film ini tidak akan sampai membuat penontonnya berpindah kepercayaan.
RATING:
great review.. saya suka cara anda menyampaikan review anda. kritik yang disampaikan cukup tajam tapi tidak sampai menggurui pembaca lain untuk harus sependapat dengan anda.
BalasHapusMakasih pujiannya :)
BalasHapusSaya cuma ngasih apa yang ada di pikiran saya dalam review ini secara jujur dan subyektif kok
dengan film ini membuktikan bahwa dari dulu indonesia memang majemuk, beragam suku dan budaya.
BalasHapusSaya juga setuju dengan review saudara Rasyid,sungguh patut menjadi contoh didalam berfikir maju dan rasional.
BalasHapusFilm Indonesia yang berkualitas memang harus mendapatkan pujian seperti ini.
Mas Garin Nugroho...bangkitkan kembali budaya dan seni kita melalui film film berikutnya...ditunggu..:)
Makasih :)
HapusYap, karya-karya Garin selalu punya daya tarik tersendiri dan punya kualitas yang patut dibanggain walaupun buat "Soegija" masih nggak sekuat karya Garin lainnya
Pertama, menonton film Soegija, ekspektasi kita dalam melihat film harus dirubah. Ini bukan film “cerita”, melainkan film yang sering disebut sebagai nonlinear narrative, disjointed narrative atau disrupted narrative. Artinya, kita tidak dapat melihat ini dengan kerunutan cerita secara linier, bahkan bisa dikatakan jika ekspektasi kita adalah “narasi konvensional”, dengan pengenalan masalah, masalah, klimaks dan anti klimaks, maka dapat dikatakan ekspektasi kita keliru. Film ini adalah sebuah film yang bisa dikatakan sebagai film “portrait”, mengungkap dimensi “event” dalam kemasan-kemasan pendek yang bermakna, “where events are portrayed out of chronological order”. Walaupun ada dimensi koronologisnya, namun itu jangan semata-mata memandangnya secara konvensional. Coba kita lihat, film ini ditutup dan diakhiri dengan “portrait” yang begitu memukau dan menyentuh.
BalasHapusKedua, menonton film Soegija, ekspektasi kita jangan berharap ini sebagai film “sejarah”. Ini semata-mata bukan film “mengenai sejarah” atau “biografis” semata, melainkan film yang sering disebut sebagai “sub-conjungtive history”. Artinya, ada sebuah telaah, pandangan, dan makna-makna yang seakan dirajut untuk mempercantik sebuah peristiwa sejarah, walaupun itu bersifat fiktif, namun kepentingannya menyuguhkan makna yang mendalam. Maka ini, bukan film mengenai “biografis Soegija”, melainkan sebuah kisah-kisah yang seakan merangkai figur Soegija, sebagai kisah-kisah kemanusiaan. Maka, ketika Garin, selaku sutradara memasukkan “anak-anak Papua” dalam film, tolong ini jangan dilihat sebagai “kesalahan film”, ini memang disengaja, untuk sebuah “petisi” publik yang ingin mengatakan “Tanah Papua” adalah Tanah Indonesia yang ikut andil mengisi kemerdekaan, dan tentu masih banyak lagi “petisi-petisi” yang diangkat, termasuk mengenai “Keistimewaan Yogyakarta”. “Sub-conjungtive history” ini dipadu dengan sebuah “narator” yang coba dihadirkan dengan tokoh “Pak Besut”. Dan, cara menghadirkannya pun, terasa apik , menyentuh. Menariknya, “narator” yang coba dihadirkan melalui tokoh “Pak Besut” ini, mencoba membingkai viewpoint dalam kontekstualitasnya yang digagas semacam sembrono parikeno, membincangkan apa saja yang sedang populer di kalangan masyarakat dalam semangat dan tawaran nilai-nilai kejawen yang kental. Melalui sapaan, "Nuwun paromiarso . . . ", narator ini, menjadi semacam penghubung antara “makna” kekinian dengan sebuah konstelasi zaman.
Ketiga, rasa-rasanya, dalam film Soegija ini, Garin ingin bermain dengan apa yang sering disebut sebagai omnibus film, package film, atau portmanteau film. Kita dapat melihat betapa dihadirkannya sosok Soegija sebagai "top-level" story-nya, kemudian ia coba lakukan a framing, terhadap sebuah "sub-stories", melalui Mariyem, Robert, Ling-Ling, Broto dan lain sebagainya. Maka, saya menyadari, betapa ada banyak tanggapan penonton yang cukup kebingungan dengan ini. Namun, inilah masanya intertextuality dalam sebuah film. Saya melihat, hal ini selayaknya seperti saya memasuki “museum”, ketika saya mencoba menelaah berbagai rajutan “portrait” dengan “labellingnya”. Labelling ini muncul dalam setiap ungkapan-ungakapan yang artistik, melalui kata-kata tokoh yang dihadirkan.
Keempat, terlepas dari berbagai kelemahan tehnis film, misalnya karakter pemain dan lain sebagainya, menonton film Soegija, perlulah ditempatkan dalam intertextuality. Maka, Garin seakan menggabungkan berbagai “feature film” dalam satu kesatuan Soegija. Bisa dikatakan ini sebuah anthology, “An anthology film is a fixed sequence of short subjects with a common theme”. Untuk itu, betapa sulitnya jika kita mengkaitkannya sebagai “dramaturgi” yang konvensional. Saat ini, masanya “garda depan” dalam film. Dan, film Soegija, tentu kita tempatkan dalam poststructuralist nya.
Terimakaasih atas tanggapannya :) saya mencoba menanggapi berdasarkan pandangan subjektif saya sendiri:
Hapus1. Saya sangat setuju dengan padangan bahwa film ini tidak mengikuti pakem konvensional dengan "pengenalan masalah-masalah-klimaks-antiklimaks". Tapi untuk masalah ekspektasi, saya rasa yang banyak dipermasalahkan penonton berkaitan dengan ekspektasi mereka bukanlah masalah narasinya melainkan lebih kepada inti penceritaannya yang justru kurang menggali lebih dalam karakter Soegija, padahal ekspektasi penonton adalah untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang beliau ini lewat filmnya. Kalau untuk masalah gaya bertuturnya saya rasa tidak ada penonton yang terlalu mempermasalahkannya
2. Saya rasa tidak ada masalah mengenai ekspektasi penonton yang berharap akan mendapat sebuah biografi Soegija. Wajar saja kan apabila ada film berjudul 'Star Wars' dan penonton berharap isinya adalah mengenai peperangan bintang? Saya rasa tidak ada yang salah dalam ekspektasi penonton itu. Yang harus dilakukan sebenarnya bukanlah mengubah ekspektasi tapi melakukan perenungan lagi setelah menonton mengenai apa yang sebenarnya terkandung dalam film ini. Dari situlah penonton akan bisa memaknai lebih jauh apa yang sebenarnya ada disini apakah itu biografi Soegija atau lebih dari itu? Yang jadi masalah juga adalah dalam marketing-nya film ini terlanjur bertutur akan mengisahkan tentang Soegija sebagai seorang uskup pribumi pertama sehingga wajar penonton berekspektasi seperti itu.
3. Saya setuju dengan tanggapan bahwa sebenarnya Soegija memang ditempatkan sebagai 'benang merah' antar semua tokohnya melalui ideologi dan perjuangannya. Disinilah sebenarnya interpretasi penonton yang akan bermain untuk menentukan apa sebenarnya maksud dari cara bertutur film itu.
Overall saya rasa meski penonton akan terbagi dua menjadi yang suka dan yang tidak, memang harus diakui bahwa 'Soegija' adalah sebuah karya sineas lokal yang inovatif dan termasuk yang berada di tingkat atas
:)