Troma Entertainment adalah sebuah distributor film yang didirikan oleh Lloyd Kaufman dan Michael Herz pada tahun 1974. Tapi film-film rilisan Troma bukanlah film biasa, karena banyak dari film-film tersebut yang mendapat status cult. Film yang dirilis oleh Troma biasanya adalah sebuah b-movie yang mengumbar berliter-liter darah dan penuh dengan hal-hal menjijikkan. Meski film-film tersebut sering dikategorikan sebagai film bodoh, tapi selalu ada orang-orang yang mencintai film semacam itu. Oleh karenanya film-film rilisan Troma sering mendapat status cult. Beberapa judul yang terkenal antara lain Tromeo and Juliet, Mother's Day dan tentunya seri The Toxic Avengers yang sudah mencapai empat film dan rencananya akan dibuat film kelimanya. Tapi diantara film-film rilisan Troma, salah satu yang paling mendapatkan respon positif baik secara pendapatan ataupun review dari para kritikus adalah film yang judulnya terlihat jelas sebagai sebuah parodi dari Poltergeist dan Night of the Living Dead ini. Tapi ternyata tidak hanya judulnya saja, karena jalan ceritanya memiliki beberapa kemiripan dengan kedua judul diatas, yang membedakan adalah pengemasannya. Tentu saja pengemasannya gila, karena ini adalah film rilisan Troma.
Film ini sudah dibuka dengan adegan gila saat dua tokoh utamanya, Arbie dan Wendy berhubungan seks ditengah pemakaman Indian yang terkenal angker. Mereka berhubungan seks dalam rangka perpisahan setelah keduanya lulus SMA dan Wendy akan pergi berkuliah sedangkan Arbie tetap dirumah untuk merawat ibunya yang idiot dan ayahnyayang buta. Tanpa mereka ketahui setelah mereka meninggalkan tempat tersebut terjadi sebuah kejadian horror yang juga menjijikkan. Satu semester kemudian, keduanya bertemu lagi dalam sebuah momen yang tidak disangka. Saat itu tanah pemakaman tersebut telah diratakan dan dibangun menjadi sebuah restoran siap saji bernama American Chicken Bunker. Saat itu Arbie yang berada di tengah demonstrasi yang memprotes pembangunan restoran tersebut secara mengejutkan mendapati Wendy berada diantara demonstran dan menjadi salah satu aktivis lesbian. Mendapati cintanya menjadi lesbian, Arbie yang patah hati memilih melamar pekerjaan di restoran tersebut. Tanpa mereka ketahui, roh Indian yang murka telah bersiap melakukan terornya dengan cara "merasuki" bahan baku makanan restoran tersebut.
Awalnya saya mencoba berpikir kandungan cerita yang coba disampaikan oleh Poultrygeist: Night of the Chicken Dead. Apakah itu tentang kapitalisme? Atau sindiran tentang apa? Tapi akhirnya saya merasa bodoh sendiri melakukan hal itu. Memikirkan makna dari film rilisan Troma? Kecuali film itu adalah My Neighbor Totoro maka hal tersebut terasa percuma. Cukup nikmati saja berbagai sajian menjijikkan dan menggelikan dari film ini. Film ini jelas adalah sebuah film "sakit". Penonton dengan perut lemah atau mereka yang selalu mengharapkan kisah berbobot ala film-film Oscar pasti langsung mencaci maki film ini dan serasa ingin melempar layar dengan barang terdekat untuk segera menghentikan filmnya. Tapi bagi penonton yang bisa menikmati sajian tak berotak macam film-filmnya Nishimura atau tentunya film-filmnya Troma, maka Poultrygeist adalah sajian yang menyenangkan. Penonton semacam itu pasti senang melihat muntahan menjijikkan dimana-mana, kompilasi adegan diare paling "bombastis" dan menijikkan, serta tentunya bergalon-galon darah yang muncrat dengan begitu lebay. Untuk sajian semacam itu, film ini tidak pernah mengecewakan saya dan mengumbar semua persedian muntahan, darah dan kotoran tersebut dengan maksimak. Disaat invasi roh Indian mencapai klimaksnya, maka berbagai adegan menjijikkan sekaligus sadis juga mencapai tingkat tertinggi.
Poultrygeist: Night of the Chicken Dead jelas bukanlah film yang mempedulikan hal seperti cerita ataupun akting. Cerita jelas dangkal sedangkal-dangkalnya. Bahkan saya tidak tahu dari mana asal muasal teror roh Indian tersebut. Yang saya tahu tiba-tiba ada telur misterius dalam restoran entah darimana, lalu ada ayam mentah yang membunuh salah satu karyawan dan membuatnya jadi hantu sandwich daging yang bisa bicara, lalu entah bagaimana caranya ada dua versi monster yang meneror yakni para korban yang berubah jadi zombie ayam dan monster ayam yang keluar dari telur yang ditetaskan oleh manusia. Bagaimana pula ada salah seorang tokoh yang telah mati lalu hidup lagi lalu mati lagi. Butuh penjelasan? Dengan mudah sang tokoh mengatakan "Tidak ada waktu untuk menjelaskan" *jreeeeng! Segalanya dalam film ini kacau, tapi kacau yang menyenangkan. Jika anda menganggapnya terlalu serius maka yang muncul adalah berbagai pertanyaan yang tidak akan mungkin terjawab karena saya yakin sang penulis naskah bukannya sengaja menyimpan misteri ambigu seperti naskahnya Nolan, tapi memang dia tidak memikirkan jawabannya. Pokoknya terima saja segala bentuk kegilaan dan kekacauan dalam film ini maka anda akan bersenang-senang.
Tapi bukankah film semacam ini sudah banyak? Lalu selain kadar kegilaan dan menjijikkan yang super maksimal apa yang membuat ini sampai begitu spesial? Jawabannya adalah adanya unsur musikal dalam film ini *standing ovation* Mungkin Lloyd Kaufman dan rekan-rekannya sempat bingung bagaimana membuat perkenalan masalah tanpa harus mengumbar banyak muntahan dan darah karena semuanya akan ditumpahkan langsung pada klimaks, tapi tetap terasa unik. Bukannya menambahkan unsur cerita yang menarik atau rumit, mereka langsung menambahkan momen musikal didalamnya. Jangan berharap sebuah adegan musikal megah dengan lirik puitis, koreografi keren dan suara merdu, karena yang ada dalam film ini adalah lagu dengan lirik to the point yang nyeleneh, koreografi yang asal yang penting bergerak, sampai suara dari tokoh Arbie yang bagi saya sangat tidak nyaman didengar. Tapi toh memadukan horror dan musikal bukan hal baru bagi Troma. Tepat 10 tahun sebelum film ini mereka pernah membuat Cannibal! The Musical. Tapi bagi saya sendiri pengemasan momen musikalnya terasa sedikit membosankan. Atau mungkin karena ada banyak lirik yang tidak saya mengerti akibat tidak adanya subtitle saat saya menonton film ini.
Menonton film ini tanpa subtitle ternyata juga mempengaruhi momen komedinya yang seringkali terasa garing, padahal momen komedi andalan film ini sepertinya adalah dari dialog-dialog konyol yang penuh sindiran dan kalimat konyol. Film ini juga terasa terlalu berusaha untuk lucu dengan membuat adegan dan karakternya sebodoh mungkin. Padahal tanpa itu dilakukan semuanya sudah bodoh,, dan pada akhirnya malah terasa berlebihan. Tapi toh meski momen komedi dan musikalnya tidak terlalu spesial, kembali lagi momen muntah-berak-darah yang ditampilkan selalu efektif membuat mata saya fokus pada layar. Tentunya berbagai momen penuh "tonjolan" juga jadi hiburan tersendiri bagi penonton pria. Bicara soal komedinya lagi, saya sediki terganggu dengan penggambaran tokoh Hummus yang digambarkan sebagai wanita muslim yang memakai cadar. Ada perbedaan antara membuat sesuatu sebagai bahan lelucon dengan melecehkan sesuatu tersebut, dan apa yang saya lihat bukanlah sebatas menjadikan seorang wanita muslim bercadar sebagai bahan lelucon tapi sudah masuk wilayah melecehkan. Apalagi dengan menampilkan adegan saat dia solat dengan gerakan yang "dimodifikasi" saya rasa hal itu sudah melampaui batas. Patut dicatat saya bukan orang yang anti akan sebuah lelucon yang berbau rasis asalkan penyampaiannya cerdas layaknya film-film Baron Cohen. Tapi dalam film ini saya rasa sudah sedikit kelewatan dan hal tersebut mengurangi kelucuannya secara drastis. Tapi secara keseluruhan Poultrygeist: Night of the Chicken Dead tetaplah sebuah sajian hiburan idiot yang tidak mengecewakan dan bertabur kegilaan dari awal sampai akhir.
Saya suka sekali dengan review-review film ajaib yang belakangan sering banget dikau posting bro. Thank you karena memperluas wawasanku. :p
BalasHapusSenang dapet komen begini dari orang yang menginspirasi terciptanya blog ini :D
HapusIya udh brp film gila yg km posting reviewnya, dr pd nonton mending baca reviewnya
BalasHapusYa itulah sebuah gerbang seni
BalasHapusPemikiran tak logis bisa dimasukkan ke dalam kanvas musik buku maupun Film
Ya itulah sebuah gerbang seni
BalasHapusPemikiran tak logis bisa dimasukkan ke dalam kanvas musik buku maupun Film