"There's no such thing as an anti-war film" begitu kata sutradara asal Prancis, Francois Truffaut. Karena bagaimanapun cara pemaparan sang sutradara, kesan glorifikasi terhadap peperangan akan tetap terasa. Sebut saja Saving Private Ryan karya Steven Spielberg. Sekuat apapun horor yang ditampilkan oleh opening sequence ikoniknya, penonton bakal tetap mengingatnya sebagai pertempuran yang epic dan bombastis. Bahkan Apocalypse Now milik Coppola yang begitu kuat mengeksplorasi kerusakan psikis tentara di medan pertempuran pun tetap membuat kita berdecak kagum oleh ledakan yang menghiasi hutan Vietnam. Tapi Beast of No Nation garapan Cary Joji Fukunaga berbeda. Adaptasi novel berjudul sama tulisan Uzodinma Eweala ini mampu tampil tanpa sedikitpun kesan glorifikasi terhadap apapun. Tidak terhadap kekerasan, tidak terhadap pertempuran, tidak terhadap penggunaan senjata.
Di sebuah negara tanpa nama yang terletak di Afrika Barat, seorang bocah bernama Agu (Abraham Attah) hidup sederhana namun bahagia bersama keluarganya. Dia bahagia menghabiskan masa kecil bersama teman-temannya sambil sesekali melakukan kenakalan seperti membongkar frame televisi milik sang ayah untuk kemudian dijual sebagai "televisi imajinasi". Para aktor ciliknya tampak begitu bersenang-senang disini. Saya suka oepning sequence ini. Memberikan kejenakaan dan kehangatan dipenuhi keliaran imajinasi (dari konten adegan dan cara pengemasan Fukunaga), tapi kita sebagai penonton tahu bahwa horor sedang diam-diam mengintai mereka. Perang pun kemudian pecah di desa tersebut. Anak-anak beserta ibu mereka diungsikan, sedangkan para pria dewasa tetap tinggal untuk mempertahankan tanah mereka. Malang bagi Agu, minimnya transportasi membuatnya harus tetap tinggal bersama ayah dan kakaknya, terpisah dari sang ibu.
Kisah Agu semakin tragis saat ia harus melihat secara langsung ayah dan kakaknya tewas diberondong peluru. Agu berlari tak tentu arah hingga tersesat di tengah hutan tanpa memiliki persediaan makan dan minum. Disitulah ia ditemukan oleh pasukan pemberontakan yang menamakan diri mereka sebagai NDF. Pasukan tersebut berisikan mereka yang bukan berasal dari pihak militer Bahkan ada banyak anak kecil seumuran Agu tergabung disana, membawa senapan dan parang untuk bertempur. Mereka dipimpin oleh seorang pria yang sepanjang film hanya dipanggil sebagai Komandan (Idris Elba). Sosoknya tidak hanya keras dan berwibawa. Idris Elba sanggup menghadirkan aura yang membuat Komandan bagaikan seorang legenda, sebuah tokoh mistis. Pasukan NDF pun begitu memujanya. Tidak mempunyai pilihan lain, Agu pun terpaksa bergabung menjadi salah satu pasukan NDF.
Kita mulai diajak melihat perubahan dalam kehidupan serta kepribadian Agu. Pada awalnya ia adalah bocah yang taat beragama. Hal itu ditunjukkan dengan beberapa voice over Agu tengah memohon, bertanya, dan segala bentuk interaksi lain kepada Tuhan. Beast of No Nation menggambarkan bagaimana situasi perang menghancurkan masa kecil seorang anak. Dari anak baik-baik, Agu dipaksa melakukan pembunuhan pertamanya, hingga seiring berjalannya waktu mulai mudah mencabut nyawa manusia sambil menghisap ganja. Bersama NDF, Agu menjalin pertemanan bersama seorang bocah bisu bernama Strika (Emmanuel Nii Adom Quaye). Strika lebih dahulu bergabung dengan NDF dan telah berpengalaman dalam berbagai peperangan dan pembunuhan. Awalnya Strika nampak sebagai anak tak berperasaan. Tapi kedekatannya dengan Agu menyadarkan kita bahwa mereka tetaplah dua orang anak kecil yang menginginkan kesenangan, merindukan canda tawa kebahagiaan kala bermain bersama kawan.
Filmnya memberikan eksplorasi mendalam saat Agu mulai tersesat di tengah kebingungan pikirannya. Disatu sisi ia selalu teringat bahwa pembunuhan itu salah di mata Tuhan, tapi disisi lain keberhasilan brainwashing dari Komandan membuatnya meyakini semua itu perlu dilakukan demi negara. Voice over banyak dipakai untuk memunculkan sisi dilematis Agu. Sayangnya, meski terkadang cukup efektif sebagai alat eksplorasi, tidak jarang saya merasa kalimatnya terlalu puitis. Indah memang, tapi bertolak belakang dengan tone keseluruhan film hingga menciptakan distraksi.
Cary Fukunaga memang menghadirkan perjalanan itu secara raw dalam semua sisi, amat jauh dari kesan drama puitis. Tidak ada usaha menghadirkan kekerasan dan peperangan secara stylish. Efeknya, horor yang ditampilkan pun nyata. Darah yang tumpah dan kematian seolah bukan rekayasa sinema. Beberapa adegan seperti kematian kakak Agu atau saat Agu membelah kepala orang dengan parang memunculkan rasa mual dan kengerian serupa seperti saat saya menyaksikan footage eksekusi asli yang banyak beredar di internet. Pemilihan nama-nama tak dikenal yang mayoritas belum memiliki pengalaman akting merupakan keputusan berisiko namun mendapat hasil setimpal. Tidak hanya mereka (khususnya Abraham Attah) bermain bagus, tapi turut menguatkan kesan natural yang memang ditonjolkan oleh Fukunaga. Beast of No Nation akan mampu membuat penonton mensyukuri betapa beruntungnya nasib mereka tidak harus tinggal di tempat penuh konflik seperti Agu.
Memang ada Idris Elba sebagai nama besar, tapi kehadirannya bukan sekedar untuk meningkatkan nilai jual. Sosoknya sebagai aktor berpengalaman memang dibutuhkan demi menghidupkan sosok Komandan. Saya sudah sedikit menyinggung bagaimana kemampuan Elba membuat Komandan layaknya sosok myth. Saya akan percaya jika ia disebut sebagai seorang legenda, bayangan hitam yang bersembunyi di tengah hutan untuk menghancurkan satu per satu pasukan musuh tanpa bisa disentuh. Tapi seiring film berjalan kita pun mulai mengenal Komandan sebagai manusia biasa. Seorang pria yang justru begitu rapuh, frustrasi mengejar kebesaran diri daripada serta merta ingin menghancurkan musuh demi kedamaian negara. Elba pun dengan mulus menghidupkan sosok rapuh sang Komandan. Dari seorang keras berwibawa menjadi seorang keras yang penuh omong kosong. Nominasi Oscar untuk Best Supporting Actor harus diberikan padanya.
To put it simply, "Beast of No Nation" isn't an easy movie to watch. Suasana brutal dan tragis yang kuat menjadikannya pengalaman menonton yang jauh dari kesan enjoyable. Tapi disitulah kekuatannya. Beast of No Nation merupakan gambaran nyata terhadap sisi keras kehidupan dan direnggutnya kebahagiaan oleh peperangan. Bagaimana seorang penyelamat dan pemimpin macam Komandan kemudian menjadi seorang penjahat perang. Bagaimana seorang bocah seperti Agu kemudian berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Watch this movie, and you'll see the horror of war.....also the horror of life.
Hi salam kenal,
BalasHapusSuka banget baca movie review dari blog ini. Hampir setiap hari malah, nungguin update dan update lagi tentang film. Nominasi Oscar buat Idris Elba di kategori Best Supporting Actor emang layak banget secara penampilan doi dulu di film "Mandela: Long Walk to Freedom" bagus banget namun di-snub oleh AMPAS di Academy Awards ke-86, biar ga ada lagi tagar kayak #OscarSoWhite.
Semoga ada buat post tentang Prediksi Nominasi ataupun Pemenang Piala Oscar tahun depannya. Ditunggu juga review film-film kayak The Danish Girl, Steve Jobs, Bridge of Spies, Spotlight, Carol, Truth dan film-film lainnya yang mendapat Oscar buzz. Terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan.
Agus Huang
Wow, makasih ya udah baca dan komen panjang hehe
HapusYah, udah lelah juga sama "whitewashing" atau "Oscar So White" yang diperdebatin terus itu
Judul-judul diatas pasti direview kok, Bridge of Spies tinggal ditunggu aja
:)