24/12/15

NEGERI VAN ORANJE (2015)

0 View
Penyakit akut bagi film Indonesia yang menjalani proses syuting di luar negeri adalah lebih berfokus pada eksploitasi pemandangan tiap sudut lokasi. Tidak jarang filmnya melupakan tugas bernarasi dan seperti dokumentasi jalan-jalan belaka. Mungkin para pembuatnya beranggapan penonton Indonesia kampungan, mudah dibuat terperangah oleh suatu negeri asing. Saya berpikir sebaliknya. Para pembuatnya yang kampungan karena terlalu kagum, sampai merasa sayang untuk tidak sebanyak mungkin menyelipkan footage tersebut. Materi promosi menuju perilisan "Negeri Van Oranje" karya sutradara Endri Pelita tidak nampak seperti itu. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi dan Rizki Pandu Perdana ini terlihat memfokuskan kisah pada lingkup persahabatan serta cinta di dalam pertemanan. Ada harapan besar di benak saya. Harapan itu sayangnya tak seutuhnya terpenuhi.

Adegan pertama memperlihatkan persiapan pernikahan Lintang (Tatjana Saphira), dimana kita diberi tease bahwa ia hendak menikahi salah satu dari empat sahabatnya. Saya pun mulai menyadari "Negeri Van Oranje" bakal berjalan layaknya tebak-tebakan mengenai siapa yang akhirnya mampu mendapatkan hati Lintang. Pembukaan yang menjanjikan, karena artinya naskah tulisan Titien Wattimena tahu hendak melangkah menuju ranah eksporasi karakter. Fokus (seharusnya) ditempatkan pada interaksi Lintang dengan masing-masing "calon suami", dan bila dilakukan dengan benar, akan tercipta proses eksplorasi karakter mendalam serta interaksi bernyawa. Tak lama, penonton dilempar menuju setting luar negerinya; Belanda dan kota Praha. Disaat Belanda merupakan tempat kelimanya mulai menjalin pertemanan, Praha menjadi titik puncak perpecahan kala Lintang merasa tersakiti karena menjadi bahan rebutan dan taruhan oleh sahabatnya.

Alurnya tidak linier, dimana selepas pengenalan konflik di Praha, cerita terus melompat. Mulai saat kelimanya pertama bertemu, hingga pemaparan satu per satu hubungan antara tokoh pria dengan Lintang. Disinilah misteri dimulai. Penonton "diminta" menebak siapa yang akan dipilih Lintang. Sesekali terdengar voice over-nya, menjabarkan opini mengenai masing-masing pria. Seolah seperti petunjuk, tapi baris kalimat yang terucap sesungguhnya pengecoh demi membuat penonton terus berpikir. Tidak sulit untuk menebak "siapa", dan semestinya film ini tak berfokus pada hasil akhir, melainkan proses. Sayang, naskahnya justru lebih tertarik menggiring penonton untuk menebak daripada mengeksplorasi proses persahabatan serta detail karakter. Akibatnya perjalanan yang ditempuh berujung hampa. Kehangatan persahabatan pun tak terasa. Saya bagai outsider yang hanya melihat rekaman karakternya jalan-jalan tanpa dipersilahkan masuk lebih jauh untuk mengenal. 
Penulisan dialog jauh dari kesan menarik. Minim eksplorasi serta kreatifitas, karena mayoritas kalimat tidak jauh dari obrolan dangkal santai atau penjelasan untuk suatu monumen bersejarah. Ya, "Negeri Van Oranje" nyatanya masih terserang penyakit "pamer pemandangan". Kita sering melihat kelima karakternya bersama, tapi kebanyakan berupa montage mereka berjalan bersama menikmati pemandangan kota. Memang sinematografi dari Yoyok Budi Santoso cukup well-made, tapi rasanya kosong, tak ubahnya video traveling yang banyak beredar di YouTube (dengan kualitas gambar lebih baik tentunya). Bicara sinematografi, gambar yang ditangkap sebenarnya memanjakan mata, tapi terganggu oleh pemakaian lens flare atau fake rainbow berlebih. Kenapa tiap matahari harus bersinar begitu "galak"? Kenapa tiap kaca bahkan lampu mobil harus memantulkan cahaya menyilaukan? Pemakaian efek visual semacam ini tidak keliru, hanya saja disini semuanya nampak palsu. Gambar indah tidak selalu bersinonim dengan cahaya magic hour ala Terrence Malick bukan?

Andai saja "Negeri Van Oranje" tidak dianugerahi jajaran cast berbakat, hancurlah film ini. Tatjana Saphira memang sering datar berekspresi, tapi ia cocok sebagai Lintang. Gadis ini harus membuat penonton percaya ia layak diperebutkan empat pria tampan. Melihat paras Tatjana, perebutan itu jadi believable. Sedangkan Banjar (Arifin Putra), Wicak (Abimana Aryasatya), Daus (Ge Pamungkas) dan Geri (Chicco Jerikho) punya karakterisasi berbeda dan keempat aktornya mampu menguatkan perbedaan itu, bukan semata-mata hanya di atas kertas. Banjar si "pria bar-bar" dan Daus yang cerdas tapi konyol adalah sumber komedi. Keduanya tak pernah gagal membuat saya tertawa, dan dari situ hiburan terbesar film ini. Menyenangkan melihat Arifin Putra lepas dari tokoh cool yang akhir-akhir ini identik dengan dirinya. Chicco adalah Chicco, yang dengan mudah membuat Geri menjadi "the coolest guy on Earth".
Tapi film ini punya sosok bernama Abimana Aryasatya, yang tetap menonjol tak peduli harus bersanding dengan siapa atau memainkan naskah sedangkal apapun. Jika anda telah melihat trailer film ini, tentu akan tahu sebaris dialog yang diucapkan Abimana. Dialog itu berbunyi "cukup satu kejadian, cukup satu". Hanya itu, and I'm sold! Aktor satu ini punya sihir untuk memberi bobot pada seluruh dialog, bahkan yang paling cheesy sekalipun (tengok "99 Cahaya Di Langit Eropa" sebagai contoh). Sihir itu dimunculkan lagi disini. Karakter Wicak yang ia perankan adalah sosok pendiam, tapi begitu bicara bahkan Lintang pun dibuat kagum. Saya merasakan hal serupa. Ketiga aktor lain tampil baik, tapi puluhan baris kalimat mereka bakal runtuh bila dibandingkan satu-dua baris dialog Abimana. Pembawaannya santai, tapi tidak lifeless. Matanya sayu namun memberi kedalaman, penuh ketegasan bertutur. Geri boleh jadi representasi "the coolest guy on Earth", tapi Abimana adalah "the coolest Indonesian actor today". 

Saya memahami pilihan filmnya untuk berfokus hanya pada persahabatan dan cinta, meminggirkan aspek esensial lain seperti perjuangan beradaptasi di negeri asing dalam kondisi sederhana. Tapi sekali lagi, itu percuma disaat jalinan persahabatan tak menghadirkan impact emosional kuat. Tapi diluar keburukan itu, izinkan saya memberi pembelaan terhadap premis-nya. Banyak orang beranggapan kisah Lintang ditaksir empat sahabatnya sebagai hal tidak logis. Coba pikir lagi. Anda tinggal di tempat asing, jauh dari rumah, lalu bertemu orang-orang satu tanah air. Otomatis tercipta intimasi. Hal itu terjadi pada kelima karakternya. Sedangkan bagi empat tokoh pria, mereka dihadapkan pada Lintang; gadis cantik, berasal dari tempat sama, hampir rutin mereka jumpai. Mereka kesepian, dan masuk akal jika semua menyukai Lintang di waktu bersamaan. Presentase terjadi pada empat orang memang kecil, tapi tidak semustahil kelihatannya.

"Negeri Van Oranje" menjadi contoh nyata pentingnya kualitas akting dalam suatu film. Disaat naskahnya lemah, fokus melebar kearah "unjuk gigi visual", saya masih bisa menikmati film ini. Saya tertawa pula tersentuh oleh beberapa momen. Bukan karena eksekusi sutradara atau kedalaman kisah, tapi berkat penghantaran memikat pemain. Bayangkan jika para aktor diberi naskah lebih kuat untuk mewujudkan premis film ini. Saya yakin, jika kekuatan itu dipenuhi, "Negeri Van Oranje" akan bertengger mantap di puncak daftar saya untuk film Indonesia terbaik 2015. Sayang, kegagalan memanfaatkan potensi justru membuatnya jadi salah satu kekecewaan terbesar tahun ini. This movie could've been better. This movie could've been amazing.

9 komentar :

  1. emang Lintang ama siapa nikah? Plis jawab, gue gak peduli sop iler (eh, spoiler) :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tonton aja dong filmnya :)

      Hapus
    2. sama wicak bro soalnya geri gay

      Hapus
  2. hihi. iyaa setuju banget, aktornya yang ngangkat banget! betul sih aku setuju juga ceritanya terlalu lompat2 dan gak mendalam, dan udh ketauan dr awal sbnrnya akhirnya sama siapa.. :3
    aku lgsg kepikiran film you are the apple of my eye dr mulai filmnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh kan, asal ada Abimana film kayak apa juga enjoyable haha

      Hapus
  3. "the coolest Indonesian actor today". amen for this one. seriously, gue kalo nonton film ada Abimana, even film abegeh #nomention sekalipun gue tonton even meh. sorry not sorry. thanks for reviewnya.. masih menimbang2 buat nonton di bioskop mahal or mureh... abisan sayang kl yg mahal tp jauh dari ekspektasi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yep, film yang isinya ceramah doang juga tetep layak tonton karena doi. NVO di bawah ekspektasi, tapi masih layak ngeluarin duit buat nonton ini :)

      Hapus
  4. Nonton cuma karena belanda :D

    BalasHapus
  5. tapi saya takjub dgn pemandangan belanda nya indah banget :D

    BalasHapus