Judul "The Peanuts Movie" mungkin tidak familiar di telinga banyak orang, tapi lain halnya dengan Snoopy. Bahkan saat mengantri, penjaga tiket kebingungan dan baru paham setelah saya berkata "film Snoopy mas". Tidak heran ketika di beberapa negara termasuk Indonesia, film ini dirilis dengan judul "Snoopy and Charlie Brown: The Peanuts Movie". Sejarah karakter Snoopy dan Charlie Brown memang sudahlah panjang. Sejak pertama kali muncul pada 2 Oktober 1950 sampai 13 Februari 2000, comic strip "Peanuts" karya Charles M. Schulz tercatat sudah mempublikasikan 17.897 cerita, yang menjadikannya sebagai "the longest story ever told by one human being". Untuk layar lebar, film "Bon Voyage, Charlie Brown (and Don't Come Back!!) yang rilis pada 1980 merupakan adaptasi keempat sekaligus terakhir sebelum akhirnya dibangkitkan kembali tahun ini. Bagi penggemar, "The Peanuts Movie" akan menjadi nostalgia manis, sedangkan untuk penonton awam film ini dapat digunakan sebagai perkenalan sempurna bagi kisahnya.
Filmnya dibuka dengan perkenalan pada sosok Charlie Brown, bocah (nyaris) botak dengan baju kuning yang telah menjadi ciri khas. Charlie Brown adalah anak yang kurang percaya diri dan sering dianggap pecundang oleh teman-temannya karena tidak mampu melakukan banyak hal, seperti menerbangkan layang-layang, bermain baseball, atau menendang bola. Dengan kepribadian serta image semacam itu, tentu saja timbul masalah saat Charlie Brown jatuh hati pada gadis kecil berambut merah yang merupakan murid pindahan sekaligus tetangga barunya. Berbagai usaha ditempuh Charlie Brown untuk membangun kesan pertama yang positif di depan gadis tersebut, seperti berusaha mengikuti lomba bakat hingga berlatih menari. Semua itu ia lakukan dengan bantuan Snoopy, anjing peliharaannya yang banyak menghabiskan waktu menulis cerita tentang Perang Dunia I menggunakan mesin ketik miliknya.
Sebagai film animasi, impresi pertama pasti berasal dari visual, sebelum kemudian masuk ke aspek lebih jauh seperti cerita maupun karakter. "The Peanuts Movie" membawa karakter buatan Schulz bertransformasi dari 2D menuju 3D. Pastinya perubahan ini bertujuan untuk menggaet penonton baru, karena semenarik apapun visual 2 dimensinya, tetap akan terlihat ketinggalan zaman bagi anak-anak ataupun remaja zaman sekarang. Konversinya sendiri berhasil, serupa dengan yang terjadi pada "Stand by Me, Doraemon", perubahan kearah 3 dimensi dilakukan tanpa merusak desain esensial karakter yang telah melekat kuat. Lagipula masih ada nuansa 2D yang dipertahankan dalam visualisasi karakternya. Saya menyukai penggunaan warna cerah nan tajamnya, juga beberapa sequence fantasi yang penuh imaji. "The Peanuts Movie" sudah mencuri perhatian mata sedari momen pertama gambarnya menampakkan diri.
Ceritanya sederhana dan tidak banyak perombakan pada formula klasik Schulz. Fokus pada Charie Brown masih diisi tema mengenai kekecewaan akibat kegagalan. Snoopy masihlah anjing dengan kretifitas melebihi sang majikan meski tingkat absurditas sedikit diturunkan. Kesederhanaan cerita bukan merupakan kekurangan, melainkan keunggulan, karena simplicity-nya bukan bentuk kemalasan. Meski ber-setting dalam dunia dimana tak ada satupun orang dewasa (mereka hanya diperdengarkan "suaranya"), penonton remaja dan dewasa bakal menemukan kedekatan dengan kisahnya. Usaha seorang pecundang untuk mendapatkan yang ia inginkan serta romansa "malu-malu kucing" cukup untuk menghadirkan suasana manis. Sedangkan bagi anak-anak, pesan untuk mengutamakan kebaikan daripada ego mampu dituturkan dengan efektif. Karakter Charlie Brown yang penuh kebaikan pun memudahkan penonton untuk mendukungnya menarik hati si gadis berambut merah.
"The Peanuts Movie" turut berhasil menyeimbangkan komedi slapstick penuh keseruan bagi anak-anak seperti saat Charlie Brown berusaha mengejar layang-layang dengan lelucon yang lebih dewasa semisal ketika Peppermint Patty dan Charlie Brown salah mendengar "War & Peace" karya Leo Tolstoy sebagai "Leo's Toy Store" karya Warren Peace. Kelebihan terbesar film ini memang terletak pada keseimbangannya dalam menghibur penonton dari berbagai kalangan. Disaat Pixar melakukan pendekatan yang keliru lewat "The Good Dinosaur", tidak akan terasa mengherankan jika pada akhirnya "The Peanuts Movie" bakal mendapatkan kesuksesan yang jauh lebih besar. It's sweet. It's funny. It's very entertaining.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar