Memang benar niatan untuk menciptakan film bagus layak diapresiasi, termasuk ketika para pembuatnya mampu menggagas suatu konsep menarik. Tapi akan menjadi percuma apabila pada tataran eksekusi hasilnya buruk. Sekali lagi layak diapresiasi, tapi tidak lantas mengangkat derajat filmnya. Karena realisasi konsep sangat bergantung pada kemampuan penulis naskah dan sutradara. Penulis naskah harus mampu mengembangkan ide dasar, sedangkan sutradara bertugas menarasikan lembar-lembar naskah ke dalam bentuk visual. Tanpa kualitas memadahi dari kedua belah pihak, premis sepintar apapun boleh jadi hancur lebur. Hal demikian terjadi pada "Air Terjun Bukit Perawan" yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Rudiyant.
Judulnya memang "catchy" dan berpotensi menimbulkan pemikiran bahwa film ini tak lebih dari sekedar horror pengumbar sensualitas tanpa kengerian. Memang benar banyak wanita berbapakaian seksi di tengah hutan. Ada adegan mereka mandi di bawah guyuran air terjun pula. Bahkan seorang gadis kampung ternyata punya baju menerawang dan bikini berwarna orange cerah di sini. Tapi itu sekedar pemanis dengan taraf wajar. Tidak haram pula hukumnya mengeksploitasi keseksian tubuh dalam film. Kisahnya sendiri mengikuti formula standar tentang muda-mudi berparas cantik nan rupawan yang berniat camping di sebuah hutan. Hutan itu terletak di suatu bukit bernama "bukit perawan". Disebut demikian karena tidak ada orang berani menginjakkan kaki di tempat yang konon angker tersebut.
Si gadis kampung berbaju menerawang dan bikini orange |
"Air Terjun Bukit Perawan" sejatinya bukanlah horror, jadi tidak akan ada kemunculan hantu (well, sort of). Surprisingly, alur berjalan lambat dengan fokus awal mencoba lebih banyak bermain di ranah drama tentang hubungan karakter Tina -si gadis desa berbikini orange- dengan orang tuanya. Sebelum akhirnya misteri tentang sosok Tina muncul dan hadirlah twist mengejutkan. Sungguh, saya tertipu (in a good way) oleh twist-nya. Dari segi plot-line pada paruh awal, film ini sukses mempermainkan ekspektasi. Cara yang dipakai untuk membelokkan alur pun tidak begitu dipaksakan berkat permainan timeline juga beberapa red herring.
Tapi sisi positifnya berakhir pada tataran niat dan konsep. Niatnya bagus, berusaha mengemas thriller berisi drama dan teka-teki. Konsep yang saya cukup yakin bermula dari gagasan "ayo kembangkan cerita dari twist ini" meski tidak original namun cukup menarik. Sayang sutradara dan penulis naskah tidak mampu menarasikan cerita penuh misteri dan lompatan alur. Naskahnya didominasi dialog menggelikan, sehingga tatkala plot masih "merangkak", tidak tercipta daya tarik. Padahal bagian itu berfungsi membangun kepedulian penonton pada tokohnya. Malah menjelang akhir penulisannya makin parah saat (entah sengaja atau tidak) banyak muncul kalimat menggelikan, contohnya yang melibatkan "angkot". Bila disengaja, memang lucu, tapi tidak selaras dengan tone. Bila tidak disengaja, bagaimana mungkin adegan serius cenderung kelam bisa menghadirkan tawa? Jajaran aktor juga sama sekali tidak membantu akibat penghantaran datar mereka.
Si gadis kampung kali ini tanpa bikini |
Masih berkutat pada dialog, Theresia Hwang sang penulis naskah seperti kebingungan dalam menggali sebuah topik pembicaraan. Hasilnya, tidak hanya sekali dua kali penonton diperdengarkan pada pengulangan dialog. Daripada menegaskan suatu ide, pengulangan itu berujung repetisi dangkal. Masalah pengulangan ini juga terjadi pada penyutradaraan Luri G. Wara. Film ini banyak memakai flashback dengan footage sama persis berulang kali. Bahkan editing-nya pun buruk. Sebuah flashback dalam fungsinya selaku "jawaban" hanya perlu memunculkan kembali momen penting secara sekilas. Tapi disini, kita diberikan satu scene penuh, seolah sebagai upaya menambah durasi supaya memenuhi batas minimal feature film untuk pemutaran di bioskop.
Saya kira pada awalnya Luri G. Wara memang sengaja memulai dengan lambat, supaya penonton bisa memahami karakter beserta dialog yang mereka ucapkan, meski akhirnya kekurangan di naskah jadi penghalang. Tapi seiring berjalannya waktu, pace lambat ini juga seperti usaha mengakali durasi akibat minimnya isi cerita. Karena sungguh, bila dituturkan dalam cepat, "Air Terjun Bukit Perawan" bisa berakhir sebagai short film -which is much better. Pergerakan alur terlalu dragging, sehingga intensitas ketegangan serta daya kejut dari twist serta merta luntur. Saat pertama kejutan hadir, saya tersenyum, senang merasa ditipu. Tapi kemudian filmnya berputar-putar, menolak secara gamblang membongkar rahasia yang sesungguhnya sudah diketahui penonton beberapa menit lalu. Ketika semua terbongkar sudah terlambat. Antusiasme saya sudah menurun drastis.
Terdapat keinginan untuk membuat "Air Terjun Bukit Perawan" sebagai thriller murni, bukan kedok di balik eksploitasi keseksian tubuh aktrisnya. Sungguh saya menghargai itu. Tapi alangkah lebih baik untuk tidak memaksakan diri berusaha terlalu kuat menjadikan filmnya cerdas jika akhirnya berakhir bodoh. Kebodohan yang disengaja dan disadari itu tidak masalah, justru berpotensi menghadirkan hiburan menyenangkan. Kesenangan itu sama sekali tidak saya dapat saat menyaksikan "Air Terjun Bukit Perawan". Padahal dengan karakter gadis desa berbaju menerawang, berbikini orange dan tak pernah lupa memakai maskara atau dialog "hantu naik angkot", film ini bisa menjadi guilty pleasure. Oh, dan hati-hati, ternyata trailer-nya spoiler luar biasa, membongkar semua kejutan alurnya.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Wkwkwk yang ini untung dapet rating "jelek" peningkatan :v
BalasHapus