11/01/16

CAROL (2015)

0 View
Secara personal saya menyukai film dengan konten seksual tinggi khususnya bila konten tersebut dimaksimalkan untuk menonjolkan hasrat dan passionate love karakternya. Tapi bukan berarti semua film dengan seksualitas eksplisit mendominasi adalah bagus bagi saya. Eksploitasinya dalam kisah mengenai passion bukan pula sebuah harga mati. Wong Kar-wai pernah membuktikan itu lewat "In the Mood for Love" dimana kentalnya sensualitas hadir melalui tatapan. Nyatanya gairah membuncah dapat dikemas secara elegan oleh Wong. Pendekatan yang dilakukan Todd Haynes dalam adaptasinya untuk novel "The Price of Salt (1952)" karya Patricia Highsmith ini pun serupa. "Carol" adalah film mengenai hasrat dua orang wanita yang membawa penonton ke sebuah ballroom era 50-an berisikan orang-orang rupawan dengan setelan baju mahal, saling bercengkerama sembari memegang segelas wine. 

Ber-setting pada tahun 1952 di Manhattan, perkenalan awal kita dengan karakternya adalah saat Therese Belivet (Rooney Mara) dan Carol Aird (Cate Blanchett) tengah duduk berdua di sebuah restoran, sebelum akhirnya berpisah ketika seorang teman Therese datang menyapa. Kemudian alurnya mundur menuju momen pertama kali keduanya bertemu. Therese tengah berada di toko mainan tempatnya bekerja, dan di ujung ruangan ia melihat Carol yang sedang mencari hadiah natal bagi puterinya. Interaksi awal tak lebih dari sekedar obrolan seorang customer yang meminta saran pada sang penjual. Tapi berawal dari niatan baik Therese mengembalikan sarung tangan Carol yang tertinggal, keduanya pun semakin dekat. Kedekatan itu terjadi pada waktu yang tepat. Therese tengah dirundung keraguan pada hubungannya dengan Richard (Jake Lacy), sedangkan Carol dalam proses perceraian dan berebut hak asuh anak dengan Harge (Kyle Chandler).
"Carol" bukanlah drama eksplisit dalam perspektif manapun. Romansanya tidak dipenuhi letupan ungkapan rasa cinta, dimana kalimat "I love you" pun hanya muncul sekali menjelang akhir. Segala rasa baik kekaguman, cinta atau hasrat dipaparkan tersirat. Minim juga kemesraan gamblang terjalin antara Therese dan Carol, karena penonton mayoritas hanya diajak melihat mereka duduk atau makan sambil diselingi sedikit obrolan. Terdapat satu sex scene pendek yang bagi saya justru akan lebih baik bila ditiadakan. Bukan berarti buruk (hell, it's a sex scene with Cate Blanchett and Rooney Mara!) tapi karena "Carol" adalah tipikal film yang lebih memikat kala eksekusinya makin implisit. Nyatanya saya bisa merasakan kuatnya perasaan satu sama lain, khususnya bagaimana Therese terobsesi (bukan dalam artian buruk) pada Carol. Kunci keberhasilan pertama bersumber dari cara Todd Haynes mengemas adegan. Haynes banyak menggunakan close-up guna menangkap detail ekspresi terlebih pada tatapan mata yang ditujukan kedua karakternya untuk satu sama lain. 

Romantika Carol-Therese semakin elegan ketika kesubtilan bertutur Haynes menyentuh aspek detail. Ada beberapa contoh. Misalnya di adegan pembuka saat Carol pergi meninggalkan Therese. Sebelum pergi ia menyentuh pundak sang gadis, dimana itu juga dilakukan oleh teman pria Therese tak lama kemudian. Tindakan serupa, tapi rasa yang tersalurkan berbeda, begitu pula respon dari Therese. Atau saat keduanya pertama kali makan bersama, yang dimanfaatkan Haynes untuk menegaskan karakterisasi serta peranan masing-masing dalam hubungan. Posisi tubuh Carol lebih "terbuka" dengan cara menatap sedikit mendongak, sedangkan Therese "tertutup" dan lebih banyak menunduk. Hanya dari situ saya dibuat memahami "siapa" mereka berdua. 
Butuh akting mumpuni demi menguatkan sisi emosional dalam adegan subtil macam itu, apalagi saat keheningan mendominasi. Rooney Mara dan Cate Blanchett sama-sama piawai melakoni peranan itu. Tapi dari kesubtilan, Mara punya porsi lebih besar. Therese lebih sering diam menatap Carol atau mengambil fotonya. Namun hanya dari tatapan atau senyum tipis Mara, terpancar kuat kekaguman terpendam Therese. Teruntuk Blanchett, ialah definisi sempurna seorang ratu. Tutur katanya tertata, gerak tubuh contohnya tangan ketika memegang rokok menjadi ayunan gemulai tapi tidak lemah. Carol begitu anggun berkat Blanchett, sehingga tidak aneh saat gadis muda yang masih sulit menentukan langkah macam Therese jatuh hati padanya. Kehebatan sang aktris adalah ketika ia bisa menyuntikkan kerapuhan diantara keanggunan, namun masihlah kerapuhan sesosok wanita tangguh, yang terpampang nyata tatkala tangisan Carol pecah dalam pertemuan membahas hak asuh anaknya. Blanchett terus melontarkan kalimat dalam intensitas emosi tinggi, tapi disaat bersamaan suaranya "pecah" karena tangisan yang sulit dibendung. That scene is amazing!

Kesan elegan bukan hanya ditampakkan oleh hubungan karakter, tapi juga desain kostum, art direction, hingga iringan musik. "Carol" punya kemasan visual paling memikat saat adegannya mengambil setting dalam ruangan berkat pemaksimalan properti dan pemilihan warna. Kelebihan serupa juga nampak pada pemilihan kostum dua tokoh utama yang tidak berlebihan tapi anggun. Sebagai pemerkuat, scoring buatan Carter Burwell dengan dominasi pada nomor jazz, swing dan bentuk-bentuk musik lain memberikan throwback pada pesta ballroom seperti yang telah saya singgung di atas. 

Sayangnya ada satu kelemahan esensial yang menghalangi saya memberikan penilaian lebih. Kelemahan itu terletak pada sisi romantika. Memang kesubtilan emosi selalu terjaga, tapi Todd Haynes terburu-buru mengemas progresi hubungan mereka. Seolah ia merasa "terlalu sabar" dalam membangun awalan, sehingga saat baru mulai berkembang lebih jauh, Haynes langsung memberi turning point pada alur. Kesan mendadak memang efektif memberi shock value, tapi waktu yang dialokasikan supaya dapat menikmati klimaks percintaan karkternya begitu minim. Tapi bahkan dengan cela tersebut, "Carol" masih merupakan romansa elegan berisi intensitas subtil mengenai hasrat terpendam. Namun bukan itu, karena dari sosok Carol yang berjuang atas hak asuhnya atau Therese dengan impiannya sebagai fotografer, terdapat eksplorasi akan sisi independen seorang wanita.

10 komentar :

  1. Anonim2:03 PM

    Paling seneng adalah kameranya selalu nyorot Mara setiap kali Blanchett ngomong. Nangkap ekspresinya yg seolah mengagumi tante-tante demenannya itu dengan passionate. That looks stay forever!

    At least a half star more, please! :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kalo muka kita pas nonton disorot, ekspresinya pasti sama kayak Mara (Pengagum tante-tante)

      Bakal kasih setengah lagi kalau sex scene 2.5 menitnya diganti ngobrol 5-8 menit ngebahas kehidupan persona masing-masing :)

      Hapus
  2. cate blanchett nya naked gak gan disini?*malu
    kalo iya, must see ni film :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada, tapi nggak kelihatan gamblang dan nggak nyampe 3 menit

      Hapus
  3. nonton dimna min

    BalasHapus
  4. baru sempat nonton film ini min..menurut saya film ini radah aneh tdk dijelasin penyebab si theresa suka sesama jenis kalo si carol kan sdh dijelasin...dan juga menurut aku ceritanya lumayan bikin boring min...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Well, karena nggak perlu dijelasin. It's love, that's it :)

      Hapus
  5. suka banget sama filmnya. HUhuhuh :')

    BalasHapus