Our fate is a mystery lies beneath the future. Ketidaktahuan terhadap apa yang telah menanti kita di masa mendatang seringkali berujung rasa cemas. Kita cemas apabila kelak menemukan kesuraman di masa depan. Tapi apakah dengan mengetahui garis nasib itu ketenangan akan menghampiri? Apakah jika jawaban atas misteri masa depan dapat kita ketahui "sebelum waktunya" -dan ternyata berisi keberhasilan- hidup serasa lebih ringan? Tanyakan itu pada Macbeth (Michael Fassbender), titular character dari film hasil adaptasi tragedi karya William Shakespeare -ditulis oleh sang penyair antara tahun 1599 hingga 1606- ini. Sejatinya, Macbeth tak pernah memendam ambisi besar untuk berkuasa, sama seperti ketiadaan hasrat menyibak tabir nasibnya. Dia "hanya" prajurit gagah berani yang memimpin pasukan Kerajaan Skotlandia dalam perang sipil.
Namun ketika perang berhasil dimenangkan, datanglah tiga penyihir menyampaikan ramalam bahwa Macbeth akan diangkat menjadi "Thane of Cawdor" bahkan kelak seorang raja. Meski awalnya kurang percaya, ramalan itu mulai terbukti kebenarannya tatkala Raja Duncan (David Thewlis) menunjuk Macbeth sebagai "Thane of Cawdor", karena pemegang gelar sebelumnya dianggap telah berkhianat. Disaat Lady Macbeth (Marion Cotillard) mendengar ramalan tersebut, ia berusaha meyakinkan sang suami untuk "memenuhi" ramalan lewat rencana pembunuhan terhadap Raja Duncan. Sang raja pun tewas, dan ditunjuklah Macbeth sebagai Raja baru Skotlandia. Alih-alih mendapat ketenangan, ia justru dikuasai rasa takut karena teringat ramalan itu turut menyebutkan putera dari Banquo (Paddy Considine), kelak akan menggantikannya sebagai raja.
Sebagai tragedi, "Macbeth" juga merupakan studi terhadap kegilaan manusia hasil dari ambisi berlebihan. Pengetahuan akan masa depan justru membawa Macbeth jatuh dari kstaria menjadi raja paranoid yang berkuasa dalam tirani. Dihantui rasa bersalah atas tiap nyawa yang telah ia renggut, Macbeth justru semakin banyak melakukan pembunuhan karena takut posisinya dikudeta. Sisi tragedi sesungguhnya bukan datang dari banyaknya kematian atau kejatuhan Macbeth sebagai raja, tapi bagaimana sosok perkasa itu menjadi gila. Selain sering melihat hantu dari mereka yang ia bunuh, Macbeth juga kerap bicara sendiri, bahkan dalam suatu perjamuan. Melihat "Macbeth", menarik rasanya mendapati kisah berusia lebih dari empat abad ini masih relevan mewakili sisi keserakahan manusia zaman sekarang. Tidak hanya bentuk kuatnya observasi Shakespeare, tapi juga bukti bahwa nature manusia tak pernah berubah.
Naskah film ini setia terhadap sumbernya, yang berarti dialog-dialog berisi bahasa sastra lama nan puitis khas Shakespeare tetap dipertahankan. "Come, you spirits that tend on mortal thoughts, unsex me here, And fill me from the crown to the toe top-full of direst cruelty!", begitu ucap Lady Macbeth kala berdoa pada "roh jahat" supaya diberi tuntunan guna memuluskan langkah sang suami menjadi raja. Kalimat di atas indah meski sulit untuk dicerna. Sesunguhnya bukan masalah besar, karena cara bertutur Justin Kurzel cukup kuat menjelaskan suatu momen meski tidak dilakukan secara gamblang dan tetap membutuhkan konsentrasi lebih dari penonton. Andai kesulitan memahami dialog/monolognya, nikmati saja "Macbeth" lewat sisi estetisnya, karena estetika karya seni tidak melulu harus dinikmati (hanya) memakai otak, tapi juga "rasa", yang mana tidak menuntut pemahaman fakta. Cukup rasakan.
Kurzel pun menyesuaikan caranya mengemas adegan dengan rangkaian kalimat puitis milik Shakespeare. Berbekal sinematografi dari Adam Arkapaw, Kurzel mengemas hampir semua adegan menjadi keindahan, bahkan dalam momen tatkala semerbak "aroma" kematian pula kengerian tercium sekalipun. Hal tersebut dapat kita temui pada opening tatkala Macbeth dan Lady Macbeth menguburkan putera mereka, peperangan di awal banyak mengandung "poetic slow-motion" yang berbeda dari gerak lambat stylish ala-Zack Snyder, hingga pertempuran klimaks berisi dominasi warna jingga. "Macbeth" mengingatkan saya pada "Valhalla Rising" karya Nicolas Winding Refn, dimana kebrutalan juga kematian terhampar bak puisi. Tidak hanya indah, atmosfer -khususnya kesan haunting- mampu diperkuat oleh visualnya, selaras dengan kehadiran unsur mistis dalam narasi.
Bahasa yang terdengar "asing" memang memberi jarak antara penonton dengan kandungan emosi, tapi para cast mampu menyuguhkan performa kuat, sehingga "pembacaan puisi" mereka bukan sekedar eksploitasi keindahan kata, tapi terdengar alamiah. Michael Fassbender paling bersinar tatkala Macbeth terjerumus makin jauh kedalam jurang rasa bersalah dan ketakutan. Fassbender menggeram, menggetarkan tubuhnya, seolah memang tengah diselimuti rasa takut luar biasa. Paling penting, sang aktor mampu merepresentasikan transformasi Macbeth, karena perubahan dari "terhormat" menuju "menyedihkan" adalah sisi esensial tokohnya. Sedangkan Cotillard meyakinkan, bak iblis penghasut, begitu mudah menguasai pikiran suaminya. Cotillard juga halus menghantarkan perubahan dalam diri Lady Macbeth. Berbeda dari sang suami, kejatuhannya bukan berujung pada tindakan psychotic, melainkan rundungan duka mendalam.
"Macbeth" adalah kisah tentang bagaimana iblis meracuni pikiran manusia. Namun iblis disini merupa berbagai macam bentuk, bisa sebagai para penyihir misterius, arwah-arwah penasaran atau seorang istri yang menghasut suaminya. Tapi film ini memperlihatkan bahwa iblis menjadi paling mengerikan tatkala ia berasal dari hasrat, yang sejatinya merupakan naluri alamiah milik kita, manusia. Jadi apa sesungguhnya iblis itu tak lain adalah diri kita sendiri? Selama hampir dua jam durasi, "Macbeth" tidak pernah sedikitpun melepaskan cengkeramannya, entah lewat keindahan visual, akting memukau, maupun teror mencekam dari kebrutalan serta tragedi miliknya.
Even, pas jamannya Shakespeare dulu, orang-orang juga ngga begitu terkoneksi sama dialog-dialognya kok... walaupun kadang dialognya yg playful itu kunci dari plotnya (ya macam di Macbeth ini).
BalasHapus2 scene favorit ternyata tetep monolog Tomorrow and Tomorrow and Tomorrow sama openingnya pas para Witch muncul! Selalu mikir: ini pasti cheesy banget kalau di filmin, eh ternyata enggak. Macbeth wins big laaa
Kecuali orang sastra/fans berat Shakespeare yang udah khatam semua play-nya, bohong kalau bilang paham semua dialog. Bangsat Kurzel, adegan penyihir bisa creepy gitu haha
Hapusbarisan dialog yg di paparkan bak puisi yg kadang harus fokus dicerna tapi setuju visual nya indah banget seindah baris puisi meski ada bebrapa yg masih aneh terdengar...
BalasHapusterdengar aneh mungkin karena masih menggunakan ejaan Inggris lama. - seperti kata Rasyid, puisi tragedi ini muncul dalam rentang tahun 1599-1606.
BalasHapustapi memang hebat shakespeare itu, sudah lima abad usia karya ini tapi isi ceritanya nggak basi. naskahnya sudah legendaris. dan kurzel pun mengemasnya dengan apik..
review yang ciamik mas Rasyid. salam kenal.
Karya Shakespeare masih relevan karena dia ambil basic-nya, nggak pakai banyak "pernik" jadi sampai kapanpun nggak basi.
HapusSalam kenal juga, makasih :)