20/01/16

ROOM (2015)

0 View
Kita semua mendambakan kebebasan dalam hidup. Jika anda lontarkan pertanyaan "maukah kamu dipenjara?" saya yakin semua menjawab "tidak" dengan lantang. Tapi benarkah yang didambakan adalah kebebasan? Atau jangan-jangan kita masih buram akan definisi kata "bebas" itu sendiri? Andai diberi pilihan "kebebasan atau kenyamanan" masihkah seseorang bisa dengan lantang memilih opsi pertama? Lagipula bentuk penjara itu bermacam-macam, bukan hanya ruang kecil untuk menahan narapidana. Penjara juga tidak selalu memberikan siksaan. Penjara bisa menawarkan kebahagiaan serta rasa nyaman berkat kemampuannya memenuhi keinginan sang tahanan. Bisa jadi secara tidak sadar kita pun tengah mengurung diri sendiri atau orang lain dalam suatu bentuk penjara. Bisa jadi kita menikmati proses mengurung dan dikurung itu pula.

"Room" garapan Lenny Abrahamson sebagai hasil adaptasi novel berjudul sama karangan Emma Donoghue (juga selaku penulis naskah) ini menawarkan perenungan akan makna "kebebasan" dan "penjara" tadi. Saya tidak bisa menuliskan sinopsis panjang lebar, karena hampir tiap progresi alur berpotensi menjadi spoiler bila dituliskan. Satu-satunya hal yang bisa dituturkan adalah, film ini berkisah tentang Joy (Brie Larson) dan puteranya yang berusia lima tahun, Jack (Jacob Tremblay). Keduanya tinggal di sebuah ruangan kecil, namun lengkap berisikan semua benda untuk kebutuhan sehari-hari. Cukup itu saja yang perlu anda tahu. Saya akan berusaha mengulas "Room" dengan spoiler seminim mungkin, tapi tetap lebih baik jika anda menonton filmnya dulu sebelum membaca lebih lanjut.

Emma Donoghue's script is one of the most innovative screenplay ever. Bukan dalam tataran progresi alur macam "Pulp Fiction" atau "Memento", melainkan oleh caranya menuangkan pemikiran dan filosofi. Ditinjau dari permukaan memang terkesan biasa, sekedar narasi berjalan maju dihiasi letupan emosi disana-sini. Tapi jika ditelaah lebih jauh, dalam tiap aspek cerita -konsep besar tentang tinggal di ruangan sempit, tahap perkembangan psikis karakter, hubungan diantara mereka, momen-momen penyusun keseluruhan alur- semua bermuara pada satu pemikiran: mempertanyakan makna "imprisonment". Kenapa inovatif? Karena Donoghue sanggup membawa filosofi kompleksnya ke ranah realis yang mudah merasuk ke otak dan hati penonton. Tiap bagian punya makna, memancing kontemplasi berkenaan dengan definisi yang dipertanyakan.
Kamar yang ditinggali Joy dan Jack tak hanya kurungan secara harafiah, tapi juga mewakili hal apapun yang mengekang hingga membatasi perspektif akan dunia. Dibagi dalam dua tahap, paruh pertama adalah observasi akan kehidupan dalam kekangan. Semua pasti bersimpati pada oy dan Jack. Tapi memasuki paruh kedua, timbul pertanyaan lebih jauh. Kebebasan telah didapat, tapi apakah sesungguhnya mereka bahagia dengan itu? Disaat ruang kecil yang hakikatnya mengekang justru memenuhi kebutuhan tanpa harus berusaha. Disaat ruang kecil tadi tidak memaksa penghuninya terjun dalam keriuhan keberagaman dunia luar. Atau bahkan pertanyaan lebih mendasar: "benarkah mereka telah bebas?" Karena lagi-lagi Joy dan Jack mesti berhadapan dengan bentuk kurungan lain. Jawaban atas berbagai pertanyaan itu tergantung bagaimana keduanya menghadapi dampak dari kehidupan bertahun-tahun dalam kondisi kebebasan yang direnggut. 

Jack si bocah lima tahun jadi perantara untuk menuturkan hal tersebut. Sejak lahir, Jack tak pernah meninggalkan ruangan itu, sehingga caranya memandang dunia pun berbeda, atau boleh dibilang keliru. Kecoa itu nyata karena sering terlihat di kamar mandi, tapi tidak dengan hiu dan buaya karena tak ada dalam kamar. Jack pun tak percaya adanya lautan. "Bagaimana hal seluas itu bisa muat?" begitu tanyanya pada sang ibu. Bagi Jack, dunia tak lebih dari sebatas kamar tempatnya tinggal, yang mana dia anggap sangat luas pula tak berujung. Jack punya anggapan sempit akan dunia, karena ia sendiri belum pernah menyaksikannya secara menyeluruh. Kehidupannya sebatas dalam kamar sempit. Jika terdengar familiar, karena seperti itu wajah sosial masyarakat dewasa ini.

Sedangkan Joy memiliki problema lain lagi. Dia adalah tahanan, korban dari hasrat manusia untuk berkuasa. Berkuasa atas apa? Apapun. Kita cenderung ingin menjadi eksklusif tidak mau berbagi untuk hal yang dirasa hanya milik kita. Joy korban atas hasrat tersebut. Tapi begitu "Room" memasuki paruh kedua, mencuat pertanyaan baru: Apakah ia juga seorang pelaku pengekangan atas dasar keegoisan untuk menguasai suatu hal? Sadar atau tidak, Joy turut melakukan itu. Emma Donoghue mampu merangkum dengan baik sisi kompleksitas kedua protagonisnya, sembari menuliskan baris demi baris kalimat memikat, khususnya dalam voice over yang sering diucapkan Jack. Bukan sekedar indah, voice over itu juga merepresentasikan secara sempurna isi hati Jack, bocah cilik dengan sejuta pemikiran dalam kepalanya.
Naskahnya luar biasa, namun bukan berarti "Room" hanya memiliki itu. Kemampuan Lenny Abrahamson dalam crafting moment membuat perjalanan film ini penuh dinamika. Banyak berisi kelokan alur, Abrahamson sanggup memberi tamparan bagi ekspektasi saya. Kejutan demi kejutan tak terduga silih berganti muncul, meninggalkan saya dalam kondisi tertegun. Aspek emosi pun terasa dinamis berkat kepiawaian Lenny melakukan build-up untuk tiap momen dramatis. Terdapat sensitifitas pada caranya memperlakukan adegan dan karakter. Lenny tidak asal menaruh karakternya dalam sebuah situasi, tapi paham mengapa sang karakter merasa muak, sedih, bahagia, marah dan lain-lain. Penghantaran adegannya tak buru-buru, sehingga alasan tersebut dapat tersampaikan pada penonton. Akhirnya emosi karakternya bisa tersalurkan.

Brie Larson dan Jacob Tremblay memberi tak hanya penampilan individu memikat, tapi juga kekuatan chemistry. Tidak ada kekakuan seperti yang jamak terjadi kala aktor dewasa dipasangkan dengan aktor cilik. Brie dan Jacob sungguh nampak sebagai ibu dan anak di layar. Brie sebagai damaged mother (and woman) memunculkan secara nyata rasa frustrasi. Joy yang begitu kacau mampu ia hantarkan, termasuk ledakan-ledakan emosi menggetarkan yang membuat saya tersentak. Kemudian Jacob, ia menjauhkan diri dari anggapan bahwa aktor cilik hanya akan tampak menyebalkan jika karakternya banyak berteriak. Jacob mengimbangi sisi eksplosif Jack lewat kepolosan seorang bocah. Di paruh pertama, dia meyakinkan sebagai anak yang clueless akan dunia. Namun paruh kedua adalah pameran akting dalam tingkatan lebih rumit. Jacob lebih banyak diam, tapi bukan bentuk kekosongan, melainkan percampuran kaget, bingung, dan takut. Jacob benar-benar seperti anak yang bertahun-tahun tak pernah melihat apapun kecuali ruang kecil dan sang ibu. 

Tidak peduli berapa ratus ribu atau bahkan juta film telah anda tonton, "Room" tetap akan memberi statement lantang bahwa sinema tak pernah kehabisan cara menyuguhkan hal baru nan unik. Berulang kali saya meneteskan air mata, tapi bukan hanya disebabkan pergolakan emosi adegan dramatis, melainkan juga bersumber dari kekaguman luar biasa atas hasil kolaborasi Lenny Abrahamson dan Emma Donoghue menyuguhkan penelusuran terhadap "imprisonment" ini. "Room" is a masterpiece!

10 komentar :

  1. bintang 5 min gak salah.....
    jadi penasaran..pengen nonton

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nope, cinta banget sama film ini :)

      Hapus
  2. Setuju banget dengan bintang 5 nya. "Room" dan "Inside Out" berhasil mencuri hati di taun 2015, dan jadi TOP 2 buat gue. Oh ya, coba "Anomalisa" deh, lumayan 'nyikut' posisi "Inside Out" dan sangat "manusia" untuk sebuah animated-film menurut gue

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum berani nonton "Anomalisa", english sub-nya belum nongol hehe

      Hapus
  3. Wih perfect bgt. Penasaran jadinya.

    BalasHapus
  4. Karena bukunya juga bagus bangeeet

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, tergoda baca bukunya juga :)

      Hapus
  5. asli setelah menontonnya bikin nangis hahaha.
    salah satu pengalaman menonton film paling menyedihkan sekaligus bikin terharu..

    BalasHapus
  6. Pemaparan psikologi yg sngat kuat dan unik ,,bener2 stuju utk ratingnya,tapi mnyisakan 1 prtnyaan bgi saya,apa ltar belakang si kakek gk memperlihatkan kasih sayangny kpada joy, dan apakah bener2 joy membenci ayahnya yg scara satir ducapkanya pas adegan wawancara tsb...overall mgkin jawabanya tersirat scara explisit dan emang gk perlu d jelaskan dalam ceritanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang nggak dia sayang itu si Jack, dan itu wajar. Bayangkan seorang ayah mendapati cucunya adalah darah daging seorang pria yang nyulik & memperkosa puteri kesayangannya. Pasti ada rasa nggak terima kan?

      Hapus