Pada hari Sabtu (13/2/2015) saya baru menyaksikan A Copy of My Mind untuk kedua kalinya (pertama di JAFF 2015) dan perasaan yang tertinggal masih sama: jatuh cinta. I'm in love with that movie dan masih berencana menontonnya sekali lagi minggu depan. Jatuh cinta ini bukan hanya terhadap filmnya, tapi kepada film Indonesia secara keseluruhan. Kredit bergulir, saya duduk terdiam. Sejenak ingatan kembali terlempar menuju kurang lebih lima tahun lalu. Waktu itu, jujur rasa apatis terhadap perfilman tanah air masih sangat besar. Di tengah dominasi horror seks berkualitas buruk kala itu, saya tidak menemukan alasan menonton film lokal di bioskop. Hingga terjadilah "perkenalan" dengan karya-karya Joko Anwar.
Sebelum itu nama Joko Anwar hanya saya kenal lewat foto telanjangnya di Circle-K (dia menyangkal, katanya pakai kaus kaki), tapi belum pernah menonton filmnya. Berawal dari keisengan browsing, muncul ketertarikan setelah membaca sedikit ulasan mengenai film-filmnya yang (katanya) high concept, inovatif, dan jauh berbeda dibandingkan sajian lokal kebanyakan. Segeralah saya melesat ke warnet terdekat, meng-copy bajakan Pintu Terlarang, Kala dan Janji Joni. Ya, bajakan (we'll get into that later). Singkatnya, dalam waktu semalam saja persepsi saya berubah. Memang ketiga film di atas jauh dari sempurna -banyak plot hole dan narasi tertatih karena konsep fantastis- tapi cukup menampar saya, menyadarkan masih ada (bahkan banyak) sineas Indonesia bertalenta.
Kembali ke masalah bajakan, pada masa itu memang malas rasanya menonton film Indonesia di bioskop, di mana hanya tiga judul saja yang sebelumnya saya tonton: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Get Married 2. Ketiga film Joko perlahan membuka mata, dan membulatkan tekad mencoba menonton film Indonesia. Meski belum banyak, saya mulai menemukan berbagai "harta karun", termasuk film keempatnya, Modus Anomali. Sejauh ini, Modus Anomali adalah film terlemah Joko, tapi jauh dari kata jelek (saya masih rela menontonnya dua kali), dan memperkuat rasa suka (belum cinta) akan film tanah air. Lalu saya putuskan mengikuti Joko di akun twitter-nya (@Jokanwar). Dari sinilah rasa suka tadi berkembang menjadi cinta.
Ocehan Joko di akunnya itu bervariasi. Terkadang membahas hal "santai" tentang film, problematika sosial-politik di Indonesia, kisah personalnya, sampai "kultwit" mengenai dunia film. Dua hal terakhir itu akhirnya banyak memberikan pengaruh pada sudut pandang, movie life, bahkan kehidupan secara personal. Joko sering mengkritisi banyak hal, khususnya masalah jumlah layar di sini hingga kualitas film Indonesia (terutama di sisi naskah). Celotehannya sering memberi tamparan, tapi di saat bersamaan memunculkan harapan (pokoknya kalau sudah keluar kata "bayangkan"). Lambat laun muncul kesadaran, dan terhitung pertengahan 2014 memutuskan mulai rutin menonon film lokal -yang berkualitas- di bioskop. Alhasil, semakin banyak saya menemukan tontonan bagus dan bertambah akut kecintaan terhadap karya sineas Indonesia.
Teruntuk kehidupan pribadi, mengikuti kisah awal mula "terbentuknya" Joko Anwar yang sekarang selalu memberi lecutan besar untuk mengejar impian. Sekedar info tambahan, Joko Anwar tidak langsung memulai karirnya sebagai sutradara. Berawal dari Joko kecil yang doyan menonton bioskop diam-diam lewat sebuah lubang, bekerja sebagai wartawan dan tiap pagi harus nongkrong di kantor polisi untuk mengejar berita, menjadi kritikus di The Jakarta Post, pertemuan dengan Nia Dinata yang berujung pada naskah Arisan, hingga akhirnya berkesempatan membuat Janji Joni. Passion dan kecintaannya pada film membawanya sampai ke tingkatan ini, dan hal itu pun nampak jelas pada tiap karyanya.
Poin dari tulisan ini bukanlah ajakan menyukai karya Joko Anwar. Sama sekali bukan. Lebih dari itu, ajakan mencintai film Indonesia. Cobalah mulai sempatkan waktu lebih banyak menonton film lokal di bioskop. Lagipula beberapa jaringan bioskop menyediakan HTM lebih murah untuk film Indonesia, sekitar 20 ribu pada weekdays. Anda bisa mengikuti cara saya dengan menengok filmografi sutradara-sutradara lain yang hingga kini masih aktif seperti Angga Dwimas Sasongko, Ismail Basbeth, Ifa Isfansyah, Garin Nugroho, Hanung Bramantyo, Mouly Surya dan masih banyak lagi. Semoga seperti saya, dari situ kecintaan anda terhadap perfilman tanah air bisa tumbuh.
Foto di atas diambil saat pemutaran A Copy of My Mind di JAFF (Jogja Asian Film Festival) 2015. Bersama dua senior (baca: movie reviewer berusia lebih tua) Rangga Adithia (raditherapy) dan Taufiqur Rizal (Cinetariz) kami sempat sejenak bertegur sapa dengan Joko. Sayangnya saat itu tidak sempat terucap rasa terima kasih. Lewat tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas semua karya-karya berkualitasnya. Terima kasih telah membuka mata untuk mencintai film Indonesia.
Sedikit tambahan, kurang lebih begini urutan film Joko Anwar favorit saya:
A Copy of My Mind > Kala > Pintu Terlarang = Janji Joni > Modus Anomali
Saya masih blm sempet nonton film a copy of my mind karna disini cuma satu bioskop yg muter film itu dan itu jarak nya lumayan jauh dari tmpt tinggal saya
BalasHapusSemoga dapet kesempatan nonton ya :)
HapusBaru banget tadi maghrib mulai ngetik sedikit tentang what I feel abis nonton a copy of my mind, terus kutinggal bikin panduan latihan, eh barusan liat tulisanmu inii bbrp hal ada yang mirip sama yang mau kuketiik xDD
BalasHapusdan bravo buat perfilman Indonesia di awal tahun inii x)))
Spread the words ya kalo suka ACOMM. Kalo bisa sampai 150 ribu penonton aja udah alhamdulillah deh :)
HapusIya, awal tahun yang menyenangkan ini. Akhir bulan ada "Jingga" pula
waaah jingga bulan ini jg? hadeuuuh mesti nabung banyak2 ini kayaknya tahun inii x))
HapusYap, tanggal 25 Februari :)
Hapussaya bingung gan, soalnya A Copy of Mind ini sialnya bersamaan dengan jadwal tayang Deadpool, which is the most anticipated movie in February for me. sialnya lagi budget terbatas.. hal yg buat saya ragu juga ACoM bakal banyak kena sensor..
BalasHapuskalo boleh sharing, film terbaik Joko Anwar bagi saya tetap Pintu Terlarang.. one of my favorite movie
Oh enggak kok. Cuma ada dua adegan kena sensor zoom mirip 'Deadpool', keduanya adegan komedik yang "nggak terlalu" mempengaruhi keseluruhan film. 'Deadpool' masih bakal tayang awal Maret kok haha
HapusSemua film Joko (kecuali 'Modus Anomali') memang ada di tingkatan atas yang sama kok :)
Setuju supaya kita sebagai orang Indonesia udh bisa lebih menghargai karya anak bangsa, salah satunya ke bioskop nonton film Indonesia.. Tapi kadang kesel juga karena film Indonesia kelihatannya "gampang banget" masuk TV.. Baru beberapa bulan di bioskop ehh udh tayang di TV (apalagi kalo udh masuk masa-masa liburan) yang buat banyak orang berpikir "ngapain nonton film Indonesia ke bioskop,toh ngga lama lagi udah ditayangin di tv kok"
BalasHapusYaah komentar macam gitu pasti datang dari mereka yang jarang atau bahkan nggak pernah nonton di bioskop. Yang sering pasti tahu perbedaan sensasi dan kekejaman sensornya :D
Hapus