"Dasar anak zaman sekarang!" Selorohan tersebut tentu sudah tidak asing lagi di telinga dan biasanya merujuk pada tingkah laku muda-mudi yang dirasa kurang baik oleh generasi di atas mereka. Masa remaja memang dipenuhi keliaran, kenakalan, bahkan seringkali pemberontakan. Bagaimana sikap tersebut muncul para orang tua hanya bisa "garuk-garuk kepala". Terjadi "pemberontakan tanpa sebab" yang dianggap sebagai manifestasi gejolak darah muda. Salah satu karakter dalam film ini sempat berucap bahwa tingkah itu dikarenakan usia remaja adalah masa ketika tak ada satu pun hal di dunia ini dirasa cocok oleh seorang anak. Mudahnya, "they're an asshole because that's what they are". Benarkah hanya itu?
"Rebel Without a Cause" membuka kisahnya dalam setting kantor polisi saat Jim Stark (James Dean), Judy (Natalie Wood) dan Plato (Sal Mineo) ditangkap dengan alasan berbeda-beda. Jim ditemukan tengah mabuk di pinggir jalan, Judy berjalan di malam hari sambil memakai riasan tebal dan pakaian mencolok, sedangkan Plato baru menembak anak anjing menggunakan pistol milik sang ibu. Mudah mengkategorikan mereka sebagai anak nakal, tapi anggapan itu berubah begitu ketiganya menceritakan kondisi di rumah masing-masing. Semua masalah tadi sesunggunya memiliki benang merah, yakni kurangnya perhatian orang tua. Setelah itu kisahnya membawa penonton mengarungi mengamati kenakalan tokohnya sekaligus kehidupan pribadi mereka selama 24 jam ke depan.
Melalui naskah buatannya, Stewart Stern meneriakkan suara kemarahan remaja tanpa sekalipun memupuk glorifikasi pada free lifestyle nihilistik yang kerap dimunculkan banyak teen movie masa sekarang. Poin ini terpancar dari penokohan ketiga karakter utamanya. Tentu mereka nakal, sering pula membangkang, tapi Stern bukan menekankan pada hasrat ketiganya untuk bebas namun harapan mendapat cinta. Pendekatan itu memudahkan penonton membangun ikatan pada karakter berkat adanya paralel antara perasaan mereka dengan kita. Karena semua orang pernah muda, dan anak muda ingin mendapat kasih sayang. Maka sewaktu di hadapan kedua orang tuanya yang tengah bertengkar Jim berteriak "You're tearing me apart!", teriakan itu seolah mewakili ungkapan rasa terpendam milik kita semua.
Paparan kisah mengeksplorasi gesekan antar-generasi sebagai pemicu utama konflik anak dan orang tua. "Rebel Without a Cause" jadi penggambaran bahwa dua generasi berbeda memang tidak ditakdirkan untuk memiliki kesamaan sudut pandang. Dalam kasus film ini, orang tua urung meluangkan perhatian lebih atau memahami pola pikir anak mereka, sehingga akhirnya tersulut konflik. Memang terkesan lebih membela sisi remaja, tapi bukan jadi soal karena film ini murni usaha mewakili suara mereka, bukan studi kasus bersudut pandang netral. Lagipula tidak ada niatan dari filmnya melakukan generalisasi bahwa orang tua selalu salah dan sang anak benar. Konfliknya hanya mengambil sample dalam beberapa keluarga di mana hal itu bertempat.
Semakin kuat pula status "Rebel Without a Cause" selaku ikon bagi remaja berkat karakter Jim Stark. Sosoknya pendiam dan lebih memilih berkeliaran sendiri sebagai akibat tekanan permasalahan di rumah. Namun Jim bukan pemuda lemah. Dia hanya memilih sebisa mungkin jauh dari permasalahan, tapi bukan berarti ia takut melawan para "pengganggu" -and he's really good at it. Pastinya pesona James Dean tak bisa dilepaskan dari keberhasilan Jim menjadi tokoh ikonik. "Rebel Without a Cause" adalah main role kedua Dean -total ia bermain sebagai lead role dalam tiga film- sekaligus mengabadikan namanya di dunia perfilman. Cara bertutur penuh kharisma ditambah luapan emosi menggetarkan, membuat Jim Stark tak hanya idola kaum wanita tapi juga sosok idela harapan banyak pria. Sayang, andai Dean tidak meninggal di usia muda (24 tahun, sebulan sebelum film ini rilis) bisa saja dia menjadi "another Marlon Brando".
Hanya berlangsung selama satu hari satu malam justru makin menguatkan esensi film mengenai kegilaan para remaja. Bayangkan, hanya dalam kurang lebih 24 jam sudah begitu banyak hal (baca: tragedi) mereka lalui. Kisahnya padat, ditambah lagi Nicholas Ray selaku sutradara mampu mengemas beberapa sequence yang sebenarnya predictable jadi suguhan ketegangan demi ketegangan, meski hal ini tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa kita sudah menyimpan kepedulian besar pada tokoh-tokohnya. Hingga lebih dari 60 tahun pasca perilisannya, "Rebel Without a Cause" masih tetap dan akan selalu relevan mewakili situasi sosial masyarakat suatu zaman. Karena sampai kapanpun remaja beserta konflik antar-generasi pada dasarnya selalu serupa.
East of Eden ama Giant review juga dong
BalasHapusTerlalu banyak nge-review film James Dean bahaya, bisa naksir :D
HapusHore, akhirnya ngereview film jadul lg. Ditunggu film jadul lainya. Pasti review film ini persiapan awal sblm review Life (2015)
BalasHapusMulai coba meluangkan review film jadul lagi sekarang. "Life" udah nonton lama sebenernya, cuma nggak sempat review aja :)
Hapus