Sutradara Hideo Nakata kembali
menahkodai film Ring setelah The Ring Two 14 tahun lalu, atau 20
tahun sejak Ring 2 saat ia kali
terakhir terlibat dalam versi Jepangnya, hanya untuk melahirkan installment terburuk dari seri adaptasi
novel Koji Suzuki ini. Sadako adalah
penyiksaan yang bahkan lebih menyakitkan dibanding Sadako 3D (2012) dan Rings (2017).
Sudah saatnya sumur tua sarang si hantu wanita ditutup selamanya.
Kali ini protagonisnya adalah Mayu
(Elaiza Ikeda), konselor yang bertugas merawat seorang gadis misterius (Himeka
Himejima). Gadis itu mengalami amnesia setelah selamat dari kebakaran di
rumahnya, yang menurut polisi, dibuat oleh ibunya sendiri. Tapi melalui adegan
pembukanya, kita tahu ada campur tangan hantu Sadako dalam tragedi tersebut. Sang
ibu percaya bahwa gadis itu merupakan reinkarnasi Sadako.
Sementara itu, adik Mayu, Kazuma
(Hiroya Shimizu), yang berambisi menjadi selebriti internet, nekat membuat
video penelusuran horor di lokasi kebakaran. Secara tidak sengaja, Kazuma merekam
penampakan Sadako, sehingga video itu pun viral. Berbagai misteri pun timbul, banyak
pertanyaan muncul, salah satunya, “Mau dibawa ke arah mana cerita film ini???”.
Naskah buatan Noriaki Sugihara yang
sebelumnya menggarap Sadako 3D 2 (2013)
bagai dibuat sambil mabuk oleh seorang penderita amnesia. Tanpa arah, tanpa
konsistensi, bahkan menetapkan “aturan” mengenai modus operandi Sadako saja tak
mampu. Sadako di sini bisa mendadak datang di mana saja jika dipanggil oleh si
gadis misterius, sempat pula keluar dari televisi sebagaimana ciri khasnya,
atau muncul dari sungai dalam gua ketika bulan purnama.
Konsep video kutukan harus diakui memang
sudah basi. Itu sebabnya Sadako 3D juga
Rings berusaha melakukan modernisasi
dengan memindahkan media ke internet, yang justru cuma menambah kekonyolan. Tapi
Noriaki seolah “malu-malu anjing”. Dia ingin merombak, namun enggan total
mendobrak. Alhasil jadilah inkonsistensi di atas, ditambah modifikasi
asal-asalan yang cenderung membingungkan soal penyebaran kutukan melalui video online.
Sadako memang membingungkan, kala konsep sederhana dikemas
berantakan, pun urung didukung eksplorasi solid. Berulang kali Noriaki menawarkan
suatu ide, lalu kebingungan hendak membawanya ke mana. Sebutlah satu lagi
modifikasi yang film ini terapkan, yakni soal masa lalu Sadako dan sang ibu,
yang pernah dikupas Ring 0: Birthday (2000).
Selaku pembeda, Noriaki menambahkan unsur okultisme, memperumit cerita,
kemudian tersesat sendiri dalam benang kusut ciptaannya.
Mungkin Sadako seberantakan itu, atau mungkin saya terlanjur malas memutar
otak akibat cara bertutur yang membosankan. Ketika naskahnya mengorbankan
kuantitas teror demi jalinan drama plus misteri seperempat matang, lambatnya
pergerakan alur makin memperburuk keadaan. Nakata boleh mematenkan penceritaan
pelan khas J-Horror kala
menyutradarai Ring (1998), tetapi di
sini, ia sekadar menggulirkan kisah sepelan mungkin namun nihil atmosfer
mencekam.
Membosankan, melalahkan. Apalagi
sekalinya Nakata memunculkan Sadako, sang sutradara makin menjerumuskan sang
hantu ikonik ke jurang olok-olok. Semoga beruntung menahan tawa di klimaks,
kala Sadako dan beberapa karakter saling tarik-menarik tanpa tenaga seperti belum
makan berhari-hari. Ketimbang mengerikan, Sadako hanya setan wanita berambut
panjang menggelikan yang merangkak bak cicak, mati-matian menggapai kejayaan
masa lalu yang hilang tak berbekas. Saya merindukan tontonan bodoh menyenangkan
seperti Sadako vs. Kayako (2016).
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya jadi merasa beruntung pas screening kemarin gagal nonton...
BalasHapusHaha iya, gagal screening eeh malah nonton bayar dan busul
HapusUntung gak keburu mampir ke cgv. Btw barusan bahasan Mas Rasyid n Arya ttg Bali : Beats of Paradise tayang di Q&A Metro. Mantab !
BalasHapusMayan lha nambah-nambah followers twitter 😂
HapusGak review 67 meters uncaged???
BalasHapus