01/09/19

SADAKO (2019)

0 View
Sutradara Hideo Nakata kembali menahkodai film Ring setelah The Ring Two 14 tahun lalu, atau 20 tahun sejak Ring 2 saat ia kali terakhir terlibat dalam versi Jepangnya, hanya untuk melahirkan installment terburuk dari seri adaptasi novel Koji Suzuki ini. Sadako adalah penyiksaan yang bahkan lebih menyakitkan dibanding Sadako 3D (2012) dan Rings (2017). Sudah saatnya sumur tua sarang si hantu wanita ditutup selamanya.

Kali ini protagonisnya adalah Mayu (Elaiza Ikeda), konselor yang bertugas merawat seorang gadis misterius (Himeka Himejima). Gadis itu mengalami amnesia setelah selamat dari kebakaran di rumahnya, yang menurut polisi, dibuat oleh ibunya sendiri. Tapi melalui adegan pembukanya, kita tahu ada campur tangan hantu Sadako dalam tragedi tersebut. Sang ibu percaya bahwa gadis itu merupakan reinkarnasi Sadako.

Sementara itu, adik Mayu, Kazuma (Hiroya Shimizu), yang berambisi menjadi selebriti internet, nekat membuat video penelusuran horor di lokasi kebakaran. Secara tidak sengaja, Kazuma merekam penampakan Sadako, sehingga video itu pun viral. Berbagai misteri pun timbul, banyak pertanyaan muncul, salah satunya, “Mau dibawa ke arah mana cerita film ini???”.

Naskah buatan Noriaki Sugihara yang sebelumnya menggarap Sadako 3D 2 (2013) bagai dibuat sambil mabuk oleh seorang penderita amnesia. Tanpa arah, tanpa konsistensi, bahkan menetapkan “aturan” mengenai modus operandi Sadako saja tak mampu. Sadako di sini bisa mendadak datang di mana saja jika dipanggil oleh si gadis misterius, sempat pula keluar dari televisi sebagaimana ciri khasnya, atau muncul dari sungai dalam gua ketika bulan purnama.

Konsep video kutukan harus diakui memang sudah basi. Itu sebabnya Sadako 3D juga Rings berusaha melakukan modernisasi dengan memindahkan media ke internet, yang justru cuma menambah kekonyolan. Tapi Noriaki seolah “malu-malu anjing”. Dia ingin merombak, namun enggan total mendobrak. Alhasil jadilah inkonsistensi di atas, ditambah modifikasi asal-asalan yang cenderung membingungkan soal penyebaran kutukan melalui video online.

Sadako memang membingungkan, kala konsep sederhana dikemas berantakan, pun urung didukung eksplorasi solid. Berulang kali Noriaki menawarkan suatu ide, lalu kebingungan hendak membawanya ke mana. Sebutlah satu lagi modifikasi yang film ini terapkan, yakni soal masa lalu Sadako dan sang ibu, yang pernah dikupas Ring 0: Birthday (2000). Selaku pembeda, Noriaki menambahkan unsur okultisme, memperumit cerita, kemudian tersesat sendiri dalam benang kusut ciptaannya.  

Mungkin Sadako seberantakan itu, atau mungkin saya terlanjur malas memutar otak akibat cara bertutur yang membosankan. Ketika naskahnya mengorbankan kuantitas teror demi jalinan drama plus misteri seperempat matang, lambatnya pergerakan alur makin memperburuk keadaan. Nakata boleh mematenkan penceritaan pelan khas J-Horror kala menyutradarai Ring (1998), tetapi di sini, ia sekadar menggulirkan kisah sepelan mungkin namun nihil atmosfer mencekam.

Membosankan, melalahkan. Apalagi sekalinya Nakata memunculkan Sadako, sang sutradara makin menjerumuskan sang hantu ikonik ke jurang olok-olok. Semoga beruntung menahan tawa di klimaks, kala Sadako dan beberapa karakter saling tarik-menarik tanpa tenaga seperti belum makan berhari-hari. Ketimbang mengerikan, Sadako hanya setan wanita berambut panjang menggelikan yang merangkak bak cicak, mati-matian menggapai kejayaan masa lalu yang hilang tak berbekas. Saya merindukan tontonan bodoh menyenangkan seperti Sadako vs. Kayako (2016).

6 komentar :

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Saya jadi merasa beruntung pas screening kemarin gagal nonton...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha iya, gagal screening eeh malah nonton bayar dan busul

      Hapus
  3. Untung gak keburu mampir ke cgv. Btw barusan bahasan Mas Rasyid n Arya ttg Bali : Beats of Paradise tayang di Q&A Metro. Mantab !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mayan lha nambah-nambah followers twitter 😂

      Hapus
  4. Gak review 67 meters uncaged???

    BalasHapus