Bayangkan ada orang asing memasuki
rumahmu, memakan makananmu, menjadikan anakmu anaknya, meniduri istrimu, lalu
berkata, “Ayo hidup bersama”. Kiasan itu dipakai Hwang Hae-cheol (Yoo Hae-jin),
seorang ahli pedang anggota pasukan kemerdekaan Korea, guna menggambarkan
kemarahannya terhadap para penjajah dari Jepang. Kemarahan itulah, yang menurut
The Battle: Roar to Victory, menyulut
semangat perlawanan, yang membuat rakyat sipil bersedia angkat senjata, terjun
ke medan pertempuran.
Mengambil latar tahun 1920,
tepatnya hari-hari jelang Pertempuran Fengwudong, filmnya memposisikan
Hae-cheol sebagai sentral cerita. Saat kecil, ia menyaksikan adiknya tewas
akibat granat pasukan Jepang, dan kini ia memimpin pasukannya sendiri, yang
terdiri atas mantan bandit, mantan nelayan, atau mantan petani, menjalankan
misi mengirimkan sejumlah uang untuk menyokong perjuangan kemerdekaan.
Sampai ia bertemu Jang-ha (Ryu
Jun-yeol), komandan pasukan muda sekaligus penembak jitu, yang dahulu pernah
jadi anak didiknya. Hae-cheol pun tergerak membanu Jang-ha yang tengah mengemban
misi memancing pasukan elit Jepang yang dipimpin seorang letnan satu bengis
(Kazuki Kitamura), ke pegunungan Bongo-dong. Di sanalah rencananya bakal
dilakukan penyergapan oleh pasukan Korea.
The Battle: Roar to Victory punya segalanya untuk jadi film
pemancing gelora nasionalisme, namun ketimbang mengedepankan humanisme, naskah
buatan Chun Jin-woo (The Hunt) justru
terjebak dalam kekacauan penceritaan. Nama-nama baru terus muncul, begitu pula beragam
misi dan fakta yang silih berganti mengisi narasi tanpa memberi cukup
kesempatan bagi penonton memahaminya satu demi satu. Membingungkan, koneksi
emosi terhadap karakternya pun makin sulit terbentuk.
Bukan berarti filmnya sepenuhnya
melupakan presentasi drama, sebab selain paparan luas mengenai perjuangan
rakyat Korea, secara khusus terdapat banyak subplot seperti usaha Jang-ha
mencari kakak perempuannya, nasib tragis gadis cilik bernama Choon-hee (Lee
Jae-in) yang kehilangan semua keluarga pasca penyerbuan pasukan Jepang ke
desanya, hingga proses Yukio (Kotaro Daigo) si prajurit muda Jepang yang
menyadari kekejaman bangsanya sendiri selama menjadi tawanan Hae-cheol.
Sayang, akibat penuturan setengah
matang, tak satu pun elemen di atas sanggup menggugah perasaan. Kisah soal
Choon-hee maupun Yukio berakhir begitu saja tanpa penebusan berarti pada
konklusi, sedangkan Jang-ha kurang mendapat eksplorasi guna dapat memancing
simpati. Naskahnya kesulitan membagi fokus, bahkan seringkali muncul kesan
bahwa Hae-cheol selaku protagonis justru menghalangi potensi berkembangnya
kisah lain, di saat ia sendiri tak memiliki story
arc menarik.
Yoo Hae-jin mampu menghidupkan
ketangguhan Hae-cheol si prajurit tanpa rasa takut yang gemar memasang sikap “peduli
setan”, tapi dia tak dianugerahi cukup kharisma guna memanggul beban pemeran
utama. Hae-jin, yang selama ini memang identik dengan peran pendukung, belum
punya kapasitas protagonis. Dia bahkan gagal membakar semangat dalam satu momen
kala Hae-cheol berorasi di depan pasukannya. Kekurangan ini semakin kentara
ketika filmnya memperkenalkan cameo mengejutkan
dari seorang bintang besar penuh wibawa jelang akhir.
Beruntung, The Battle: Roar to Victory memiliki senjata pamungkas berupa
sekuen aksi. Berlatarkan lokasi-lokasi lapang seperti padang rumput maupun
bentangan pegunungan, bentrokan pasukan Korea melawan Jepang dimanfaatkan sutradara
Won Shin-yun (Seven Days, The Suspect)
sebagai ajang memamerkan kemampuan staging-nya,
mengorkestrasi kerusuhan berskala besar menjadi tontonan kompleks yang tertata
rapi. Apalagi ditambah elemen kekerasan berdarah yang mewakili horor medan
perang, gelaran aksi film ini makin memikat.
Ditangani oleh Kim Young-ho,
sinematografinya berhasil menerjemahkan visi sang sutradara akan sebuah pertempuran
masif, saat kameranya banyak menerapkan wide
shot guna menggambarkan bentangan luas lokasinya, bergerak dinamis menyapu
seluruh lanskap, sambil sesekali menggunakan single take demi menguatkan intensitas serta realisme. Bagi film
yang mengedepankan kata “battle” pada
judul, kesuksesan merangkai pertarugan secara memikat sudah cukup memberi obat
penawar atas setumpuk kelemahannya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar