Diangkat dari artikel bertajuk The Hustlers at Scores buatan Jessica Pressler
yang dipublikasikan majalah New York pada 2015, Hustlers membungkus feminisme dalam sampul bernama keluarga yang
memayungi wanita-wanita bermental baja. Kata “keluarga” memegang kunci. Hustlers mampu memilah, mana perjuangan
yang didorong keinginan saling membantu sebagai satu “keluarga”, mana yang
semata hasutan keserakahan dan kemarahan.
Perspektif di atas patut dirayakan,
sebab kisahnya berjalan di area ambigu kriminalitas. Sedikit saja salah
melangkah, tercipta justifikasi atas nama empowerment.
Tapi sutradara sekaligus penulis naskah Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) tidak
buru-buru memaparkan elemen kriminalnya. Terlebih dulu kita diajak menilik
latar belakangnya, melalui sudut pandang Destiny (Constance Wu) yang tengah
diwawancarai oleh jurnalis bernama Elizabeth (Julia Stiles) pada 2014.
Mundur menuju tujuh tahun sebelumnya,
Destiny baru memulai karir sebagai penari telanjang di Moves, klub yang akan membuat pecinta musik kegirangan karena di situlah nama-nama seperti Cardi B, Lizzo, sampai Usher muncul dalam peran singkat namun berkesan. Dituntut
membiayai hidup neneknya (Wai Ching Ho), Destiny justru kesulitan memperoleh
uang akibat belum menguasai teknik memikat pelanggan. Beruntung ia berkenalan
dengan Ramona Vega (Jennifer Lopez) sang primadona, yang dimintanya berbagi
ilmu. Berawal dari hubungan tutor-murid, perlahan tumbuh persahabatan.
Selain ajang unjuk gigi kepiawaian Jennifer
Lopez yang berlatih pole dance selama
2,5 bulan sebelum proses produksi, sekuen di mana Ramona pertama kali mengajari
Destiny menari juga memperlihatkan sensitivitas Scafaria terkait penerjemahan
rasa ke dalam adegan. Ketimbang musik dansa elektronik, alunan komposisi bak
musik klasik dari dentingan piano justru dipakai. Pole dance di klub yang biasanya identik dengan seksualitas
dipancarkan keindahan estetikanya, sebagaimana jajaran karakternya yang merobohkan
stigma negatif profesi penari telanjang.
Pernah menulis naskah Nick & Norah’s Infinite Playlist (2008)
yang menjadikan musik selaku elemen penting serta pernah merilis album musik,
Scafaria terbukti handal perihal mengawinkan departemen audio dan visual. Di adegan
yang menggambarkan mimpi buruk Destiny, sang sutradara memilih mematikan semua
suara kecuali iringan piano bertempo tinggi untuk membangun intensitas yang
mengingatkan pada film-film bisu di masa lalu. Pun siapa sangka lagu Royal milik Lorde bisa mengangkat kesan
dramatis sebuah peristiwa, menjadikannya suatu pemandangan monumental.
Kembali ke cerita, berkat bimbingan
Ramona, Destiny berhasil mengumpulkan uang, sampai krisis ekonomi 2008 menerpa.
Para pelanggan kaya menghilang, Moves menderita kesulitan finansial, memisahkan
Destiny dan Ramona. Sempat mencoba melakukan pekerjaan lain, Destiny yang telah
menjadi ibu tunggal memilih kembali ke dunia malam di Moves. Tapi kondisi telah
berubah. Pekerja di sana diisi para imigran Rusia yang bersedia melakukan oral
seks (praktek yang sebelumnya dilarang) hanya demi $300.
Kecerdikan Scafaria menarik garis antara peristiwa nyata dengan pesan
tentang gender yang ingin disampaikan nampak di sini. Pria-pria pengunjung
peminta blow job ibarat pelaku
perbudakan yang ingin mengambil keuntungan dari kesusahan wanita-wanita
pekerja, sedangkan Destiny mewakili wanita yang menolak diperbudak. Nantinya
turut diungkap bahwa alasan para pria korban trik Destiny dan Ramona (trik
macam apa akan saya bahas) menolak melaporkan ke polisi adalah karena malu
telah menjadi korban wanita. Harga diri hasil kebanggaan maskulinitas mereka
terlampau tinggi, hingga berujung kebodohan.
Tapi Hustlers bukan tuturan dangkal hitam-putih yang membenarkan seluruh
perbuatan karakter wanitanya sembari menggambarkan mereka sebagai sosok
sempurna dan membuat semua pria terlihat buruk. Untuk mengulik itu, perlu kita
tengok dulu bagaimana Destiny dan Ramona bereuni. Bertemu kembali setelah
sekian lama, Ramona menawarkan metode penimbun uang baru. Bersama penari lain,
Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), Ramona berburu pria kaya yang
bersedia digoda, memberi minuman berisi campuran ketamin dan MDMA guna
menghilangkan memori serta kesadaran, lalu menguras kartu kredit mereka.
Destiny beredia ikut serta.
Hustlers pun beralih menyentuh genre heist yang dikemas menyenangkan, khususnya karena Scafaria tahu
jika Hustlers sedang merambah sisi
hiburan miliknya. Beberapa sentuhan komedi dengan ketepatan timing efektif menyegarkan suasana.
Penonton pun bisa lepas tertawa, sebab korban yang dipilih protagonisnya
merupakan pria-pria kaya hidung belang. Pun kelak, kejatuhan mereka dipicu
kesalahan memilih korban akibat keserakahan yang tak terkontrol, menegaskan
bahwa film ini bukan empowerment yang
“buta”.
Bukannya penceritaan Hustlers nihil cela. Memasuki titik
balik di mana hubungan kekeluargaan karakternya mulai menemui
benturan-benturan, seolah ada keping kisah yang hilang, ada fase transisi yang
dilewati demi mempercepat progresi alur. Pun metode non-linear yang diterapkan
tidak sepenuhnya berlangsung mulus. Meski menampilkan keterangan latar tahun,
pertanyaan-pertanyaan seputar “Kapan pastinya suatu hal terjadi? Sebelum atau
setelah peristiwa ‘A’?”, dan sebagainya.
Beruntung lubang narasi di atas
bisa ditutupi kesuksesan Scafaria mengolah rasa. Baik penulisan dialog maupun
pengadeganannya dibuat dengan hati, yang terpampang nyata dalam pemandangan
emosional di depan kantor polisi, yang kekuatannya dibangun berdasarkan kalimat
“motherhood is a mental illness”. Constance
Wu yang sejak Crazy Rich Asians tahun
lalu mencapai level popularitas baru, membuktikan konsistensi performa lewat
caranya bermain rasa, namun bintang sesungguhnya adalah Jennifer Lopez.
Menampilkan akting terbaik
sepanjang karirnya, J.Lo ibarat rock star
dengan karisma tanpa tanding yang menguasai seluruh panggung bernama “layar”
(well, she’s actually a diva). Di
tangan Lopez, Ramona jadi sosok kompleks. Bukan rubah licik yang gemar menebar
tipu daya, melainkan wanita berhati pesar penuh kasih sayang yang terhimpit
realita. Dan ketika Lopez berjalan di depan kawan-kawannya dalam balutan gerak
lambat, dia bukan seorang pemimpin biasa. Dia adalah simbol.
Banyak sensor sama adegan yg di-cut?
BalasHapusBeberapa potong & blur, tapi nggak signifikan melemahkan kualitas filmnya
HapusPotongan 6 menit dan blur pas ada stripper yang topless.
BalasHapusGa review elcamino?
BalasHapusConstance wu bakalan sebersinar Michelle Yeoh gak yah dimasa depan
BalasHapusItu Constance Wu di poster kirain Shareena istrinya Ryan Delon.
BalasHapusBaru nonton. Bagus sih, sayang ada kelemahan fatal. Sy tidak berhasil dibuat peduli sama karakter2nya
BalasHapus