99 Nama Cinta membuktikan jika film bernapas religi cenderung tampil
lebih baik bila digarap oleh figur yang tidak “mabuk agama”. Mungkin anda tidak
menyangka, tapi Garin Nugroho merupakan penulis naskah dalam karya teranyar
sutradara Danial Rifki (Haji Backpacker,
Meet Me After Sunset) ini. Walau jauh dari sempurna, damai rasanya
mendapati di sini tidak ada kesan memaksa, menghakimi, menyudutkan, apalagi
mengafirkan. Bahkan di akhir cerita, protagonisnya tak perlu terdorong
mengenakan jilbab selaku bentuk “menemukan iman”.
Protagonis yang dimaksud bernama
Talia (Acha Septriassa), pembaca acara gosip televisi dengan rating tinggi
berjudul Bibir Talia. Prinsip “semua
cuma bisnis, jangan bawa perasaan” diusung Talia. Baginya, kesuksesan program
merupakan hal utama, sedangkan sisi kemanusiaan dan moralitas jadi nomor
kesekian. Talia tidak ragu menjebak narasumber, mengadakan wawancara tanpa
persetujuan demi rating. Talia tidak melangkah di jalan Allah, itu pasti.
Sampai datang ustaz muda misterius,
mengaku diperintah oleh ibunda Talia (Ira Wibowo) agar mengajarinya mengaji.
Kiblat (Deva Mahenra) nama sang ustaz. Rupanya ia putera Kiai Umar (Donny
Damara), kawan lama orang tua Talia, yang dahulu menerima bantuan kala
mendirikan pondok pesantren. Kedatangan Kiblat didasari atas janji Kiai Umar
membalas budi dalam bentuk pembagian ilmu.
Sekilas 99 Nama Cinta tak ada bedanya dengan film religi kebanyakan. Dua
sejoli berlawanan sikap saling jatuh cinta, lalu akhirnya si alim mampu
menggiring si biang maksiat menemukan hidayah. Naskah buatan Garin tetap
bermuara ke sana, namun proses beserta segala pernak-perniknya jadi pembeda.
Melihat penggambaran Kiblat sebagai ulama muda berparas rupawan berpenampilan
modis, Garin ingin menjauhkan dakwah Islam dari kekakuan.
Berpijak pada niatan tersebut,
dihadirkanlah karakter Husna (Chicki Fawzi), ustazah muda lulusan universitas
Korea Selatan yang mengajar di pondok pesantren Kiblat lewat media musik.
Membawa ukulele, Husna bernyanyi di kelas sembari menuturkan bahwa dulu Wali
Sanga menyebarkan Islam melalui musik. Bagi yang familiar dengan karya Garin,
tentu tahu hal ini selaras dengan kegemarannya menyelipkan elemen kesenian
sebagai penguat narasi.
Hubungan Talia dan Kiblat tidak
langsung berjalan mulus mengingat keduanya amat berlawanan. Si wanita
membawakan acara gosip, sedangkan si pria mengajarkan buruknya aktivitas
bergosip kepada para murid. Di film lain, saya yakin Kiblat bakal
mengonfrontasi Talia, terang-terangan menghakimi profesinya.Tapi tidak di sini.
Kiblat adalah sosok toleran. Menyuarakan itu di kelas merupakan bentuk
pelaksanaan kewajiban selaku guru agama, namun di depan Talia, ia enggan
melarang, meski tak membenarkan juga. Dan baik Kiblat maupun Kiai Umar tak
sekalipun menyuruh Talia beribadah.
Semua perubahan murni terjadi atas
kesadaran Talia sendiri, yang bermula saat ia dipindahtugaskan mengurus kuliah
subuh yang punya rating buruk dan dipandang sebagai acara buangan akibat sebuah
kasus. Talia dipusingkan kala mendapati betapa membosankan program tersebut.
Para penonton di studio tertidur, dan ketika dievaluasi, sang ustaz pengisi
acara (Dedi “Miing” Gumelar) justru berkata “Acara keagamaan memang berat”.
Bagaimana bisa muncul ketertarikan memperdalam agama bila ulama berpikiran
demikian? Kita pun dapat menebak apa strategi yang dipilih Talia.
Terkait unsur religi, 99 Nama Cinta tampil memuaskan, bahkan
termasuk salah satu yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Masalah justru
timbul di luar itu. Beberapa detail membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa
Talia, si pembawa acara ternama, harus repot-repot naik bus ekonomi kala
mengunjungi pondok pesantren? Apa susahnya menyewa sopir? Bukankah ia juga
datang diantar sopir? Demi rating sekalipun, bukankah mustahil sebuah stasiun
televisi bersedia “mengumpankan” anggota timnya sendiri sebagai bahan gosip? Demi kesan dramatis, logika dikesampingkan.
Terkait dramatisasi, terdapat momen
yang mengganggu, menggelikan alih-alih menggugah akibat pengadeganan berlebihan
dari Danial Rifki, walau untuk hal ini, naskahnya ikut bertanggung jawab karena
terburu-buru ingin menjabarkan bahwa Talia adalah individu berperasaan.
Sementara romansanya justru hambar, sewaktu kecanggungan serta perbedaan Talia
dan Kiblat mengurangi quality time keduanya.
Sulit memedulikan keberlangsungan percintaan mereka. Setidaknya, seperti biasa,
Acha Septriassa masih aktris dengan penampilan dinamis yang mampu diandalkan
guna menghembuskan nyawa di tiap adegan, entah di ranah serius (drama) atau
komedik.
bang kaga nonton the king?
BalasHapusUlas love is a bird richard oh dong bang
BalasHapusSudikah anda menjelaskan bagaimana maksudnya digarap oleh figur yg tidak "mabuk agama" itu???
BalasHapusSebuah film yg digarap oleh sutradara muslim yg kemaren juga bikin film bertema GAY yg jelas2 dilarang di agamanya sendiri,apakah itu disebut sebagai figur yg tidak "mabok agama" dan menurut anda itu baik???
😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂
Hapus@Anonim Bacot
BalasHapus