Pernah menggarap western (3:10 to Yuma) dan film superhero
bergaya western (Logan), wajar saat Ford v Ferrari garapan sutradara James Mangold memancarkan nuansa
serupa. Mengedepankan dua protagonis dengan cowboy
attitude (bahkan salah satunya mengenakan topi koboi), ini bak kisah koboi
yang lebih modern, di mana alih-alih seekor kuda, mobil balap Ford GT40 jadi
tunggangannya.
Ketika Henry Ford II (Tracy Letts)
kebakaran jenggot akibat penjualan mobilnya menurun, Wakil Presiden Ford, Lee
Iacocca (Jon Bernthal), mengusulkan pada sang CEO agar perusahaan mereka
mengikuti jejak Ferrari berlomba di ajang “24 Hours of Le Mans”. Menurut
Iacocca, keberhasilan pabrikan mobil milik Enzo Ferrari (Remo Girone) itu
menyabet gelar juara secara beruntun membuatnya tampak superior hingga
digandrungi publik.
Awalnya Ford berniat membeli
Ferrari yang nyaris bangkrut, namun di “tikungan akhir”, Fiat menyalip mereka. Tersinggung
oleh penolakan serta hinaan Enzo, Henry mengubah rencana. Ditunjuklah Carroll
Shelby (Matt Damon) guna membuatkan Ford sebuah mobil balap yang lebih cepat
dari Ferrari. Shelby, yang pernah menjuarai Le Mans 1959 sebelum pensiun akibat
gangguan jantung, turut mengajak rekannya, Ken Miles (Christian Bale), pembalap
bertalenta luar biasa yang kerap dicap buruk akibat perangai urakannya.
Shelby boleh membuka cerita, dan
Matt Damon sendiri tampil solid tanpa perlu terkesan “showy” layaknya setir yang mengontrol laju filmnya, tapi mesin
penggerak Ford v Ferrari adalah
Miles. Di hadapan banyak orang, gestur, ekspresi, sampai cara bicara Bale
menggambarkan betul bagaimana Miles memposisikan dirinya di atas lawan bicara.
Apalagi kala mesti beradu melawan Leo Beebe (Josh Lucas), salah satu eksekutif
Ford yang akan membuat penonton ingin melayangkan bogem mentah ke arah senyum
kesombongan pihak korporat yang senantiasa ia pasang di wajahnya.
Sebaliknya, di ruang intim, baik di
tengah kesendirian, di balik kemudi mobil, maupun di samping keluarganya, Miles
adalah manusia biasa, yang berperasaan dan kerap menunjukkan kerapuhan.
Dinamika keluarga Miles justru merupakan roh filmnya. Caitriona Balfe
memerankan Mollie, istri Miles yang suportif namun tak pasif, dan berani
bersuara kala sang suami melakukan kesalahan. Sedangkan Noah Jupe adalah Peter,
putera Miles yang amat mengagumi sang ayah.
Naskah buatan kakak beradik Jez
Butterworth dan John-Henry Butterworth (Edge
of Tomorrow, Get on Up) bersama Jason Keller (Mirror Mirror, Escape Plan) paham betul bahwa drama olahraga terbaik
selalu soal sisi personal pelakunya. Alhasil, momen emosional Ford v Ferrari selalu soal keluarga
Miles. Ketika mobil Miles meledak di sesi latihan, kita diajak merasakan teror
mencekam seorang anak yang menyaksikan ayahnya mendekati maut. Pun bukan
diskusi teknis yang dipakai untuk menjabarkan luar biasa panjang, lama, nan
menantangnya “24 Hours of Le Mans”, melainkan obrolan hati ke hati Miles dan
Peter.
Di lintasan balap, giliran James
Mangold unjuk gigi. Semua balapan digarap maksimal, tidak ada yang sekadar
numpang lewat. Dari perlombaan Daytona sampai Le Mans punya ketegangan
sekaligus euforia masing-masing. Dibantu sinematografer langganannya, Phedon
Papamichael, ditambah penyuntingan cekatan, Mangold membangun intensitas melalui
penempatan kamera yang mencakup seluruh sisi. Kita tahu kondisi di dalam mobil
termasuk ekspresi Miles, sudut-sudut lintasan, pula bagaimana mobil melaju di
sana. Selaku latar, musik gubahan Marco Beltrami (The Hurt Locker, A Quiet Place) memadukan beragam bentuk, dari
sentuhan jazz (Ferrari Factory, Photos to
Fiat) hingga rock pemacu adrenalin (Le
Mans 66, Willow Sprints).
Seru, menegangkan, dan emosional, Ford v Ferrari bukan tentang kedigdayaan
dua pabrikan mobil tersebut. Bahkan hingga akhir, filmnya tetap konsisten
melontarkan kritik terhadap pihak korporat yang melakukan segala cara demi
keuntungan sendiri. Sekali lagi, drama olahraga terbaik selalu bicara seputar
sisi personal pelakunya, dan Ford v
Ferrari berhasil melakukan itu, menyoroti perjuangan dua koboi lintasan balap, menjadikannya salah satu yang terbaik dalam
beberapa waktu terakhir.
Sama "RUSH" bagusan mana mas?
BalasHapusDua setengah jam nonton drama gini bakal bosen kagak ya?
BalasHapusBosen/kga itu tergantung pribadi(selera) lu. Mnurut gw ini salah 1 flm spectacular 2019& wajib di tonton, ketimbang flm2 superhero(bosen liet ny) ge lebih suka flm2 berbau biopik,bioghraphy, western dll :v
HapusSama sekali gak bosen... Malah gak brasa kalo udah 2,5 jam
HapusSaya sudah nonton, filmnya bagus kok.. worth it..
BalasHapuskalo di banding Rush menurut saya masih bagusan Rush tipis.
Christian Bale vs Joaquin Phoenix for best actor
BalasHapus7000 RPM/10
BalasHapusIni film okepunya. Istri saya yang bukan moviegoers aja sampe ikut deg2an pas scene balapan dan ikut nangis saat................(ada dehhh..hehe)
BalasHapusSebagai seorang ayah dengan satu anak lakilaki, saya suka banget relasi peter dan miles. Betapa bahagianya punya anak yang mengagumi sosok ayahnya sampe segitunya.
Akting si Hnery Ford II juga ga kalah kece lho..lihat gestur dan ekpresi boss yang beliau tunjukkan, maka kita bisa amat sangat respek sama beliau. Lihat perubahan ekspresi beliau saat terima info soal enzo, maka kita akan sangat bisa memahami ego seorang manusia. Lihat akting beliau saat merasakan "mobil jet", maka kita akan bisa tahu bahwa dia hanya seorang anak yang punya beban nama keluarga sekaligus bangga dengan apa yang bisa dia "buat" saat ini.
Christian bale lagi lagi jadi bunglon di film ini. hehe
Si mollie cakep bener siiihhh
Thanks for share min,.
BalasHapusSalah satu film terbaik tahun ini.
BalasHapusBahkan film ini bisa menyentuh untuk orang yang sama sekali tidak tertarik otomotif seperti saya,,
Sampai ambyar nonton ini saking "touching"-nya.
Habis nonton film ini lebih pengen Bale yang dapat oscar ketimbang Phoenix
BalasHapus