JAFF 2019 - BENTO HARASSMENT
Rasyidharry
November 23, 2019
Bagus
,
Comedy
,
Drama
,
Japanese Movie
,
Kanta Sato
,
Kyoko Yoshine
,
Rena Matsui
,
Renpei Tsukamoto
,
REVIEW
,
Ryoko Shinohara
,
Ryuta Sato
1 komentar
Kadang saya teringat masa sekolah
dulu, saat masih membawa bekal buatan ibu. Karena sudah belasan tahun berlalu,
tentu saya tidak ingat pasti tiap menunya, tapi secara alamiah, saya
mengasosiasikan beberapa makanan dengan peristiwa tertentu. Dibuat berdasarkan
sebuah esai berjudul sama, Bento
Harassment bicara hal serupa, ketika bekal dari ibu merepresentasikan fase-fase
hidup karakternya di sekolah.
Kaori (Ryoko Shinohara) mesti
menjadi ibu tunggal selepas kematian suaminya beberapa tahun lalu. Saat
keluarga ini masih utuh, Kaori begitu dekat dengan kedua puterinya, bahkan
berjanji akan membuat restoran bersama. Kini, si puteri sulung, Wakaba (Rena
Matsui) tinggal terpisah walau bekerja di restoran yang sama dengan Kaori,
sedangkan si bungsu, Futaba (Kyoko Yoshine), adalah remaja pemberontak.
Kaori dan Futaba tinggal serumah,
tapi jarang bicara. Futaba menutup pintu komunikasi mereka, melarang Kaori
memasuki kamarnya, memilih hanya bicara lewat chat bahkan saat keduanya ada di
satu ruangan. Bagi Futaba, Kaori bak monster (dia menamai kontak Kaori sebagai “Ogre”),
dan menuruti perintah ibu bukan suatu hal keren. Sempat putus asa, Kaori
mendapat ide terkait cara agar Futaba mengubah sikap.
Kaori membuatkan charaben (character bento), yakni bekal yang
disusun agar membentuk karakter populer, wajah manusia, hewan, atau binatang.
Kaori tahu hal itu bertentangan dengan definisi “keren” dari Futaba. Dia
berharap Futaba bakal merasa kesal dan akhirnya terdorong untuk berubah. Begitu
menarik desain Kaori, tiap jam makan siang, Futaba selalu dikerubuti
teman-temannya yang penasaran, “Bento seperti apa lagi yang dibuat ibumu?”. Bahkan
sempat pula di bekal itu terselip pesan agar Futaba mau mencuci piring setelah
makan.
Kreativitas. Itulah pondasi Bento Harassment. Desain kreatif Kaori
jadi hiburan tersendiri, bukan cuma bagi teman-teman sekelas Futaba, juga
penonton. Dan Renpei Tsukamoto (One
Missed Call 2, Wig, Reon) selaku sutradara sekaligus penulis naskah,
memanfaatkan ragam kreasi Kaori guna membuat supaya secara natural, bekal-bekal
itu dapat mewakili fase-fase hidup Futaba. Dari persiapan ujian sampai saat
tumbuh getar-getar cinta di hati Futaba terhadap teman masa kecilnya, Tatsuo (Kanta
Sato), bekal sang ibu selalu menemani, melahirkan momen-momen tak terlupakan.
Humornya tidak kalah kreatif.
Absurditas komedi khas film Negeri Sakura efektif menyegarkan suasana berkat pengadeganan
menarik sang sutradara, pula kebolehan jajaran pemain, khususnya Ryoko
Shinohara—yang gemar menatap licik ke arah kamera bak tokoh sinetron tiap
rencananya membuat Futaba kesal berakhir sukses.
Naskah buatan Renpei Tsukamoto
tampil apik di beberapa sisi. Pesan tentang “cinta dalam makanan, makanan penuh
cinta, makanan untuk cinta” tersampaikan dengan mulus. Kita tahu kelak Futaba
akan luluh, namun bukan berarti perubahan itu bisa disajikan seenaknya.
Tsukamoto memastikan ada gradasi dalam transformasi Futaba. Bahkan selepas
terungkapnya satu elemen mengejutkan, Futaba masih meragu. Sebuah kewajaran.
Remaja pemberontak yang ingin terlihat keren sepertinya pasti punya gengsi luar
biasa besar, yang acap kali menahannya bersikap jujur sesuai kata hati.
Satu poin yang agak mengganggu
adalah cerita sampingan mengenai Okano (Ryuta Sato), ayah tunggal yang selepas
kematian istrinya, kerepotan mengurus anak seorang diri. Sampai akhirnya Okano
menemukan blog di mana Kaori mempublikasikan charaben buatannya, lalu
terinspirasi untuk melakukan hal serupa. Di sini Tsukamoto bagai ingin
membubuhkan kisah cinta bagi Kaori sembari menyelipkan tuturan soal “Dua orang
dipersatukan oleh luka yang sama”, tapi justru menciptakan pernak-pernik tak
substansif, yang bila dihilangkan pun takkan melemahkan kisah utama.
Memasuki babak akhir, Bento Harassment bisa saja terjerumus ke
ranah disease porn murahan nan
eksploitatif, kalau bukan karena logika yang tetap naskahnya perhatikan. Ada
kesan mendadak, tapi jika dirunut lagi, hal tersebut wajar terjadi, bahkan
semestinya sudah diantisipasi, baik oleh penonton maupun karakternya. Hasilnya
adalah 15 menit terakhir yang meruntuhkan benteng perasaan. Pengadeganan Tsukamoto
punya dosis dramatisasi yang sempurna, sementara Ryoko Shinohara lewat senyum serta
linangan air mata sarat kasih sayang akan mencengkeram hati siapa pun.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:bagus bangeet aku smpe nangis coba :'
Posting Komentar