REVIEW - SIAPA DIA

Keroncong, dangdut, campursari di musik, kecak, jaipong, cakalele di tari. Daftar itu akan begitu panjang bila disebutkan seluruhnya, tapi pada intinya, Indonesia amat kaya akan kesenian, sehingga klaim "Negeri ini adalah negeri nyanyian dan tarian" yang karakter film ini sebut tidaklah berlebihan. Melalui Siapa Dia, Garin Nugroho coba menciptakan kapsul waktu berisi kekayaan tersebut, yang beriringan dengan perjalanan sejarah bangsa. Hasilnya mengingatkan saya pada judul Bahasa Inggris dari salah satu karya sang sineas: Chaotic love poems. 

Begitulah Siapa Dia, yang dipaparkan dalam tiga babak (plus prolog dan epilog) penuh lompatan narasi liar bak puisi cinta yang kacau. Layar (Nicholas Saputra) mengisi sentral penceritaan. Seorang bintang film yang ingin membuat film musikal karena lelah dengan popularitasnya, namun bingung mesti membicarakan apa. Dibantu dua asistennya, Denok (Widi Mulia) dan Rintik (Amanda Rawles), Layar pun menelusuri kisah-kisah leluhurnya yang tersimpan rapat dalam sebuah koper sebagai inspirasi. 

Dari situlah keliarannya bermula, seiring penonton diajak bolak-balik menaiki mesin waktu, mengunjungi ayah, kakek, hingga buyut Layar (semua diperankan Nicholas Saputra), yang riwayatnya berkelindan dengan sejarah bangsa, termasuk perkembangan seninya. 

Buyut Layar menggemari komedi stambul semasa penjajahan, kakek Layar menghadapi perkembangan kesenian di tengah pergolakan tahun 1965, sedangkan si ayah mengakrabi budaya perlawanan yang tumbuh di tengah era sensor orde baru. Alurnya maju-mundur begitu liar, sampai tak sempat menciptakan koneksi rasa antara penonton dengan barisan karakter di atas. Jangan mengharapkan dampak emosional biarpun mereka punya kesamaan: disambangi tragedi percintaan. 

Garin menarik benang merah antara sejarah bangsa, seni termasuk sinema, juga romansa, di mana semua melibatkan proses menemukan serta kehilangan. Kakek buyut Layar misal, yang sebelum mengucap janji setia bersama Juwita (Happy Salma), pernah jatuh hati pada diva komedi stambul bernama Nurlela (Monita Tahalea), yang direnggut nyawanya oleh tuduhan mengkhianati negara. 

Puitis, tragis, namun gaya bertutur Siapa Dia menyulitkan terciptanya simpati, biarpun penampilan mayoritas pemainnya cenderung memuaskan, dari Nicholas Saputra yang senantiasa solid, maupun nama-nama seperti Morgan Oey dengan kelihaian menarinya, serta Dira Sugandi lewat suara powerful miliknya, yang mencuri perhatian meski dalam porsi kemunculan terbatas. 

Petualangan menembus waktu yang dinahkodai Garin bakal memuaskan bagi mereka yang menaruh antusiasme terhadap sejarah, maupun pecinta seni. Sayangnya, besar kemungkinan kalangan awam yang mengharapkan edukasi justru bakal teralienasi. Tanpa pemahaman memadai, sukar menemukan pesona dari kapsul waktu yang Garin tawarkan. 

Lain cerita bila membicarakan para penyuka sinema yang dahaganya akan dipuaskan oleh rangkaian easter eggs seputar perkembangan industri. Berawal dari Loetoeng Kasaroeng (1926) selaku film pertama yang diproduksi di Indonesia, beralih ke judul-judul klasik macam Badai Pasti berlalu (1977) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), hingga judul-judul kekinian, semua dimunculkan. 

Menarik pula menilik keputusan film ini menyandingkan poster KKN di Desa Penari (2022) dengan Yuni (2021), mahakarya ciptaan putrinya sendiri, Kamila Andini. Garin memposisikan diri bukan sebagai penakar nilai, melainkan perekam jejak yang berlaku objektif.

Gelaran musikalnya, yang diiringi deretan lagu legendaris (Nurlela, Payung Fantasi, Badai Pasti Berlalu, Anak Jalanan, dll.) yang efektif memancing dorongan ikut berdendang, digarap dengan apik. Biarpun ketimbang musikal layar perak era kini, pendekatan Garin lebih dekat ke arah musikal panggung. 

Segala sisi Siapa Dia memang dipenuhi mannerism ala teater. Entah gaya berlakon jajaran pemainnya (cara melafalkan dialog, bergestur, atau menari), mise-en-scène tiap adegan yang mengingatkan ke tata panggung, kecenderungan karakternya berbicara ke layar bak aktor teater yang bertutur ke arah penonton, semua terkesan "stagey". Tentunya dalam konotasi positif, sebab inilah cara Garin mengingatkan bahwa pertunjukan panggung berperan besar dalam tumbuh kembang sinema tanah air. 

REVIEW - PANJI TENGKORAK

Selepas Jumbo membuktikan kalau animasi punya tempat di hati masyarakat Indonesia dengan memecahkan rekor jumlah penonton, juga terkait kualitas para pelaku industrinya yang pantang dianggap remeh, maka Panji Tengkorak terasa seperti langkah lanjutan yang logis. Daryl Wilson dan tim mengajarkan bahwa animasi bukanlah medium yang hanya diperuntukkan bagi konsumen anak. 

Tengok saja penokohan si Panji Tengkorak (Denny Sumargo). Dia adalah antihero yang bersedia mengorbankan keselamatan warga sipil asalkan misinya tercapai. Tentu seiring durasi ia bakal berproses ke arah lebih baik, namun di awal perkenalannya, nurani merupakan omong kosong di mata Panji. 

Si protagonis bertransformasi menjadi pendekar ilmu hitam yang tak bisa mati pasca istrinya, Murni (Aisha Nurra Datau), tewas di tangan perompak. Dikuasai api dendam, Panji pun menggali makam Murni, lalu memakai tengkorak mendiang sang istri sebagai topeng. Panji ingin Murni bisa melihat apa yang ia lihat, seolah berharap dapat memberinya kehidupan kedua. Panji memang gila, tapi ia juga memiliki sisi puitis. 

Fokus alurnya terletak pada perjalanan Panji bersama Bramantya (Donny Damara), Gantari (Aghniny Haque), dan Kuwuk (Candra Mukti), yang bertujuan merebut kembali sebuah pusaka keramat dari tangan penjahat keji bernama Kalawereng (Tanta Ginting). Ceritanya cenderung tipis. Sebatas mengajak kita melihat si jagoan berkeliaran di hutan, sambil sesekali menumpas para penjahat yang menghalangi jalan. 

Setidaknya alur tipis tersebut menyimpan subteks penting seputar ambiguitas moral, bahwasanya, dunia tidak bisa dilihat sebagai perwujudan warna hitam dan putih. Di pertarungan puncak, Panji mengeluarkan aura hitam dari tubuhnya, sedangkan si antagonis memancarkan warna putih. 

Tentu perspektif serta simbolisme kompleks di atas belum sepenuhnya bisa dimengerti oleh penonton anak. Belum lagi bila membicarakan gelaran aksinya, yang bukan sekadar mencipratkan darah, pula tak segan menyajikan anggota tubuh yang terpotong. Kebrutalan filmnya turut dibarengi kreativitas. Salah satunya nampak dari kekuatan unik Panji, yang ludahnya mengandung racun hingga sanggup melelehkan tubuh lawan layaknya Xenomorph dari film Alien. 

Animasinya memang belum sempurna, terutama soal gerakan karakter yang cenderung patah-patah dan jauh dari kata "mulus". Tapi tengok bagaimana keterbatasan ini berhasil ditutupi oleh daya kreasi tinggi jajaran animator yang melahirkan banyak desain unik nan keren bagi tokoh-tokohnya. 

Satu aspek yang juga patut mendapat apresiasi adalah lagu Bunga Terakhir yang dibawakan oleh Isyana Sarasvati dan Iwan Fals. Biarpun pemakaiannya agak berlebihan karena diputar sampai enam kali (termasuk saat menutupi obrolan penting beberapa karakternya), ia tetaplah nomor soulful yang sempurna mewakili gejolak perasaan si pendekar. 

Panji Tengkorak memang pencapaian audiovisual. Klimaksnya yang dihiasi gelaran visual mencolok, pengarahan aksi apik dari Daryl Wilson, juga alunan musik yang meminjam nuansa gamelan, jadi puncak performa seluruh departemen, yang bagi saya tidak berlebihan bila disebut "membanggakan".

REVIEW - RELAY

Relay tidak bergantung pada kecanggihan absurd seperti teknologi pengenalan wajah yang bisa mendeteksi gambar dengan resolusi luar biasa rendah, atau aksi peretasan sarat kemustahilan. Sebaliknya, dia memanfaatkan peralatan analog, layanan konvensional, serta celah dalam sistem untuk menggambarkan kepintaran si protagonis.

Ash (Riz Ahmed) punya pekerjaan unik sebagai penengah netral dalam mediasi antara perusahaan korup dan whistleblower yang memegang rahasia kejahatan mereka. Tidak seorang pun mengetahui identitasnya, sebab seluruh kontak dilakukan via layanan relai, di mana Ash mengetik pesannya memakai alat telekomunikasi untuk orang tuli. Mustahil membongkar aksi laki-laki jenius super teliti ini, kecuali dengan memaksanya melakukan kesalahan. 

Klien terbarunya bernama Sarah (Lily James), yang awalnya berniat membocorkan praktik ilegal perusahaannya, namun memilih berdamai pasca menerima intimidasi dari Dawson (Sam Worthington) beserta anak buahnya. Naskah buatan Justin Piasecki memilih berfokus pada rangkaian prosedur yang Sarah jalani atas instruksi Ash, termasuk beberapa taktik cerdik guna mengecoh Dawson, ketimbang cheap thrills atau aksi medioker. 

Ash memutar otak, menerapkan kecohan psikologis, didukung pemahaman mendalamnya atas detail berbagai layanan sederhana yang bisa diakses siapa saja. Lihat caranya mengeksploitasi sistem layanan pengiriman barang kantor pos. Di kursi sutradara, David Mackenzie tahu cara mengeskalasi ketegangan secara bertahap nan mulus dalam masing-masing set piece. 

Intensitas sedikit mengendur kala Ash dan Sarah sejenak memasuki "fase rehat" untuk menantikan dampak strategi mereka. Alurnya mengalami stagnasi, biarpun ada upaya dari naskahnya menggeser fokus ke elemen dramatik mengenai dinamika sepasang manusia kesepian yang saling menemukan. Riz Ahmed tampil meyakinkan sebagai individu berotak brilian dengan masalah psikis, demikian pula Lily James kala mengeksplorasi kecemasan karakternya menghadapi kesendirian. 

Perlahan kita diajak mengenali latar belakang Ash. Memahami alasannya menekuni profesi unik seperti sekarang, pula motivasinya saat kelak memutuskan tak lagi bersikap netral dan berdiam diri di hadapan ketidakadilan para pemegang kuasa. Presentasinya belum mampu memproduksi dampak emosional, namun cukup efektif memanusiakan Ash, yang di awal terkesan kurang manusiawi karena kecerdikannya.

Sayangnya selepas deretan kecerdikan yang filmnya tawarkan, seolah diharuskan memenuhi obligasi, Relay beralih ke format lebih generik di babak ketiganya lewat parade baku tembak dan kejar-kejaran. Belum lagi eksistensi twist-nya, yang meski berjasa menjelaskan beberapa keputusan bodoh karakternya, juga keintiman instan antara Ash dan Sarah yang dipaksakan hadir, lebih terkesan bermain curang ketimbang pintar. Yah, mungkin Relay tidak sepintar protagonisnya.

REVIEW - HANYA NAMAMU DALAM DOAKU

Karya penyutradaraan teranyar Reka Wijaya (Bolehkah Sekali Saja Kumenangis) ini berpusat pada suami sekaligus ayah dengan segala ketidakmampuannya berpikir jernih, yang berujung pada serangkaian kesalahan. Protagonisnya mungkin kurang simpatik, tapi membuat film mengenai orang bodoh bukanlah kesalahan. Hanya Namamu dalam Doaku memperlihatkan laki-laki dengan prinsipnya yang menolak goyah, sebodoh apa pun itu. 

Arga (Vino G. Bastian) awalnya menjalani rumah tangga harmonis bersama Hanggini (Nirina Zubir). Keberadaan putri mereka, Nala (Anantya Kirana), makin melengkapi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Lalu terjadilah guncangan tak terduga. Arga divonis menderita ALS (Amyotrophic lateral sclerosis), penyakit langka yang akan membuatnya kehilangan kemampuan motorik, sebelum akhirnya meninggal. 

Manusia normal bakal memberitahukan kondisi itu pada keluarganya, mungkin membuat mereka terpukul sementara waktu, kemudian bangkit lalu berjalan beriringan hingga akhir hayat. Tapi didasari keenganan membebani Hanggini dan Nala, Arga memilih menyembunyikan penyakitnya. Hanya dua orang yang mengetahui kondisi Arga: Rio (Ge Pamungkas), sepupu sekaligus rekan kerjanya, kemudian Marisa (Naysila Mirdad), mantan pacarnya semasa SMA yang kini menjadi dokter. Sungguh jahat, egois, dan tentunya, bodoh. 

Lambat laun Hanggini justru curiga bahwa Arga berselingkuh dengan Marisa. Nala yang cerdas pun segera memahami konflik orang tuanya. Arga enggan keluarganya terbebani, namun tanpa ia sadari, kebohongan itu malah memberi beban yang tidak kalah (atau bahkan lebih) berat. Begitulah laki-laki beserta kekakuan pikirnya yang sukar memandang permasalahan dari sudut pandang orang lain, juga tendensi mereka merahasiakan perihal yang sebaiknya tak dirahasiakan.

Santy Diliana dan Elin Yuma selaku penulis naskah paham betul sisi problematik dari laki-laki di atas. Apalagi bila telah berstatus kepala keluarga, yang membuat mereka membebani diri sendiri dengan beragam tanggung jawab, biarpun sang istri dan anak mengharapkan sebaliknya. Salah bila menganggap perempuan lebih keras kepala. 

Hanya Namamu dalam Doaku mengambil risiko dengan bermain di garis batas antara "meromantisasi" dan "menyentil" fenomena tersebut. Bagi saya kuncinya terletak pada momen saat Rio dan Marissa, yang dipaksa oleh Arga menyembunyikan penyakitnya, nekat memberitahukan fakta itu pada Hanggini. Secara tidak langsung naskahnya membantah perspektif si protagonis, sehingga membuat filmnya masuk ke golongan kedua. 

Akting jajaran pemainnya sungguh menawan, dari Vino yang mampu menghindari kesan karikatur kala di paruh kedua ALS telah merenggut banyak kapasitas motorik Arga, Nirina Zubir dengan ledakan emosinya yang terasa menusuk, hingga Anantya Kirana yang kembali menunjukkan kecerdasan akting layaknya pelakon dewasa. Ge Pamungkas pun cukup baik, hanya saja performanya di sebuah adegan pertengkaran dengan Nirina lebih efektif memancing tawa ketimbang pilu. Tapi metode pengarahan Reka Wijaya, terutama pilihan tata kameranya, turut bertanggung jawab atas kekonyolan tak disengaja itu. 

Bagaimana membuat penonton terkoneksi dengan laki-laki seperti Arga? Ada alasan mengapa sinema arus utama cenderung menghindari tuturan yang memamerkan ketidaksempurnaan protagonisnya. Butuh kreativitas lebih untuk membuat penonton bersedia menaruh simpati, yang sayangnya belum film ini miliki. Bagaimana pengarahan Reka Wijaya menjauhi keklisean melodrama, dengan tak asal menggenjot kadar emosi hingga titik maksimal di tiap adegan memang patut diapresiasi, tapi di mayoritas kesempatan, Hanya Namamu dalam Doaku masih mengandalkan trik lama yang tak kuasa melandasi kompleksitasnya sendiri.

Di sepanjang kredit penutup kita melihat kondisi para penderita ALS di dunia nyata. Sembari berkaca-kaca, salah satu dokter yang menangani mereka menyamakan kematian pasiennya dengan "chapter buku yang sudah selesai ditulis oleh Tuhan". Momen tersebut jauh lebih indah, menyentuh, sekaligus kreatif dibanding yang filmnya tawarkan selama hampir dua jam.

Setidaknya, sebagaimana karya-karya Sinemaku lain, Hanya Namamu dalam Doaku menawarkan kesungguhan. Segala aspeknya dipastikan berjalan sesuai kaidah, mulai dari elemen medis mengenai ALS, pengingat untuk mencari opini kedua kala memeriksakan keluhan kesehatan, hingga perihal talak dan detail masa idah, yang oleh kebanyakan film bertema keluarga cenderung lalai diperhatikan.

REVIEW - PRETTY CRAZY

Pretty Crazy punya premis eksentrik tentang perempuan yang memiliki dua kepribadian akibat kutukan iblis, diisi para pemain dengan kapasitas komedik yang telah teruji, presentasinya pun dipenuhi kekonyolan. Tapi kalau kita lihat lebih dekat, film ini sesungguhnya cukup menyedihkan, karena menampilkan barisan karakter yang merasa tak pantas dicintai, atau mencintai hidup mereka sendiri.

Gil-gu (Ahn Bo-hyun) misalnya. Setelah keluar dari pekerjaan yang terlalu membebani mentalnya, ia menjadi pengangguran yang mengandalkan kemampuan bermain mesin capit untuk memenuhi kebutuhannya. Gil-gu kesepian, namun beranggapan bahwa kehidupan macam ini cocok untuknya. Setidaknya sampai kedatangan tetangga baru yang tinggal tepat di bawah apartemennya. 

Si tetangga baru bernama Jang-su (Sung Dong-il). Dibantu putri tunggalnya, Sun-ji (Lim Yoon-a), serta keponakannya, Ara (Joo Hyun-young), ia membuka toko roti. Tapi bukan roti yang paling menyita perhatian Gil-gu, melainkan Sun-ji, perempuan tercantik yang pernah ia lihat. 

Masalahnya satu: Sun-ji yang tutur katanya menyejukkan saat siang, mendadak berubah menjadi liar kala malam menjelang. Konon, semua akibat kutukan turun-temurun yang membuatnya kerasukan sesosok iblis. Alhasil, Jang-su mesti terjaga hingga fajar setiap harinya. Pikiran menikmati hidup pun ia buang jauh-jauh demi sang putri. Kelak terungkap bahwa si iblis bahkan punya kisah hidup yang lebih memilukan. 

Tapi tak satu pun dari karakternya tenggelam dalam ratapan. Mereka menjadikan tawa sebagai cara mengakali luka, dan tawa itulah yang coba ditularkan oleh Lee Sang-geun (Exit), selaku sutradara sekaligus penulis naskah, kepada penonton. Materi yang ia sediakan, termasuk perihal humor, sebenarnya tidaklah istimewa. Ada banyak jalur bisa ditempuh oleh premis uniknya, namun penulisannya masih berkutat di rangkaian situasi familiar. Butuh waktu bagi Pretty Crazy untuk bisa tampil mencengkeram.

Situasinya berbalik selepas Gil-gu berani lepas dari segala kekhawatiran dan berniat membahagiakan iblis yang merasuki Sun-ji. Daya bunuh humornya menguat berkat kehandalan dua pelakonnya. Ahn Bo-hyun dengan gelagat canggung serta ekspresi komikalnya, dan Yoon-a yang piawai dalam hal berlaku gila ("dua wajah bertolak belakang" memang jadi pesonanya sejak awal berkarir sebagai idol), membangun dinamika jenaka antar karakternya.  

Tentu sebagai produk sinema arus utama Korea Selatan, tidak peduli sekonyol apa pun presentasinya, Pretty Crazy takkan berpuas diri sebelum berhasil menguras tangis penonton. Lee Sang-geun justru menawarkan ide yang lebih segar di sini, baik selaku penulis maupun sutradara. Adegan "punggung ayah" yang efektif menyulut rasa haru tanpa terkesan murahan, hingga konklusi manis berlatar taburan kelopak bunga bagi kisah Gil-gu dan Sun-ji, akhirnya membawa tiap karakternya merasakan cinta lagi, dalam beragam bentuk, setelah sekian lama. 

REVIEW - MATERIALISTS

Acap kali film romantis hadir layaknya dongeng dilengkapi pesan moral untuk tidak memandang sesuatu berdasarkan nilai komersial belaka. Tapi kita hidup di era yang cenderung mengedepankan sudut pandang sebaliknya, dan sebagai komedi romantis yang lahir pada era modern semacam itu, Materialists sadar betul akan fenomena tersebut, lalu alih-alih mengerdilkan satu sisi, memilih untuk menyeimbangkannya. Materi dan cinta tidak bisa eksis seorang diri. 

"Apakah film yang diputar keliru?", begitu pikir saya sewaktu melihat adegan sepasang manusia purba dimabuk asmara. Tapi memang itulah cara Celine Song membuka filmnya. Diciptakannya komparasi, betapa dahulu jatuh cinta sungguh sederhana. Lompat ke ratusan tahun berselang, rangkaian bunga cantik saja tak cukup untuk meluluhkan hati pasangan. Ada banyak pertimbangan kompleks yang mesti dipikirkan.

Tata kamera arahan Shabier Kirchner menangkap kesibukan kota New York yang segera mengingatkan ke judul-judul romcom klasik, seiring perkenalan kita dengan Lucy (Dakota Johnson), karyawan perusahaan pencarian jodoh yang dikenal sebagai makcomblang terbaik. Sudah sembilan pasangan berujung mengucap janji suci setelah dipersatukan oleh Lucy. Di matanya, kecocokan dua manusia hanyalah penerapan rumus matematika. 

Lucy sendiri tidak buru-buru mencari pasangan. Jika kelak harus menikah, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan laki-laki yang bukan cuma punya fisik rupawan (wajah ganteng, tubuh tinggi), pula kaya raya. Semakin banyak perempuan masa kini yang memasang standar serupa sehingga mendapat cap "matre" atau "terlalu pilih-pilih", seolah para laki-laki tidak memasang banyak standar dan sekadar mementingkan kemurnian hati.

Tapi toh deretan permintaan beberapa klien Lucy menunjukkan fakta sebaliknya. Laki-laki dengan obsesinya terhadap gadis muda beserta segala tetek bengek tampilan fisik lainnya juga tidak kalah ruwet. Materialists berhasil menyentil paham seksis yang sudah mengakar terlalu kuat di masyarakat tersebut. 

Sampai di pesta pernikahan salah satu kliennya, Lucy berkenalan dengan Harry (Pedro Pascal), kakak dari pengantin laki-laki. Seorang pebisnis kaya raya dengan paras tampan, perawakan tanpa cela, selera mode kelas tinggi, penuh sopan santun pula. Sesosok laki-laki sempurna, yang saking langkanya, diberi status "unicorn" oleh perusahaan tempat Lucy bekerja. Di pesta yang sama, Lucy bertemu lagi dengan mantan kekasihnya, John (Chris Evans), yang bekerja sebagai pelayan katering di sela-sela upayanya mewujudkan mimpi menjadi aktor. 

Song tidak menunggu lama sampai menumbuhkan api cinta segitiga di antara protagonisnya. Kali pertama tiga individu tersebut berada dalam satu frame, sang sutradara dengan jeli menciptakan momen canggung yang amat menggelitik. Begitulah bentuk elemen komedi Materialists. Bukan kekonyolan luar biasa, melainkan satir untuk menertawakan dinamika percintaan modern, yang presentasinya berpijak pada realisme.

Di kebanyakan film romantis, John bakal otomatis jadi figur jagoan. Seorang "people's champion" dari kalangan akar rumput, yang tak bergelimang harta dan berjuang keras mewujudkan cita-cita, baik dalam hal profesi maupun percintaan. Sudah selayaknya penonton dibuat berharap agar Lucy memilih John dalam romcom semacam ini bukan? 

Menariknya, lewat sebuah kilas balik, Materialists membuat penonton bisa memahami alasan Lucy menjadi seorang materialistis, dan mengapa John bukanlah tipikal jagoan dalam film romantis. Song tidak mau menenggelamkan Lucy dalam kenaifan cinta, tapi juga enggan menjadikannya mesin penakar nilai komersial tanpa hati. Dakota Johnson dengan tatapan yang senantiasa menawarkan afeksi terhadap lawan bicaranya, mampu membentuk karakter Lucy sesuai visi sang sutradara tersebut. 

Mana yang lebih baik? Harry dengan kekayaan serta keeleganan tutur katanya, atau John yang setelah sekian tahun masih mengingat minuman favorit Lucy? Pada akhirnya Materialists bukanlah soal pihak mana yang akhirnya dipilih, melainkan pengingat supaya kita bersedia meluangkan waktu untuk menimbang kedua sisi secara matang-matang. Bukan pula tentang pencarian atas kesempurnaan (Harry dan John memiliki "cacatnya" masing-masing), sebab mungkin benar adanya, bahwa "true perfection has to be imperfect".