REVIEW - IMMACULATE

Hanya berjarak sekitar sebulan, The First Omen dan Immaculate, dua horor dengan premis serupa (suster Amerika datang ke Italia, kemudian terjebak konspirasi yang melibatkan bayi iblis) dirilis secara bergiliran, menambah jumlah twin films yang sudah terjadi sejak lebih dari satu abad lalu. Penyelewengan ajaran agama dengan segala ritual, imageries mengerikan, serta entitas tak terlihatnya memang santapan lezat bagi sineas horor. 

Perbandingan antara kedua judul jelas mustahil dihindarkan. Apalagi saat di sini kita mendapati Suster Cecilia (Sydney Sweeney) juga memiliki teman seorang suster "nakal" bernama Gwen (Benedetta Porcaroli). Di biara yang ia datangi atas ajakan pastor Sal Tedeschi (Álvaro Morte), Cecilia bertugas merawat para suster senior yang telah mendekati akhir hayat mereka. 

Tidak butuh waktu lama bagi Cecilia untuk menyadari ketidakberesan di biara tersebut, di mana beberapa suster nampak bersikap aneh. Bukan cuma itu, suatu hari Cecilia diinterogasi oleh Kardinal Franco Merola (Giorgio Colangeli) perihal keperawanannya. Dari situlah naskah buatan Andrew Lobel mulai pelan-pelan menebar remah-remah yang membangun pesan mengenai isu gender. 

Cecilia merepresentasikan perempuan yang terkekang dalam penjara bernama "peran gender". Sebagai perempuan ia dituntut bertindak santun, berlaku suci, lalu hanya diminta mengandung dan melahirkan bayi. Tentu kalau bisa bayi laki-laki, yang diharapkan bakal menjadi figur penting di masa depan.  

Jadilah 89 menit durasi Immaculate membentuk proses perempuan lepas dari kekangan "setan". Tidak hanya setan bertanduk dari neraka, tapi juga mereka yang berkontribusi melanggengkan peran gender destruktif tersebut, baik itu laki-laki penguasa maupun sesama perempuan.

Di antara penelusuran tersebut, filmnya menyelipkan deretan jumpscare yang dieksekusi secara generik oleh Michael Mohan selaku sutradara. Mayoritas hanyalah penampakan berisik minim dampak. Beberapa kali Mohan coba menerapkan pembangunan lambat bagi jumpscare-nya, namun daripada terasa mencekam, justru kesan draggy yang didapat akibat kurangnya kemampuan sang sutradara menyusun atmosfer.

Immaculate malah mampu tampil menyentak saat tidak berusaha terlalu keras menggedor jantung. Tengok saat seorang suster tewas akibat jatuh dari lantai atas. Tanpa musik menggebrak namun lebih menggigit, dan menariknya, lebih mengagetkan. Kuncinya ada di timing. Mohan berhasil membuat penonton lengah di momen tersebut. 

Sentuhan kekerasannya yang cukup brutal pun memberi daya hibur tambahan, yang turut membuka jalan bagi konklusi memuaskan tatkala kita menyaksikan si perempuan akhirnya meruntuhkan tali kekang yang merenggut kebebasannya. Di situ pula totalitas ledakan akting Sydney Sweeney berkontribusi besar, seolah membuktikan bahwa keputusannya membeli hak cipta naskah Immaculate, lalu memproduserinya sendiri, merupakan langkah tepat. 

REVIEW - KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

Apalagi yang bisa dicapai seri Planet of the Apes pasca trilogi reboot yang ditutup dengan sempurna tujuh tahun lalu? Apakah Kingdom of the Planet of the Apes sebatas upaya mengeruk keuntungan yang memaksakan arah penceritaan? Rupanya bukan. Bahkan secara ambisius ia coba membawa kisahnya ke ranah yang makin kompleks, di mana definisi bagi istilah "perlawanan" dikaburkan.

Berlatar 300 tahun setelah War for the Planet of the Apes (2017), kondisi dunia sudah sama sekali berbeda. Kera berkuasa, sedangkan manusia, akibat terinfeksi flu simian yang bermutasi, kembali menjadi makhluk primitif. Di masa itulah hidup Noa (Owen Teague), simpanse muda dari "klan elang". Disebut demikian karena mereka menjadikan elang sebagai peliharaan yang membantu menuntaskan berbagai aktivitas sehari-hari.

Pertama kali kita bertemu Noa, ia sedang mencari telur elang untuk upacara yang menandai kedewasaannya. Wes Ball (trilogi Maze Runner) yang mengisi posisi sutradara membungkus fase perkenalan itu dengan luar biasa, seolah ingin segera memamerkan segala amunisi yang ia punya. Efek visual yang membuat para kera nampak benar-benar hidup sehingga penonton memedulikan nasib mereka, hingga adegan aksi menegangkan yang tak terkesan artifisial adalah beberapa di antaranya.

Semakin jauh kita mengamati kehidupan Noa, semakin terasa bahwa film ini memiliki bangunan dunia yang cukup solid (tengok bagaimana klan elang kaya akan sentuhan kultural), walaupun nantinya muncul sebuah tanda tanya. Apa yang membuat klan elang hidup begitu terasing hingga masyarakatnya melupakan eksistensi Caesar beserta ajaran-ajarannya? Mungkin sekuelnya kelak bakal memberi jawaban.

Alih-alih hidup dalam damai sebagaimana Caesar perjuangkan, generasi kera ini dibayangi ketakutan akibat tangan besi Proximus Caesar (Kevin Durand), yang memakai nama sang pahlawan untuk berkuasa secara semena-mena. Klan elang pun hancur akibat serangan pasukannya yang sedang mencari keberadaan seorang anak manusia bernama Mae (Freya Allan). 

Ditemani Mae yang terus mengikutinya karena kelaparan, juga Raka (Peter Macon) si orang utan bijak yang ingin meluruskan ajaran Caesar, Noa pun melakukan perjalanan mencari tempat Proximus Caesar menawan seluruh anggota klannya. Perjalanan yang meski dilatari lanskap post-apocalyptic megah berhiaskan bangkai kapal tanker dan reruntuhan bandara, di luar dugaan tampil intim, dengan tempo lambat pula berskala kecil (didominasi obrolan dua kera). Langkah berani untuk blockbuster dengan biaya 165 juta dollar. 

Bukan berarti Ball tak piawai menangani spektakel. Sebaliknya, ia begitu lihai mengombinasikan gerak kamera dinamis dengan ketepatan pemakaian CGI untuk melahirkan sederet aksi intens. Di situlah letak keunikan Kingdom. Ada kalanya ia terasa sebagai drama yang "kecil", namun saat beralih ke aksi, tanpa terkesan janggal, filmnya bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih masif. 

Satu yang patut disayangkan adalah kurangnya eksplorasi terhadap tema "nabi palsu" yang diwakili oleh Proximus Caesar. Padahal poin ini merupakan cara cerdik untuk mengaitkan Kingdom selaku sekuel yang berdiri sendiri dengan trilogi reboot-nya, sekaligus pengembangan natural dari kisah sebelumnya. Fokus naskahnya terbagi dengan keharusan memaparkan proses perkenalan Noa dengan dunia luar. Proximus pun berakhir sebagai antagonis pengincar kuasa biasa. 

Beruntung, seiring bergulirnya waktu, tema utamanya, yakni pertanyaan soal "Dapatkan manusia dan kera hidup berdampingan?" turut mengalami peningkatan dalam kadar eksplorasinya. Semakin kompleks, karena yang bergesekan adalah dua pihak dengan alasan kuat. Manusia dengan ambisi mengklaim kembali dunia yang mereka bangun, melawan kera yang enggan mengalami kemunduran demi memenuhi hasrat berkuasa pihak lain yang bahkan tak memedulikan mereka.

Konklusi Kingdom of the Planet of the Apes menutup konflik tersebut dengan cantik, sembari menyiratkan bahwa mungkin saja, apa yang baru kita saksikan selama 145 menit (berlalu tanpa terasa) adalah proses lahirnya dua figur yang kelak bakal memimpin spesies masing-masing memperjuangkan kemerdekaan mereka. 

REVIEW - MENJELANG AJAL

Suatu hari nanti, di waktu yang tepat, saya yakin sekuel Rumah Dara akan dibuat, dan penampilan Shareefa Daanish sebagai Ibu Dara bakal ramai dibicarakan. Entah kapan "suatu hari nanti" tersebut tiba. Tapi untuk sekarang, nikmati saja dulu pertunjukan tunggal sang aktris, yang mampu mengangkat kualitas sebuah film horor seorang diri, sebagaimana ia kerap lakukan dalam beberapa tahun terakhir. 

Di Menjelang Ajal, Shareefa memerankan Sekar, ibu dari tiga anak: Dani (Daffa Wardhana), Ratna (Caitlin Halderman), dan Dodi (Shakeel Fauzi). Sekar bersikap cukup keras pada anak-anaknya. Dia mengusir Dani dari rumah karena si putera sulung menolak berkuliah dan ngotot ingin memilih jalan hidupnya sendiri. Dia tegur pula Ratna yang masih SMA, karena diantar pulang oleh laki-laki lebih tua. 

Menurut Sekar, ia hanya ingin anak-anaknya sukses, berbeda dengan dirinya yang cuma membuka warung makan. Masalahnya Sekar bukan sekadar menjalankan bisnis kuliner. Dipakainya ilmu penglaris yang dipasang oleh dukun bernama Mak Ambar (Dewi Pakis). Sampai suatu ketika, tiba-tiba warung makannya sepi pengunjung selama berbulan-bulan, dan di saat bersamaan kondisi fisik serta perilaku Sekar pun menjadi aneh. 

Satu hal subtil yang saya apresiasi dari naskah buatan Deni Saputra adalah ketiadaan figur jahat di sini, kecuali sosok setan yang merasuki Sekar (ia hadir karena dipanggil dan hanya murka akibat dilanggarnya sebuah perjanjian). Tidak ada orang jahat, tidak ada dendam kesumat, tidak ada permusuhan, tidak ada upaya menghancurkan kehidupan. Hanya ada kisah mengenai manusia yang terkena dampak tindakannya sendiri. 

Penceritaan di paruh pertamanya bergulir apik sekaligus merupakan fase terbaik Menjelang Ajal. Di situlah timbul misteri seputar gangguan yang dialami Sekar, disertai potret menarik terkait dunia klenik dalam lingkup bisnis kuliner. Babak-babak berikutnya tak pernah mengulangi pencapaian itu, namun Dedi Saputra memastikan bahwa naskahnya memang mengandung sesuatu untuk diceritakan, alih-alih sekadar menjembatani penampakan-penampakan hantu. 

Peristiwa yang judulnya janjikan pun berhasil digambarkan, tatkala kita melihat sulitnya Sekar menyambut ajalnya, dan mengalami berbagai siksaan fisik. Sementara luka psikis karakter-karakternya tersaji tidak begitu kuat karena minimnnya eksplorasi. Padahal ada potensi untuk menghadirkan drama menggigit seputar ketidaksempurnaan seorang ibu. Seorang ibu juga bisa berdosa. Seorang ibu tidak selalu benar. Seorang ibu juga bisa keliru menilai darah dagingnya. Tapi bukan berarti tiada kasih sayang. 

Terkait kualitas teror, sayangnya Hadrah Daeng Ratu selaku sutradara belum mampu mengulangi kengerian Pemandi Jenazah beberapa waktu lalu. Pendekatan atmosferik sarat gambar-gambar mengerikan digantikan oleh jumpscare generik berbalut tata suara berisik. Untunglah kuantitas penampakannya tidak seberapa tinggi, disokong elemen gore yang cukup menyenangkan, dan tentunya tertolong oleh transformasi Shareefa Daanish. 

“Aktor menjelma menjadi makhluk artistik yang mampu menghayati perannya tanpa disadari sesuai gerak intuitif". Dahulu Shareefa pernah menulis kalimat tersebut di akun Instagram miliknya. Itu pula yang nampak di Menjelang Ajal. Caranya mengolah ekspresi dan gestur memperlihatkan wujud seni peran yang tidak cuma berusaha nampak seram, tapi memperhatikan nilai artistik.  

REVIEW - ABIGAIL

Abigail berangkat dari premis tentang serangan vampir balerina. Dilihat dari sudut mana pun, sebutan "vampir balerina" memang terdengar konyol. Bodoh. Tapi poin terbaik film garapan duo sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ini bukanlah keberhasilan "memintarkan" ide tersebut, melainkan kesediaan mengamini kebodohannya. Kenapa harus malu bila kebodohan tersebut mampu melahirkan daya hibur tinggi?

Dikisahkan, enam kriminal bertugas menculik bocah bernama Abigail (Alisha Weir) dengan tujuan meminta uang tebusan sebesar 50 juta dollar kepada ayahnya. Keenamnya memakai nama samaran untuk berkomunikasi, dan Joey (Melissa Barrera) adalah panggilan yang dipakai oleh protagonis kita, sedangkan Abigail merupakan si vampir balerina yang bakal merenggut nyawa enam penculiknya satu per satu. 

Penonton yang familiar dengan tipikal tontonan semacam ini pasti sudah hafal pola penceritaannya. Sebelum menyantap menu utama yang lezat, kita harus melewati sajian pembuka yang cenderung melelahkan, karena diisi obrolan membosankan antara karakter-karakter dangkal minim daya tarik. Sebatas upaya memenuhi durasi ketimbang sungguh-sungguh berusaha membangun latar belakang secara solid. Tapi Stephen Shields dan Guy Busick selaku penulis naskah punya rencana lain. 

Barisan manusia di Abigail memang tak dibekali penokohan yang sangat mendalam, namun kebanyakan dari mereka terasa "berwarna". Frank (Dan Stevens) si pemimpin tim, hingga Peter (Kevin Durand) si pria berotot besar dengan kapasitas otak kecil, punya kepribadian yang bisa memproduksi rangkaian interaksi menarik, sebab karakter mereka tidak pernah diperlakukan dengan terlalu serius oleh para penulis naskah. 

Seluruh manusia di film ini sadar seaneh apa situasi yang sedang dialami. Mereka paham betapa absurdnya dikejar-kejar oleh vampir balerina, atau membekali diri dengan bawang putih sebagai metode membasmi sang monster. Dari situlah kelucuan kerap dibangun.  

Ketimbang basa-basi melelahkan, Shields dan Busick pun menyiapkan bentuk adegan yang lebih kreatif guna memperkenalkan tiap individu, ketika Joey memamerkan kemampuan deduksi ala detektif yang ia pakai untuk membaca latar belakang masing-masing orang. Menyenangkan. Apalagi para pemainnya juga nampak bersenang-senang melakoni peran mereka, dari kepiawaian Dan Stevens mengolah sarkasme, pembuktian kematangan Melissa Barrera hasil pengalamannya menjadi final girl, sampai bagaimana Alisha Weir senantiasa mencuri sorotan sebagai predator kecil yang bermain-main dengan mangsanya.  

Dihasilkan oleh dua sineas yang menciptakan Ready or Not (2019) dan meningkatkan kadar kekerasan di seri Scream melalui Scream VI (2023), begitu sang vampir mulai beraksi, banjir darah jelas tak terelakkan. 

Bettinelli-Olpin dan Gillett menerapkan kekhasan mereka untuk sedikit memodifikasi formula kisah vampir. Di film ini, ketika terpapar cahaya matahari atau jantungnya ditikam, tubuh para vampir tidak terbakar tetapi meledak. Kegemaran meledakkan tubuh itulah yang akan memunculkan komparasi antara konklusi Abigail dengan karya mereka berdua sebelumnya.

Kekurangan malah terletak pada eksplorasi premis "vampir balerina", yang meski mampu memproduksi beberapa momen nyeleneh, sayangnya tak pernah benar-benar jadi bagian esensial yang menambah kesegaran filmnya di ranah eksekusi. Alhasil, petak umpet yang terjadi antara manusia melawan vampir ada kalanya terasa lebih generik dibanding apa yang berpotensi filmnya capai. Tapi semangat bersenang-senang yang tertanam di tiap sudut Abigail membuatnya sanggup mempertahankan kekuatan untuk menghibur penonton hingga akhir. 

REVIEW - TOTTO-CHAN: THE LITTLE GIRL AT THE WINDOW

Sampai saat ini, Totto-Chan: The Little Girl at the Window adalah film terindah yang saya tonton sepanjang 2024. Slice of life yang ringan di permukaan namun di dalamnya menyimpan kompleksitas, menggelitik sekaligus menyakitkan, tampil begitu cantik walau mempunyai sisi kelam. Adaptasi novel autobiografi berjudul sama karya Tetsuko Kuroyanagi ini adalah mahakarya yang sanggup mengalirkan air mata selama 114 menit durasinya. 

Goresan warna lembut dengan garis putus-putus yang bak mencerminkan keindahan di balik ketidaksempurnaan hidup melatari dunia tempat kita berkenalan dengan gadis cilik bernama Totto-Chan. Perang Dunia II mulai mengintip, tapi ada masalah yang lebih dekat tengah dialami Totto-Chan. Dia dikeluarkan dari sekolah akibat dianggap susah diatur. Sebutan "biang masalah" pun kerap didapat, tapi secara tersirat kita tahu ia bukan sebatas bocah nakal, melainkan pemilik ADHD. 

Sampai sang ibu menemukan sekolah baru bagi Totto-Chan, yakni Tomoe Gakuen milik Pak Kobayashi. Di sanalah Totto-Chan bertemu teman-teman yang juga dianggap berbeda, termasuk Yasuaki si pengidap polio, dan rutinitas mereka menjadi pondasi alur film ini. Naskah buatan sang sutradara, Shinnosuke Yakuwa, bersama Yōsuke Suzuki bercerita secara episodik, menghasilkan lompatan-lompatan yang cenderung kasar antar peristiwa. 

Hal di atas jadi satu-satunya kekurangan (minor) Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Sisanya adalah presentasi indah mengenai hidup. Bagaimana hidup sungguh berat, khususnya pada masa perang, namun Totto-Chan dan kawan-kawan selalu menemukan cara untuk tersenyum berkat kepolosan mereka. Hal-hal sederhana seperti menginap bersama di sekolah guna menunggu kedatangan gerbong kereta bekas yang Pak Kobayashi pakai sebagai pengganti ruangan nyatanya bisa memproduksi kebahagiaan. 

Tawa bahagia para bocah dalam ruang aman yang memberi mereka kebebasan mampu menciptakan pemandangan menyentuh, apalagi saat musik kaya rasa gubahan Yuji Nomi senantiasa mengiringi. Pun selaku sutradara, Shinnosuke Yakuwa tahu betul cara mengaduk-aduk hati penonton. Contohnya tiap Totto-Chan: The Little Girl at the Window beralih sejenak dari realisme, menuju momen sureal (dengan gaya animasi berbeda-beda di tiap adegan) yang mewakili indahnya imajinasi anak-anak.

Bahasa visual memang merupakan keunggulan terbesar Yakuwa, yang membuat filmnya piawai menyampaikan pesan dan rasa melalui teknik non-verbal. Lihat adegan saat Pak Kobayashi diam-diam mengamati tindak-tanduk murid-muridnya dari jendela, atau pemandangan indah sekaligus menyakitkan di babak ketiga kala Totto-Chan berlari melintasi kota, mewakili proses tumbuh kembangnya berkenalan dengan konsep kematian serta kehilangan. 

Perjalanan coming-of-age tersebut ditutup secara begitu menyentuh lewat satu kalimat hangat. Di situ kita menyaksikan Totto-Chan yang sudah lebih dewasa, yang paham betul rasa sakit dari ujaran-ujaran kebencian, memberikan cinta sebagaimana pernah ia dampakan. Indah.

REVIEW - CIVIL WAR

Melalui Civil War yang jadi film termahal produksi A24 sampai saat ini (50 juta dollar), Alex Garland bukan sedang menudingkan jari ke pihak tertentu, melainkan Amerika Serikat secara menyeluruh. Dilukiskannya gambaran kemungkinan masa depan, di saat negara yang terpolarisasi berujung meruntuhkan dirinya sendiri. Tidak ada benar atau salah. Hanya kehancuran dan kematian. 

Alkisah perang sipil tengah pecah di Amerika. Garland tak menjabarkan alasan pastinya, sebab penonton cukup memahami satu hal: kebencian mengakar terlampau kuat di sana. Para loyalis pendukung pemerintahan presiden yang telah menjabat selama tiga periode berhadapan dengan beberapa faksi yang tersebar di berbagai daerah. Lee Smith (Kirsten Dunst), si jurnalis perang ternama, turut meliput peperangan tersebut di garis depan. 

Joel (Wagner Moura) dari Reuters, Sammy (Stephen McKinley Henderson) si jurnalis senior The New York Times, dan Jessie (Cailee Spaeny) yang amat mengidolakan Lee, turut serta dalam liputan berbahaya tersebut. 

Terdapat satu poin menarik, di mana keempat karakternya nampak seperti perwujudan sebuah keluarga (ayah, ibu, anak, kakek) yang tengah melakukan road trip. Seiring waktu ikatan di antara mereka menguat, pun di sepanjang perjalanan, masing-masing memperoleh pelajaran berharga. Bedanya, bukan kehidupan yang mereka saksikan, tapi bau busuk kematian. 

Selama 109 menit, Civil War menempatkan karakternya dalam beragam skenario berbahaya, yang masing-masing mewakili gagasan Garland tentang bagaimana rupa suatu negeri yang dikuasai kebencian. Kita tak pernah mengetahui alasan di balik perang sipilnya, dan bisa saja, orang-orang bersenjata yang karakternya temui pun tidak benar-benar memahami, atau telah melupakan alasan tersebut. Mungkin mereka cuma menikmati kebebasan meluapkan amarah dan kebencian atas nama perang. 

Dari situlah kita memahami keresahan Lee, yang diperankan oleh Kirsten Dunst dengan kematangan dan kekokohan hasil gemblengan realita pahit. Berkali-kali ia lolos dari medan perang untuk menginformasikan horor di garis depan lewat foto-fotonya, tapi mengapa peristiwa serupa senantiasa terulang? Apakah profesinya yang konon penuh jasa itu sungguh berdampak? Apakah umat manusia dengan segala hasrat keji mereka memang sudah tak tertolong lagi?  

Dibantu tata suara mumpuni yang bakal membuat penonton merasa diletakkan di tengah baku tembak sungguhan, Garland menyajikan ketegangan lewat keping-keping peristiwa yang protagonisnya alami. Jadilah film perang yang tak kalah mengerikan dibanding horor. 

Ada kengerian yang bersumber dari implikasi mengenai bakal bagaimana kondisi dunia selepas filmnya usai (imajinasi penonton), ada pula kengerian yang berasal dari paparan lebih gamblang tatkala Garland secara efektif memvisualisasikan kondisi perang sipil tersebut. Menonton Civil War seperti menyaksikan cuplikan hari kiamat dengan atmosfer menghantui yang sukar dihapus dari ingatan. 

Satu hal yang agak disayangkan adalah terkait tendensi Garland untuk menjauh dari sudut pandang para jurnalis, menyoroti pusat peperangan secara lebih dekat, guna menghadirkan spektakel yang lebih besar. Hasilnya lebih seru, lebih epik, namun realisme dan keintiman filmnya justru melemah.

Garland memilih jurnalis sebagai protagonis untuk menekankan netralitas Civil War. Bukan berarti sang sineas kurang tegas bersuara. Sebaliknya, poin tersebut membuktikan kalau Garland tidak naif dengan memandang salah satu pihak politik lebih baik dari yang lain. Perjalanan para jurnalisnya merupakan proses menangkap realita secara apa adanya, dan akhirnya realita tersebut cuma menunjukkan potret kematian.

REVIEW - THE ARCHITECTURE OF LOVE

Di The Architecture of Love yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa, latar luar negeri bukan sekadar destinasi jalan-jalan yang ditangkap keindahannya melalui sudut pandang turis. Setiap sudut kota New York ibarat alat perekam kenangan yang mengabadikan cerita-cerita dua protagonisnya. 

Raia (Putri Marino) adalah novelis sukses yang karyanya telah diadaptasi ke layar lebar. Pada malam pemutaran perdana filmnya, Alam (Arifin Putra), sang suami yang selama ini merupakan inspirasi terbesarnya, ketahuan berselingkuh. Raia hancur, mengalami writer's block, kemudian pergi ke New York, menumpang di apartemen sahabatnya, Erin (Jihane Almira), guna mencari inspirasi. 

Ketakutan menjalin hubungan sejatinya menghantui Raia, namun ia berusaha meredamnya. Sehingga, saat di sebuah pesta perhatiannya tertuju pada arsitek bernama River (Nicholas Saputra), secara aktif Raia berusaha menjalin kedekatan. River juga menyimpan trauma terkait hubungan yang menimbulkan berbagai gejala PTSD. 

Dua protagonis kita ibarat dua sisi koin. Serupa tapi tak sama. Sewaktu Raia coba beranjak dari memori percintaan lamanya, River masih terjebak. Ketika Raia ingin membuka lembaran baru, River beranggapan bahwa cerita baru bakal menghapus kenangan yang lebih berharga. "Sesuatu yang kosong tidak harus diisi", ucapnya. 

The Architecture of Love bukan berniat menuding pihak mana yang lebih baik/buruk, melainkan memaparkan bahwa peristiwa traumatis dapat menghasilkan dampak berbeda di tiap individu. Bahkan, kecuali Alam si tukang selingkuh, tak satu pun karakter layak disebut "jahat". Ada pesaing cinta yang terluka, hingga sosok yang takut mengutarakan perasaan, tapi (nyaris) tiada manusia kejam di sini. 

Dari situlah naskah buatan Alim Sudio memasang pondasi romansanya, menciptakan dinamika manis antara dua manusia yang kesulitan beranjak dari luka. Diiringi musik beraroma jazz gubahan Ricky Lionardi, Raia dan River menghabiskan waktu, bertukar pikiran, pula berbagi lara, dengan berbagai titik kota New York menjadi saksi bisu yang merekam jejak keduanya. 

Di kursi sutradara, Teddy Soeriaatmadja tidak ingin menyajikan opera sabun. Presentasinya amat elegan. Letupan-letupan emosi dijaga supaya tidak terlampau eksplosif tanpa harus kehilangan kekuatannya. Barisan kalimat quotable yang naskahnya "ambil" dari novel Ika pun terdengar lebih indah berkat pendekatan Teddy tersebut. 

Tentunya Teddy juga dibantu oleh performa dua pelakon utamanya. Nicholas Saputra menghadirkan salah satu penampilan paling berwarna sepanjang karirnya, menghidupkan dua wajah River yang ada kalanya tenang nan memesona, tapi tak jarang kehilangan kendali atas emosinya. 

Sedangkan Putri Marino meyakinkan saya kalau dia adalah aktris terbaik yang saat ini dimiliki Indonesia. Caranya mengangkat deretan momen kasual menjadi pertunjukan akting kelas satu sungguh luar biasa. Bagaimana sang aktris meletakkan jeda dalam tuturan verbal, bagaimana tiap reaksi baik dalam bentuk gestur atau ekspresi terlihat begitu kaya, seluruhnya mengagumkan. Seorang aktris hebat dalam sebuah film yang hebat. 

REVIEW - CHALLENGERS

Melalui Challengers, Luca Guadagnino (Call Me by Your Name, Suspiria) mengubah materi yang biasanya identik dengan opera sabun murahan menjadi observasi tentang dorongan hasrat manusia, yang tampil cerdas, intens, indah, dan di luar dugaan, amat sangat seksi. 

Art Donaldson (Mike Faist) dan Patrick Zweig (Josh O'Connor) bukan cuma sahabat sejak kecil, pula pasangan ganda tenis yang berprestasi. Keduanya pun tertarik pada orang yang sama, yakni Tashi Duncan (Zendaya), yang digadang-gadang sebagai calon bintang tenis masa depan. Sebelum pertandingan final yang mempertemukan Art dengan Patrick, Tashi berjanji bakal memberi nomornya pada siapa pun yang keluar sebagai pemenang. 

Cinta segitiga penuh pengkhianatan membentang selama belasan tahun hingga meruntuhkan persahabatan dua laki-laki. Ide dasar Challengers memang "sangat opera sabun". Tapi di sinilah kita melihat bagaimana seniman hebat dapat menyuntikkan warna mereka guna mengubah gagasan usang menjadi karya yang terasa segar. 

Agar penceritaannya lebih berbumbu, Justin Kuritzkes selaku penulis naskah memakai teknik non-linear, di mana tiap pengkhianatan adalah twist menusuk, dan isi hati manusia merupakan misteri yang lebih dalam dari samudera. Challengers menggiring penontonnya mempertanyakan apa yang masing-masing karakternya pikirkan, rasakan, serta sembunyikan di balik segala keputusan mereka. 

Satu hal yang jadi motor penggerak trio Tashi-Art-Patrick: hasrat. Apa yang kita saksikan selama kurang lebih 131 menit tidak lain adalah dinamika tiga manusia, yang sadar atau tidak, selalu mencari dorongan hasrat, mendambakan pacuan adrenalin, guna menjaga nyala api kehidupan mereka. Zendaya, Mike Faist, dan Josh O'Connor saling terkoneksi kuat, memendam geliat hasrat, kemudian meledakkannya di setiap kesempatan yang didapat. 

Kata "hasrat" adalah kunci. Di tangan Kuritzkes dan Guadagnino, "hasrat" yang sejatinya adalah dorongan bersifat universal dibawa ke pendefinisian yang kental sensualitas. Tapi siapa sangka lapangan tenis adalah panggung sempurna bagi pertukaran hasrat tersebut? 

Sebagaimana diucapkan Tashi, "Tenis adalah sebuah hubungan". Di Challengers, sewaktu dua individu mengayunkan raket dalam satu lapangan, saling memukul bola ke arah masing-masing seolah tengah mengomunikasikan perasaan sembari berpeluh berdua, saat itulah tercipta ikatan intens yang tak memerlukan bahasa verbal untuk saling memahami dan merasakan. 

Dibarengi beragam pilihan shot indah nan kreatif dari kamera sang sinematografer, Sayombhu Mukdeeprom, pula musik elektronik gubahan Trent Reznor dan Atticus Ross yang menghipnotis, Guadagnino menuangkan kenakalannya. Semua interaksi karakter tak pernah lepas dari aroma sensualitas yang menyengat sekaligus menegangkan, di mana setiap gestur maupun celotehan tersusun atas sexual innuendo. Begitu tiba di konklusi yang begitu nakal sekaligus playful, sulit rasanya menahan hasrat untuk melepaskan tawa penuh kekaguman. Brilian! 

REVIEW - GLENN FREDLY: THE MOVIE

Kita semua mengenal figur Glenn Fredly sebagai salah satu musisi terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Empat tahun setelah ia meninggal, barisan lagu-lagunya pun masih melekat di telinga dan hati banyak orang. Tapi seberapa banyak yang mengenal aktivisme seorang Glenn Fredly? Poin itulah yang dipakai oleh Glenn Fredly: The Movie untuk membangun urgensi. 

Naskah buatan Raditya (Mantra Surugana) pun memilih agak menjauh dari pakem biopic tradisional, dengan tidak berusaha merangkum kisah hidup lengkap sang tokoh sedari kecil hingga akhir hayat. Pertama kita bertemu dengan Glenn Fredly (Marthini Lio), ia sudah berstatus penyanyi terkenal yang merilis dua album, pula terlibat romansa high profile bersama Nola AB Three (Alyssa Abidin). 

Popularitas Glenn memang merupakan poin penting narasinya. Glenn merasa, karena bakat tarik suara ditambah ketenaran miliknya, ia wajib berbuat lebih bagi masyarakat Ambon yang pada masa itu tengah terjebak beragam konflik. Di suatu kesempatan, ketika sedang bernyanyi untuk menghibur jemaah gereja, Glenn menyaksikan penggemarnya tewas di depan mata. Wajar jika kelak ia merasa beban menciptakan perdamaian terletak di pundaknya.  

Ketidakmulusan bercerita jadi batu sandungan dalam paruh pertama Glenn Fredly: The Movie, yang kerap bergerak secara kasar, melompat kurang mulus dari satu titik narasi ke titik berikutnya. Kelemahan ini untungnya mampu ditutupi oleh perspektif unik filmnya dalam memotret sosok Glenn Fredly. 

Kita bukan disuguhi proses Glenn tersadar untuk menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Sebaliknya, sejak awal kesadaran itu sudah tumbuh. Kesadaran itulah yang menyiksa Glenn, menjadikannya "tortured artist" yang terbebani oleh kebesaran dan bakatnya sendiri. Pernikahan pertamanya dengan Dewi Sandra (Sonia Alyssa) pun kandas karenanya. Glenn begitu terobsesi menjadikan hubungannya dengan Dewi sebagai simbol keberhasilan pernikahan beda agama di Indonesia, hingga melupakan hal-hal seperti cinta serta kebahagiaan. Glenn Fredly memang bukan manusia sempurna. 

Marthino Lio mampu menangani kompleksitas batin tersebut, sembari memainkan warna suaranya supaya terdengar semirip mungkin dengan Glenn Fredly. Hasilnya memuaskan. Aktingnya tak pernah jatuh ke ranah parodi, dan tidak kalah penting, tercipta sinkronisasi antara suara Glenn saat sedang bicara yang dibawakan Marthino Lio, dengan suara ketika sedang bernyanyi yang diisi oleh Eldhy Victor. 

Tentunya turut dibantu oleh penataan suara yang solid, saya pun dibuat percaya bahwa segala suara tersebut berasal dari satu orang. Tatkala adegan bernyanyi terlihat meyakinkan, semakin mudah bagi penonton untuk menikmati barisan nomor-nomor legendaris milik Glenn Fredly. 

Di luar perjalanan karir Glenn dan perjuangannya selaku aktivis, konflik keluarga yang melibatkan perpecahan sang penyanyi dengan ayahnya (Bucek Depp) turut disoroti. Konflik ayah-anak inilah yang nantinya berjasa merangkum pesan utama filmnya secara menyentuh. Apa pun masalahnya, semua adalah soal memutus rantai kebencian. Pesan itu pula yang senantiasa didengungkan oleh Glenn Fredly semasa hidupnya. Perjalanan hidupnya mungkin telah usai, namun kisahnya terus abadi dan tak berakhir di Januari.   

REVIEW - THE ROUNDUP: PUNISHMENT

Kalau di tiga film pertama (The Outlaws, The Roundup, The Roundup: No Way Out) punggung kekar Ma Seok-do (Ma Dong-seok) yang berjalan membelakangi kamera lebih dulu nampak, di The Roundup: Punishment kita langsung melihat wajahnya. Hanya itu perbedaan signifikan yang franchise ini bersedia tawarkan. Tapi siapa peduli? Seisi studio bertepuk tangan ketika tinju si jagoan menghantam wajah penjahat, sedangkan tawa pecah saat sesosok wajah familiar menampakkan batang hidungnya. 

Seri The Roundup sudah membentuk formulanya sendiri. Setiap repetisi bukan wujud miskinnya kreativitas, namun pengulangan yang telah penonton hafal serta nantikan kehadirannya. Sewaktu posisi sutradara dan penulis naskah kembali berpindah tangan (kali ini masing-masing diisi oleh Heo Myung-haeng dan Oh Sang-ho), pola itu pun tak mengalami modifikasi. 

Sekarang giliran praktik judi daring yang coba diberantas oleh Ma Seok-do bersama timnya. Baek Chang-ki (Kim Mu-yeol) menjalankan bisnis tersebut di Filipina, sementara Jang Dong-cheol (Lee Dong-hwi) si jenius di bidang TI mengontrol segalanya dari Korea. Han Ji-soo (Lee Joo-bin) dari tim siber dikirim untuk membantu Ma Seok-do yang gaptek, tapi tentu saja bogem sang detektif tetap jadi palu keadilan terkuat. 

Alur Punishment bergerak dengan hanya membawa satu tujuan: supaya Ma Seok-do bisa memukuli lebih banyak orang. Kesederhanaan itulah pesona utama serinya. Pengembangan cerita ke arah berbeda, juga ide-ide aksi yang lebih segar tentu diperlukan bila ingin terus menjalankan franchise-nya, namun untuk saat ini, detik ini, formula familiar inilah yang membuat The Roundup digandrungi. 

Apabila No Way Out memantik sedikit kekhawatiran kalau formula itu akan segera usang, Punishment berhasil membuktikan sebaliknya. Selama tiap lini mampu dimaksimalkan, ketiadaan pembaruan bukanlah sesuatu yang berbahaya, setidaknya untuk sementara. 

Di luar kewajiban berupa baku hantam brutal dengan polesan efek suara yang membuat tinju Ma Seok-do terasa bak ledakan bom, Punishment akhirnya mengatasi masalah terkait antagonis. Monster seperti apa yang dapat mengimbangi Ma Seok-do? Rupanya bukan monster, melainkan manusia biasa berperawakan ramping bernama Baek Chang-ki, yang terasa intimidatif berkat akting Kim Mu-yeol ditambah keahlian karakternya memainkan pisau. 

Sayatan demi sayatan dari Chang-ki menambah kebrutalan gelaran aksinya, sementara di sisi berlawanan, Park Ji-hwan sebagai Jang Yi-soo memimpin presentasi komedi filmnya yang efektif memancing tawa. Itulah kunci kesuksesan The Roundup: Punishment sebagai sebuah blockbuster: keseimbangan.