REVIEW - CAUGHT STEALING
Caught Stealing, selaku adaptasi novel berjudul sama karya Charlie Huston (turut menulis naskah filmnya) adalah triler kriminal di mana segalanya sangatlah "raw". Perkelahiannya bukan adu jurus cantik sarat polesan seni bela diri, melainkan baku hantam barbar ala jalanan yang dijadikan sarana bertahan hidup. Deskripsi tersebut juga cocok menggambarkan habitat tempat karakter-karakternya mengadu nasib.
Protagonisnya bernama Henry "Hank" Thompson (Austin Butler), mantan atlet bisbol yang terpaksa mengubur impiannya akibat cedera parah. Kini dia bekerja sebagai bartender, tinggal di apartemen kecil yang sesekali dikunjungi Yvonne (Zoë Kravitz), pacarnya. Bahkan hingga ke gestur terkecil, Butler dan Kravitz memastikan bahwa pasangan kekasih ini berlaku bak dua manusia terkeren di dunia, pun membuat saya berandai-andai bila film ini dijadikan romansa kriminal ala Bonnie and Clyde.
Tapi Darren Aronofsky selaku sutradara tak pernah memperlakukan karyanya sesederhana itu. Caught Stealing dipenuhi kejutan serta kelokan tajam yang dalam sekejap bisa mengubah jalur kisahnya. Sekilas paparannya lebih ringan dan "aman" dibanding film Aronofsky lain, namun dapat secara tak terduga mendadak banting setir memasuki area yang lebih gelap, untuk mendatangkan efek kejut selaku pengingat soal kerasnya dunia jalanan yang protagonisnya huni.
Didominasi lagu-lagu gubahan Rob Simonsen yang dibawakan oleh Idles, isian musiknya terdengar membara, mewakili sikap "punk rok" jajaran karakternya yang menomorsatukan kebebasan. Titik baliknya terjadi pasca Russ Miner (Matt Smith) yang tampak mencolok dengan rambut mohaknya, menitipkan kucing miliknya pada Hank sementara ia pergi ke London.
Sejak itulah Hank mendadak jadi incaran banyak pihak berbahaya, dari para mafia Rusia, sampai kakak-beradik Yahudi (Liev Schreiber dan Vincent D'Onofrio) yang dikenal kejam. Setelah memukuli Hank, salah satu mafia Rusia bernama Aleksei (Yuri Kolokolnikov) berbaring, memosisikan tubuhnya bak meriam yang siap ditembakkan, kemudian menyundul perut si korban hingga ginjalnya pecah. Bukan cuma urusan cerita, metode yang karakter film ini pakai untuk bertarung pun penuh kejutan.
Tidak lama berselang pasca pemukulan tersebut, Hank yang hendak pulang mendapati para mafia Rusia kembali mengepung apartemennya. Terjadilah aksi petak umpet berlatar balkon sempit yang jadi ajang Aronofsky memamerkan keterampilan luar biasanya perihal mengolah intensitas. Metode berkelahi karakternya memang jauh dari definisi "bergaya", tapi tidak dengan pengarahan sang sutradara yang jeli memainkan tempo dan timing.
Sesekali kita diajak menyaksikan kilas balik yang perlahan mengungkap penyebab cedera parah yang mengakhiri karir bisbol Hank, bahkan membuatnya takut berkendara di jalanan. "I'm not driving", ucapnya tiap diminta menyetir mobil. Caught Stealing sejatinya membicarakan proses individu melawan trauma masa lalu, namun dengan cara ekstrim yang "sangat Aronofsky", terutama jika menilik pilihan konklusinya.
REVIEW - SHUTTER (2025)
Shutter (2004) yang jadi debut penyutradaraan Banjong Pisanthanakun adalah horor dengan tingkat kengerian tinggi sarat trik menakut-nakuti yang kreatif...tapi itu untuk dua dekade lalu. Bila ditilik sekarang, 97 menit durasinya bakal terasa generik. Itulah kendala dalam remake Indonesianya, yang setia mengikuti pakem versi orisinal. Solid, namun kehadirannya terlambat bertahun-tahun.
Kesetiaan bertutur dalam remake biasanya memang mengundang pujian. Masalahnya Shutter datang dari era berbeda, di mana kemunculan hantu dari dalam foto masih dianggap mengejutkan, sementara diskursus tentang trope stereotipikal seputar perempuan yang baru menerima keadilan selepas bangkit dari kubur sebagai hantu belum banyak dicuatkan.
Formulaik. Apalagi skena lokal sendiri banyak mengambil inspirasi dari judul-judul yang muncul di era kejayaan Thai horror. Kendati demikian, penonton baru yang masih asing dengan Shutter versi mana pun bakal terhibur oleh banyaknya peristiwa-peristiwa mengejutkan di alurnya, yang menyoroti bagaimana hidup Darwin (Vino G. Bastian) si fotografer ternama, juga pacarnya, Pia (Anya Geraldine), seketika dipenuhi ketakutan selepas mobil mereka menabrak seorang perempuan berbaju merah.
Perempuan itu pun acap kali muncul dalam bentuk hantu yang meneror keseharian keduanya, bahkan mendatangkan banyak kematian. Peristiwa tersebut diberitakan oleh beragam media, lengkap dengan foto eksplisit tiap korban, yang tidak lebih dari hasil tangkapan layar dari adegan kematian yang sebelumnya hadir. Para pembuatnya punya cukup uang untuk mengakuisisi hak pembuatan ulang judul film ternama, tapi tak mampu merekayasa headline berita palsu secara layak.
Jika bersedia lupakan cacat detail di atas, anda akan terhibur oleh cara tutur Shutter, yang mengganti pendekatan atmosferik versi aslinya dengan progresi misteri serba ngebut. Cocok bagi generasi TikTok yang ogah berlama-lama dihadapkan pada ketiadaan. Vino menunjukkan alasan mengapa ia sudah tujuh kali berperan dalam remake film asing (delapan bila menghitung 2nd Miracle in Cell No. 7), lewat penampilan solid sebagai Darwin si pengecut yang senantiasa memilih opsi "flight" ketimbang "fight" kala menghadapi persoalan pelik.
Sedangkan horornya, seperti telah disinggung di awal tulisan, tampil familiar. Departemen penyuntingan serta pengarahan Herwin Novianto selaku sutradara di momen-momen bertempo tinggi pun cenderung canggung. Tapi sekali lagi, bagi "penonton baru", beberapa teror si hantu perempuan merah, termasuk saat ia mengintip dari balik kaca mobil yang tengah melaju, cukup efektif mengundang kengerian.
Terpenting, berkat kesetiaan mengikuti pakem film orisinalnya, naskah buatan Alim Sudio bukan sebatas memenuhi durasi menggunakan jumpscare, namun bersedia memposisikan cerita sebagai penopang utama. Sungguh disayangkan, poin soal "cerita di atas penampakan" enggan ditiru oleh sineas horor tanah air kala mengambil inspirasi dari kompatriotnya asal Thailand.
Satu keputusan cerdik yang dipilih Shutter adalah terkait pemakaian lagu Di Belakangku (versi cover oleh Egha De Latoya), memberi interpretasi creepy bagi baris lirik "Kau peluk aku sebelum membunuhku" dan "Aku menunggumu mati di depanku", guna membungkus kilas balik tragis nan menusuk hati, yang menyoroti kekejaman maskulinitas toxic budaya fratbro. Andai si perempuan tidak perlu mati untuk memperoleh keadilan.
REVIEW - SHELBY OAKS
Shelby Oaks berpusat pada misteri hilangnya Riley Brennan (Sarah Durn) beserta tiga temannya, yang dikenal publik sebagai "Paranormal Paranoids" lewat konten penelusuran mistis di YouTube. Keempatnya lenyap tanpa jejak pasca menginjakkan kaki di kota mati bernama Shelby Oaks. Mia (Camille Sullivan), kakak Riley, jadi salah satu narasumber untuk dokumenter mengenai kasus tersebut yang dibuat 12 tahun kemudian.
Gaya mokumenter diterapkan oleh sang sutradara, Chris Stuckmann, yang melakoni debut setelah selama ini lebih dikenal sebagai kritikus film di kanal YouTube miliknya. Gaya, ditambah premis mengenai misteri orang hilang, bakal menciptakan komparasi dengan Lake Mungo (2008), yang dalam ulasannya, Stuckmann sebut sebagai "an underappreciated, underseen gem."
Sampai di tengah wawancara bersama Mia, seorang laki-laki tak dikenal mendadak muncul di depan pintu rumah, kemudian melakukan tindakan mencengangkan, yang turut memantik keputusan tak kalah mengejutkan dari sang sutradara: Mengakhiri format mokumenter filmnya. Shelby Oaks seketika berubah jadi horor bergaya konvensional, yang sayangnya, tak pernah memberi cengkeraman sekuat intronya.
Bagian terbaik dari mokumenter found footage adalah proses menyadari, bahwa di balik gambar berkualitas rendahnya, atau gumaman-gumaman tak jelas dari suaranya, tersimpan kunci memecahkan misteri, yang tak jarang mengundang rasa ngeri. Proses itu berlangsung menyenangkan karena secara aktif melibatkan penonton, mendorong kita menajamkan penglihatan serta pendengaran. Sedangkan horor konvensional cenderung hanya memposisikan kita sebagai penikmat pasif.
Sewaktu Mia (didasari ketidakpercayaan pada polisi) nekat melakukan penyelidikan sendiri, antusiasme atas kasusnya pelan-pelan meredup. Naskah buatan Stuckmann pun tak cukup solid melandasi perjalanan selama 91 menit, karena praktis sejak kunjungan Mia ke perpustakaan guna mengumpulkan petunjuk, hampir seluruh pertanyaan telah menemukan jawaban, setidaknya secara tersirat.
Stuckmann tahu betul cara melahirkan gambar-gambar mengerikan yang mengundang rasa tidak nyaman, piawai menentukan timing supaya jumpscare-nya memiliki daya kejut tinggi, pula menguasai trik memupuk intensitas melalui pergerakan kamera yang menyulut kecemasan penonton kala menantikan teror macam apa yang hendak dilemparkan ke layar.
Masalahnya semua itu tak kuasa menambal kekosongan di babak kedua, di mana Stuckmann, alih-alih menebalkan misteri, memilih mengirim Mia dalam penelusuran kosong nan berlarut-larut yang dipaksa bergulir lebih lama dari seharusnya. Setidaknya Stuckmann menyadari pentingnya penceritaan visual. Beberapa pengungkapan misterinya dipaparkan menggunakan bahasa visual ketimbang eksposisi malas yang mencekoki paksa penonton dengan setumpuk fakta.
Shelby Oaks adalah pembuktian bahwa sebagai seorang kritikus, Chris Stuckmann memang memahami hal apa saja yang dapat menguatkan presentasi sebuah film. Poin tersebut nampak dari pilihannya untuk menutup narasi di tengah peningkatan intensitas yang terjadi setelah kehadiran suatu twist, yang menegaskan bahwa cerita bakal lebih berdampak bila diakhiri di titik tertinggi. Hanya saja, "memahami" tidak selalu bersinonim dengan "menguasai".
REVIEW - RESURRECTION
Film dibuka dengan layar yang terbakar lalu pelan-pelan berlubang. Melalui lubang itu, dari sudut pandang orang pertama, kita mendapati orang-orang menatap balik ke arah layar. Seolah kali ini kita yang jadi objek tontonan...atau mungkin kita sedang menonton diri sendiri? Di Resurrection karya Bi Gan, film, pencipta, serta penikmatnya "mewujud" sebagai satu kesatuan.
Total ada enam cerita dalam 156 menit durasinya, masing-masing mewakili pancaindra manusia (penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, peraba) plus pikiran. Setiap indra dipaparkan lewat gaya sinematik berbeda, tapi ini lebih dari sebatas surat cinta pada sinema yang jamak kita temui. Ambisi Bi Gan mendorongnya melahirkan kapsul waktu berisi ciri teknis dari masing-masing bentuk sinema (kasat mata), juga ragam rasa yang dihasilkannya (tak kasat mata).
Gagasan dasarnya membicarakan kondisi masa depan, di mana manusia berhasil memecahkan rahasia kehidupan abadi, yakni dengan berhenti bermimpi. Segelintir individu yang tetap mengidamkan bunga tidur dijuluki "Fantasmer" (secara literal punya arti "berfantasi"), dan mereka dianggap mengacaukan stabilitas sehingga mesti diburu. "Jika tak ingin kehabisan lilin, jangan nyalakan lilin itu!" Kurang lebih begitulah logika penghuni dunianya.
Miss Shu (Shu Qi), dengan kekuatannya membedakan realita dan ilusi, termasuk salah satu pemburunya. Targetnya adalah sesosok monster (Jackson Yee) dengan wujud bak gabungan Count Orlok dan Quasimodo, yang tetap ngotot bermimpi, biarpun harus mengorbankan sisa usianya. Dipresentasikan memakai gaya film bisu, pula dilengkapi desain produksi cantik ala sinema ekspresionisme Jerman, segmen inilah benang merah penghubung cerita lainnya.
Ada neo-noir tentang tersangka kasus pembunuhan (pendengaran), tuturan eksistensial beraroma cerita rakyat tentang lelaki yang bertemu Arwah Kepahitan (pengecap), drama keluarga soal pria yang mengajari trik sulap pada seorang bocah (penciuman), romansa berbumbu fantasi dengan estetika ala Wong Kar-wai seputar cinta sesosok pemuda pada perempuan yang baru dikenalnya di tengah isu akhir dunia jelang pergantian milenium (peraba), dan epilog yang membawa kita kembali ke awal (penglihatan).
Semua protagonisnya diperankan oleh Jackson Yee, dan mereka memiliki kesamaan: Bersedia menderita demi merasakan percikan kehidupan kendati cuma sesaat. "Illusion may bring pain, but they're incredibly real", ucap si monster dari segmen pembuka. Sebaliknya, bagi mereka yang menutup hati, perjuangan (bahkan penderitaan), yang mesti dialami kala merumuskan karya seni termasuk sinema mungkin hanya kesemuan konyol.
Resurrection turut membedah sifat ilusif milik sinema, di mana sineas mengakali kemustahilan, menciptakan keajaiban di layar perak dengan cara mengecoh persepsi penonton. Dibantu tim artistiknya yang luar biasa, terutama Dong Jingsong selaku sinematografer, Bi Gan menerapkan banyak trik sinematik dari permainan perspektif kamera, hingga efek visual macam reverse motion, untuk mengaburkan batasan ilusi dan realita.
Mungkin tidak seluruh segmennya patut disebut "mahakarya". Segmen pendengaran cenderung paling lemah tatkala Bi Gan sendiri bak terjerat dalam kerumitan labirin khas noir. Sebaliknya, kisah "romansa akhir zaman" yang menyimbolkan indra peraba jadi puncak pencapaian eksplorasi teknis sang sutradara. Bergerak sekitar 40 menit tanpa putus (single take), secara lincah berubah-ubah sudut pandang, cerdik pula mengolah pencahayaan, kisah sarat kejutan yang dimotori pesona enigmatik Li Gengxi sebagai Tai Zhaomei si perempuan misterius ini adalah ilusi yang menghipnotis.
Kemudian Resurrection ditutup oleh pemandangan puitis nan menggugah yang sekali lagi meleburkan "penonton", "yang ditonton", dan "menonton". Setelah adegan memudar seiring layar turut menghitam, karya Bi Gan ini tidak mati begitu saja. Dia hidup kembali, bangkit di dalam pikiran penontonnya, mengkreasi memori sebagai bahan perenungan maupun diskusi. Karena itulah sinema demikian indah.
REVIEW - SENTIMENTAL VALUE
Sewaktu kecil, sebelum tidur saya sering berimajinasi, apakah barang-barang di rumah bakal kesepian bila disendirikan, dan sebaliknya, bisakah mereka merasa hangat jika terkumpul di satu lokasi. Sentimental Value dibuka oleh narasi yang mengangkat sudut pandang serupa mengenai rumah. Apakah rumah lebih menyukai keheningan atau kebisingan yang penghuninya timbulkan?
Rumah tersebut dihuni oleh kakak-beradik, Nora (Renate Reinsve) dan Agnes Borg (Inga Ibsdotter Lilleaas) sewaktu kecil. Orang tua mereka sering bertengkar, dan berujung pada keputusan sang ayah yang merupakan sutradara ternama, Gustav Borg (Stellan Skarsgård), untuk pergi.
Rumahnya tak megah walau cukup besar, dengan perpaduan warna merah dan hitam yang membuatnya nampak agak intimidatif. Rumah itu sering muncul di establishing shot, seolah Joachim Trier selaku sutradara ingin membangun kesan familiar di hati penontonnya. Terdapat retak di salah satu sisi tembok yang dijadikan latar kala judul film ditampilkan.
Ada keretakan pula dalam hubungan karakternya, terutama terkait cara Nora memandang buruk sang ayah yang dianggap membuang putrinya. Gustav sendiri hendak membuat film lagi selepas vakum belasan tahun. Peran utama ditawarkan pada si putri sulung yang seorang aktris teater, namun Nora segera menolak tanpa mau membaca naskah terlebih dahulu. Sekilas kita tahu, Gustav menulis tentang mendiang ibunya yang meninggal gantung diri di rumah tadi.
Lalu terjadilah perkenalan antara Gustav dan Rachel Kemp (Elle Fanning), aktris ternama Hollywood yang mengagumi karya-karyanya, pula mau berakting di film terbarunya. Rachel mengambil peran yang awalnya ingin Gustav berikan pada Nora, bahkan memungkinkannya mencapai kesepakatan dengan Netflix.
Pemilihan Elle Fanning adalah keputusan brilian. Selain akting kuat, penampilan fisik (rambut pirang, kulit putih, dandanan glamor, aura "Amerika") yang amat berbeda dibanding individu lain di film ini, membuat kedatangannya menonjol bak pengguncang status quo.
Joachim Trier banyak membenturkan dua kutub berlawanan di sini: Amerika vs Eropa, modern vs konservatif, Netflix vs bioskop, dll. Intinya, ragam benturan yang menantang kenyamanan individu, yang gemar menyimpan nilai sentimental perihal sesuatu atau seseorang. Gustav merasakan nilai sentimental dengan rumahnya, hingga berhasrat melahirkan karya tentangnya, juga kehidupan-kehidupan yang pernah terekam di sana.
Tapi Sentimental Value bukan kisah "art imitates life" biasa. Trier menggagas tuturan yang jauh lebih kompleks mengenai pencarian keseimbangan antara ekspresi artistik dan hal personal. Menyelipkan kisah pribadi dalam karya dapat terasa membebaskan, tapi bisa juga menyiksa karena saking dekatnya cerita tersebut. Nora sempat menyampaikan bahwa ia menyukai akting, sebab seni peran memfasilitasinya bertransformasi menjadi sosok lain. Benarkah Nora takut pada keintiman dan dirinya sendiri?
Banyak keresahan yang enggan disederhanakan oleh naskah yang Joachim Trier tulis bersama Eskil Vogt. Keresahan-keresahan kompleks yang mustahil diterjemahkan lewat kata-kata banal atau spektrum emosi tunggal. Bukan mustahil seorang individu menghabiskan seumur hidup untuk mengartikan keresahan yang ia rasakan. Pada proses bedah naskah, setiap Rachel mempertanyakan motivasi karakternya, Gustav selalu bertanya balik, "Menurutmu apa?" Gustav sendiri masih berkutat dalam pencarian.
Kompleksitas tuturannya diperkuat oleh akting para pemain yang mengedepankan kesubtilan. Renate Reinsve sebagai putri sekaligus aktris dengan gangguan kecemasan, memungkinkan penonton membaca setumpuk gejolak perasaan rumit yang menyulut keresahan karakternya. Begitu pun Stellan Skarsgård, terutama lewat reaksinya kala Gustav mendengar Rachel membaca naskah, yang menimbulkan tanya mengenai makna di balik matanya yang berkaca-kaca.
Sentimental Value mungkin kurang bersahabat bagi penonton yang terlalu akrab dengan dramaturgi tiga babak sederhana ala Hollywood. Trier tidak tertarik pada struktur narasi konvensional yang memudahkan penerimaan penikmat karyanya. Alurnya melempar peristiwa demi peristiwa yang sekilas tak saling menyokong, namun eksistensinya substansial guna mengupas lapisan-lapisan cerita yang tidak hanya bertujuan membuat penonton "merasakan", tapi juga mengenali suatu emosi.
Daripada memancing tangis, Sentimental Value, selaku film dengan kecerdasan emosional tinggi, dibuat untuk mendorong kita supaya bisa mendefinisikan makna tangisan tersebut. Setelah film berakhir pun masih tersisa riak-riak perasaan yang sukar diartikan, dan mungkin takkan sanggup saya interpretasikan sekalipun hingga akhir kehidupan. Hati manusia lebih rumit dari alam semesta.
REVIEW - ABADI NAN JAYA
Sebuah mobil melaju tak terkendali, menerobos tarup acara pernikahan yang berdiri di depan rumah si pemilik hajatan. Seorang warga datang menghampiri mobil yang baru berhenti selepas menabrak alat pengeras suara itu, hanya untuk mendapati sang sopir adalah sesosok zombi. Begitulah Abadi Nan Jaya membuka presentasinya, yang biarpun tak mendobrak pakem klasik horor zombi, terasa unik berkat asimilasi antara formula genrenya dengan budaya Indonesia.
Bukan cuma soal hajatan selaku pengganti pesta kebun ala dunia barat. Penyulut wabahnya pun "sangat Indonesia". Semua berawal dari ambisi Sadimin (Donny Damara) memproduksi jamu yang bisa membuat peminumnya awet muda. Efek jamu yang diberi nama "Abadi Nan jaya" itu langsung terasa, sebab hanya dalam hitungan menit, uban serta kerut di wajah Sadimin telah lenyap. Sayang, kemanusiaan Sadimin pun ikut lenyap. Abadi Nan Jaya mengubahnya jadi zombi.
Sadimin ingin melawan kenaturalan lewat upayanya menghadang penuaan. Natur dijadikan bak pasir tempatnya bermain-main sebagai Tuhan. Naskah hasil tulisan sang sutradara, Kimo Stamboel, bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi, memposisikan serbuan zombi selaku dampak kenekatan manusia melawan kehendak alam. Nantinya, zombi pun diberi kelemahan unik, yakni suatu fenomena alam yang melambangkan penyucian atas kebusukan-kebusukan ciptaan manusia.
Pasca bertransformasi, Sadimin pun menyerang keluarganya sendiri: Putri sulungnya, Kenes (Mikha Tambayong), yang siap bercerai setelah mengetahui perselingkuhan suaminya, Rudi (Dimas Anggara); Karina (Eva Celia) si istri kedua yang tetap Sadimin nikahi kendati merupakan sahabat putrinya; dan Bambang (Marthino Lio) si bungsu yang alih-alih mencari pekerjaan, lebih memilih menghabiskan waktu bermain gim di kamar. Sederhananya, keluarga disfungsional.
Seluruh karakternya problematik, dan itu jadi keunggulan. Apalagi jajaran ensambelnya tampil kuat, yang berjasa memoles dinamika cerita sebelum teror zombi mengambil alih sorotan utama. Rahman (Ardit Erwandha) si polisi muda, beserta Ningsih (Claresta Taufan), pacarnya yang berharap segera dinikahi, kelak turut jadi sorotan, sembari membuka jalan bagi filmnya untuk menyentil ketidakbecusan aparat menangani situasi darurat. Kejengahan para penulis akan kinerja polisi seolah diluapkan lewat suatu ledakan yang diposisikan sebagai puncak penceritaan.
Skenario serangan zombi yang ditawarkan tidaklah baru. Karakter yang terkurung di sebuah bangunan, pasukan mayat hidup yang mengepung sumber suara, semuanya adalah pakem familiar yang bertanggung jawab membuat subgenre satu ini dianggap sudah usang. Menjadi lebih segar tatkala keklisean tersebut dikawinkan dengan pemandangan khas budaya Indonesia, sebutlah zombi yang menyerang rombongan tamu acara pernikahan di atas truk, spekulasi salah satu karakter bahwa kemunculan mayat hidup diakibatkan oleh kerasukan makhluk halus, dan lain-lain.
Unsur kekerasan yang ditawarkan pun tidak seberapa ekstrim, namun kejelian Kimo memainkan tempo guna menjaga keseruan selama sekitar 117 menit membuat "kejinakan" tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Belum lagi tambahan daya hibur dari selipan kalimat-kalimat komedik yang memperkaya warna filmnya tanpa menimbulkan inkonsistensi tone, sebab beberapa di antaranya berbentuk celotehan yang wajar bila secara spontan terlontar dari mulut seseorang kala didera kepanikan, daripada usaha melawak tanpa kenal waktu.
Abadi Nan Jaya masuk dalam golongan film zombi, di mana tokoh-tokohnya tak mengenali mayat hidup tersebut sebelum terjadinya serangan. Kata "zombi" tak sekalipun diucapkan, bahkan oleh Bambang yang senantiasa menghabiskan waktu di depan komputer. Kondisi itu dipakai guna melogiskan tindakan-tindakan karakternya yang (di mata penonton dengan segala pengetahuan kita mengenai zombi) terkesan bodoh. Membunyikan klakson mobil di area terbuka misalnya. Tapi, mengetahui seluk-beluk masyarakat Indonesia, saya rasa ketidaktahuan dan kebodohan tersebut memang mungkin terjadi.
(Netflix)

%20(1).png)

%20(1).png)

%20(1).png)



.png)

%20(1).png)