REVIEW - KITAB SIJJIN & ILLIYYIN
Judul film ini merujuk pada dua kitab berisi catatan amal buruk dan (sijjin) amal baik (illiyyin) manusia, yang merepresentasikan gesekan antara kebaikan dengan keburukan selaku konflik utama Kitab Sijjin & Illiyyin. Entah sudah berapa ratus horor Indonesia mengedepankan perihal tersebut. Tapi ada sebuah twist: si protagonis mewakili sisi jahat dalam pertarungan itu.
Selepas kematian aneh kedua orang tuanya semasa ia kecil, Yuli (Yunita Siregar) senantiasa hidup dalam penderitaan akibat siksaan Ambar (Djenar Maesa Ayu). Yuli adalah anak hasil perselingkuhan sang ibu dengan suami Ambar. Layaknya kehidupan Cinderella di bawah siksaan si ibu tiri, Yuli pun mesti menjalani hari bak pembantu. Laras (Dinda Kanyadewi), putri tunggal Ambar, juga tak ketinggalan menyiksanya.
Naskah buatan Lele Laila bergerak seperti sinetron yang mampu menyulut kebencian penonton pada deretan karakter yang bersikap kejam terhadap protagonisnya. Elegan? Mungkin tidak, tapi jelas efektif. Suami Laras, Rudi (Tarra Budiman), serta dua anak mereka, Tika (Kawai Labiba) dan Dean (Sultan Hamonangan), mungkin tak melukai secara langsung, namun mereka diam saja menyaksikan nasib buruk Yuli, seolah semuanya pemandangan lumrah.
Jika Cinderella tetap bersikap positif sembari bernyanyi bersama kicauan burung, maka Yuli memilih berpaling pada bisikan setan. Dibantu oleh dukun bernama Pana (Septian Dwi Cahyo), ilmu santet jadi jalan keluarnya. Yuli ingin Ambar beserta seluruh anggota keluarganya mati mengenaskan, tidak terkecuali dua anak Laras yang masih belia.
Ritual santetnya mengharuskan Yuli memakai mayat segar sebagai pengganti boneka teluh. Mayat itu Yuli bedah, ia masukkan nama-nama target ke dalamnya, kemudian dijahitnya kembali lubang itu dengan cara yang tak sempurna. Tim artistik Kitab Sijjin & Illiyyin memperlihatkan hasil kerja mumpuni dengan memanfaatkan efek praktikal untuk memoles proses menjijikkan tersebut.
Beberapa efek praktikal turut dimanfaatkan kala ilmu santet mulai menyerang tubuh korbannya. Elemen kekerasannya tidak seberapa ekstrim, namun pengarahan Hadrah Daeng Ratu memastikan bahwa setiap kaca yang menusuk telapak kaki, atau kecoa yang berusaha dicabut dari bola mata (ini sungguhan), memunculkan rasa ngilu bagi penontonnya.
Mengikuti protagonis yang sedari awal telah terjerumus ke jurang kegelapan tanpa ada niat untuk kembali ke arah cahaya cukup memberi modifikasi bagi formula horor klenik usang yang filmnya pakai. Minusnya, tak ada lagi misteri untuk ditelusuri guna menambah variasi dalam narasi. Sampai di satu titik alurnya semakin repetitif, sebatas berkutat pada pola "Yuli menyantet-korban tersantet-pengajian/pemakaman diadakan."
Lemahnya varian dalam alur terkadang membuat saya berharap Kitab Sijjin & Illiyyin benar-benar menelusuri mitologi dua kitab itu, alih-alih sekadar memposisikan mereka selaku simbolisme ala kadarnya. Setidaknya dari konfrontasi "baik vs jahat" itu, akting kuat dari Yunita Siregar, yang mampu mencuatkan kompleksitas sehingga penonton pun merasakan dilema dalam menyikapi tindakan Yuli, serta Kawai Labiba yang total perihal mengolah emosi, memperoleh sorotan memadai.
Santet yang Yuli kirim demikian kuat, tapi ia punya syarat: target haruslah seorang pendosa. Semakin besar dosa seseorang, semakin gampang santet menyerang. Tika datang selaku antitesis bagi Yuli, sebagaimana kitab sijjin dan illiyyin eksis secara bersamaan meski berseberangan. Sebesar apa pun cobaan yang mendera, Tika tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Semua berkat ajaran Abuya (David Chalik), ustaz yang di dua babak awal tak ubahnya pemuka agama biasa yang lebih banyak berceramah ketimbang bertindak, sebelum kemudian bertransformasi menjadi jagoan tangguh di klimaks. Sewaktu santet kiriman Yuli berujung membuat salah satu karakter kerasukan, dengan tenaga dalam miliknya, Abuya membanting si setan hingga lantai di sekelilingnya remuk. Epik! Horor religi kita perlu lebih banyak karakter ustaz seperti Abuya (dan tentunya Qodrat), yang bukan cuma piawai merangkai kata atau merapal doa. Mungkin di dunia nyata pun demikian.
REVIEW - SORRY, BABY
Sorry, Baby selaku debut penyutradaraan Eva Victor, mengangkat isu soal kekerasan seksual terhadap perempuan, dan ia menanganinya dengan sensitivitas tinggi. Tidak ada bagian yang terasa eksploitatif, tiada pula adegan problematik atau kealpaan merangkai kata yang eksistensinya layak dipertanyakan. Sederhananya, semua terasa benar dalam film ini.
Narasinya dibagi jadi beberapa segmen yang merangkum tahun-tahun dalam hidup protagonisnya dan berjalan secara non-linear. Agnes (Eva Victor) tinggal sendiri di sebuah kota kecil, sembari bekerja sebagai dosen di universitas tempatnya dahulu berkuliah. Dia memilih menetap, meski kota dan kampus itu pernah mendatangkan peristiwa traumatis baginya. Agnes jadi korban perkosaan oleh Decker (Louis Cancelmi), pembimbingnya selama menulis tesis, di kediaman si dosen.
Sekilas dilihat, Agnes bak tak menyimpan luka. Sewaktu sahabat lamanya, Lydie (Naomi Ackie), datang berkunjung, mereka terus berbagi canda tawa. Kita pun turut dibuat tergelak, karena baik sebagai aktor, sutradara, maupun penulis naskah, Eva Victor, piawai menyelipkan kejenakaan, yang ada kalanya datang dalam wujud komedi kelam.
Sorry, Baby menolak stigma, bahwa perempuan korban kekerasan seksual harus selalu menampakkan penderitaan dan dilarang beranjak dari kesedihan. Agnes adalah individu yang tidak hanya didefinisikan dari kejadian tersebut. Bahkan bersama Lydie, ia bisa membicarakan sisi lucu dari aktivitas seksual. Film ini bukan soal kasus yang merenggut hidup individu, namun sebaliknya, tentang bagaimana si individu merebut kembali hidupnya untuk terus dijalani.
Berlawanan dengan gejolak yang masih acap kali mengusik batin karakternya, Victor mengetengahkan suasana damai kala bercerita. Penderitaan enggan ia sulap jadi komoditas narasi. Penonton tidak coba dimanipulasi, tapi diajak melewati proses observasi. Agnes yang sekilas nampak baik-baik saja, sejatinya memperlihatkan beberapa "pertanda", yang bakal dijelaskan pasca alur filmnya mundur ke tahun-tahun yang telah lalu. Mengapa Agnes merasa khawatir belum mengunci pintu? Apa pula alasan Lydie segera mematikan televisi yang menayangkan 12 Angry Men?
Kilas baliknya turut berfungsi melempar kritik terhadap cara masyarakat, entah dari institusi pendidikan, tenaga medis, hingga aparat hukum, perihal ketidaktepatan mereka memperlakukan korban kekerasan seksual. Perenungan menarik dihadirkan kala suatu ketika Agnes ditunjuk sebagai juri sebuah persidangan, dan definisi bagi "praduga tak bersalah" serta "saksi langsung" dibacakan. Terdengar masuk akal, sampai kita membahas kasus perkosaan di tempat privat sebagaimana dialami Agnes.
Sorry, Baby menegaskan bahwa pemahaman akan kondisi individu seperti Agnes bukanlah persoalan gender, menilik bagaimana beberapa perempuan pun gagal memberi respon sensitif di hadapan Agnes. Semua soal empati. Penuturan Victor dipenuhi empati. Pengadeganannya sarat empati, demikian pula kalimat-kalimat dalam naskahnya, yang penuh gambaran mengenai kompleksitas perasaan para penyintas kekerasan seksual.
Selepas peristiwa pemerkosaan (yang membuktikan bahwa adegan semacam itu tetap dapat terasa mencekam tanpa harus dipaparkan secara eksplisit), kita diajak mengamati perjalanan Agnes pergi dari rumah si pelaku. Kamera bergerak begitu hati-hati mengikuti Agnes, dan selama beberapa saat tetap bertahan di belakang si protagonis, enggan mengeksploitasi emosinya, seolah hanya ingin menjaga sembari memberi ruang bagi korban. Itulah yang semestinya kita lakukan.
REVIEW - BLACK BOX DIARIES
Black Box Diaries mendokumentasikan investigasi sang sutradara, Shiori Itō, terhadap kasus pemerkosaan yang menimpanya. Kita melihatnya melangsungkan konferensi pers, di mana untuk kali pertama, Itō mengungkap peristiwa yang menimpanya ke publik. Mayoritas media menyudutkannya, sedangkan publik (banyak di antaranya perempuan) menuduhnya melakukan panjat sosial, bahkan menyebutnya "murahan" hanya gara-gara tak menutup semua kancing di kemeja yang ia kenakan.
Deretan reaksi di atas sudah cukup untuk menjustifikasi eksistensi dokumenter ini, selaku medium bersuara bagi para perempuan yang dibisukan oleh paham seksisme. Apalagi si pelaku, Noriyuki Yamaguchi, adalah jurnalis terpandang sekaligus penulis biografi bagi Shinzo Abe yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri, sebelum dibunuh pada tahun 2022.
Laporan pertama Itō ditolak polisi, dengan alasan minimnya bukti kecuali pernyataannya yang berbasis memori. Polisi baru bertindak pasca Itō menyerahkan rekaman CCTV hotel yang memperlihatkan Yamaguchi membawanya masuk secara paksa, namun pada akhirnya dakwaan tetap dibatalkan. Terdapat indikasi campur tangan petinggi pemerintahan. Jepang memang maju secara infrastruktur, namun caranya menangani kasus perkosaan ternyata masih terbelakang.
Memakai kamera smartphone, Itō, yang juga seorang jurnalis, merekam kesehariannya. Kita melihatnya menangis, hancur oleh ingatan traumatis yang bisa kapan saja tiba-tiba menerjang, bahkan sempat menimbang-nimbang untuk bunuh diri. Black Box Diaries tidak unggul dalam hal teknis, tidak pula mendobrak pola narasi dokumenter investigatif, namun "kementahan" yang tersaji merupakan sumber kehebatannya. Sebuah perjalanan intim mengarungi realita personal yang coba disangkal oleh suatu negeri.
Ada kalanya Black Box Diaries terasa sangat menghancurkan. Itō sempat mengajak kita mengintip fotonya semasa kecil sembari bertutur tentang kenangan bersama keluarganya. Sungguh menyakitkan melihat gadis cilik polos di foto tersebut kelak jadi korban kebiadaban laki-laki. Di sisi lain, momen menyentuh tak luput filmnya tangkap. Misal sewaktu beberapa perempuan tua berorasi melontarkan dukungan bagi Itō. Salah satu di antara mereka tidak benar-benar mengingat wajah Itō, namun ia paham betul kalau ada sesama perempuan yang memerlukan dukungan.
Pemerkosaannya terjadi bersamaan dengan mekarnya sakura. Sejak itu Itō tak lagi mampu menikmati cantiknya warna bunga tersebut. Black Box Diaries menunjukkan bagaimana pemerkosaan, atau kasus pelecehan seksual berbentuk apa pun, bisa berdampak menghapuskan keindahan dalam hidup korbannya.
Tapi Itō menolak selalu menampakkan penderitaan di sini. Dia tetap bercengkerama dengan teman-teman, tertawa bersama, pula bersemangat kala berhasil menentukan judul buku (Black Box) yang ia tulis berdasarkan pengalamannya. Black Box Diaries enggan mendefinisikan si protagonis hanya sebagai "korban pemerkosaan". Shiori Itō tetaplah individu dengan segala kompleksitas warna-warninya yang berhak merasakan kebahagiaan.
(Klik Film)
REVIEW - SELEPAS TAHLIL
Tidak ada yang benar-benar memalukan dari adaptasi untuk salah satu cerita horor dari siniar Lentera Malam ini. Selepas Tahlil, yang bicara tentang harga yang mesti dibayar oleh manusia pendosa, cuma mempunyai satu dosa: meneruskan kemonotonan dan minimnya keberagaman dalam horor Indonesia. Masih cerita yang sama dengan cara menakut-nakuti yang juga serupa.
Alurnya masih membahas soal kematian yang tidak berlangsung mulus akibat semasa hidupnya, almarhum melakukan perjanjian dengan setan untuk mendapatkan ilmu, masih soal duka yang dirasakan keluarganya, masih berpusat pada acara tahlilan sebagaimana terpampang jelas di judul, masih pula sangat Jawasentris dan Islam-sentris.
Saras (Aghniny Haque) dan Yudhis (Bastian Steel) hanya ingin mengubur ayah mereka, Hadi (Epy Kusnandar), namun rintangan selalu datang menghadang. Di satu kesempatan kala tahlilan tengah berlangsung, jenazah Hadi pelan-pelan bangkit, terduduk, sebelum mengucapkan kalimat yang menyiratkan bahwa maut bakal menjemput keluarganya. Entah sudah berapa kali pemandangan serupa dipakai oleh horor kita.
Konflik lain berasal dari wasiat Hadi, yang meminta dimakamkan di kampung halamannya. Ketika adik Hadi, Setyo (Adjie N.A.), tiba guna menjemput jenazah kakaknya, Saras menolak. Dia enggan terpisah jauh dari sang ayah. Naskah buatan Husein M. Atmodjo sejatinya membawa niat baik, dengan memperlihatkan fase denial yang mengiringi proses berduka manusia. Aghniny pun (seperti biasa) tampil total menyuarakan carut-marut perasaan karakternya.
Sayang, naskahnya sendiri tidak sebegitu dalam menyelami dinamika psikis tersebut. Durasi 96 menitnya pun tersusun atas alur yang tipis, minim misteri yang bisa mengikat atensi, pula terkesan repetitif akibat ketidakmampuan pembuatnya mengatasi agar acara tahlilan yang beberapa kali dilangsungkan tidak cuma berakhir sebagai pengulangan monoton.
Upaya positif untuk menggarap horor secara sungguh-sungguh sebenarnya terasa betul dimiliki oleh Selepas Tahlil. Departemen teknis digarap cukup solid, Adriano Rudiman selaku sutradara mampu mengambil titik tengah dalam hal mengolah pacing supaya filmnya bergerak penuh kesabaran tanpa harus terkesan berlarut-larut, alurnya pun menolak sekadar mengumbar penampakan. Tapi apa yang tersisa dari sebuah film yang ingin bercerita namun tak dibarengi penceritaan mumpuni?
Apalagi terornya tampil tak seberapa mencekam. Masalah sudah terasa sedari opening-nya, yang luput membangun intensitas atau sekadar menyiratkan kengerian. Padahal adegan pembuka berperan besar memengaruhi antisipasi serta kesediaan penonton menaruh atensi bagi sebuah film. Sewaktu babak puncaknya sebatas diisi rukiah ala kadarnya yang berlangsung tanpa ketegangan maupun kebaruan, saya pun tidak lagi terkejut.
REVIEW - SORE: ISTRI DARI MASA DEPAN
Sore: Istri dari Masa Depan, yang berangkat dari serial web berjudul sama, menangani elemen perjalanan waktunya lewat pendekatan magical realism, alih-alih fiksi ilmiah yang berupaya memberi penjelasan logis. Keajaibannya, yang menelusuri gagasan bahwa cinta mampu menembus ruang dan waktu, memang bukan untuk dijabarkan, tapi dirasakan. Sungguh kisah yang indah.
Pertama kali kita menemui Jonathan (Dion Wiyoko), ia sedang mengambil foto di tengah hamparan es Finlandia. Lanskap megah dengan aurora yang terlukis cantik di langit mampu ditangkap oleh Dimas Bagus Triatma Yoga selaku sinematografer. "Gambar indah" adalah sesuatu yang bakal secara rutin penonton temui sepanjang dua jam durasi filmnya.
Sayangnya kondisi batin si protagonis tidak seindah itu. Alam Finlandia (juga nantinya Kroasia) bukan sebatas pajangan indah untuk kartu pos, tetapi tanah asing yang jadi panggung bagi perjalanan sesosok individu, yang sedang berkutat dengan kesendirian dan keterasingannya.
Naskah garapan sang sutradara, Yandy Laurens, membagi alurnya ke dalam tiga babak, yang masing-masing dipisahkan oleh tulisan sub-judul besar di layar. Di dalam teks bertuliskan "Jonathan" yang jadi tajuk babak pertamanya, kita melihat lapisan es yang pecah oleh terjangan kapal pemecah es. Begitulah Jonathan. Hatinya dingin, dan tanpa sadar tengah mengalami keretakan sedikit demi sedikit.
Jonathan tinggal seorang diri di Kroasia, berharap dapat menggelar pameran tunggal dengan bantuan Karlo (Goran Bogdan melahirkan karakter pendukung yang mencuri perhatian), agen sekaligus satu-satunya kawan dia di sana. Tapi sahabat terdekatnya adalah botol-botol alkohol serta puntung rokok menggunung yang menemaninya bekerja hingga larut malam. Jonathan menaruh kekhawatiran terhadap perubahan iklim yang menghancurkan Bumi, bahkan mengabadikannya lewat karya foto, namun membiarkan dirinya, baik secara fisik maupun psikis, pelan-pelan hancur.
Sampai suatu pagi, Jonathan terbangun dan mendapati seorang perempuan sudah duduk di sampingnya. Sore (Sheila Dara Aisha) nama si perempuan, yang sembari tersenyum simpul, memperkenalkan diri sebagai "istri Jonathan dari masa depan". Di awal kemunculan Sore, Sheila Dara membawa kesan ethereal yang misterius nan menghipnotis, sebelum nantinya, seiring kita mengenal karakternya lebih lanjut, mata sang aktris mulai mendefinisikan kekuatan cinta yang luar biasa. Sedangkan Dion Wiyoko tampil solid selaku perpanjangan hati penonton dalam menyikapi peristiwa misterius yang menimpa Jonathan.
Sore datang untuk memperbaiki hidup Jonathan, yang menurut pengakuannya, akan meninggal beberapa tahun ke depan akibat serangan jantung. Minuman keras dan rokok Jonathan dibuang, pola tidurnya diperbaiki, menu makannya dimodifikasi, sedangkan lari pagi kini jadi rutinitas tiap hari. Berlawanan dengan fenomena alam yang menandai peralihan terang menuju gelap, Sore membawa hidup Jonathan bertransisi ke arah lebih baik. Setidaknya itu yang coba ia lakukan.
Yandy tidak sedang berceramah mengenai hidup sehat. Sore: Istri dari Masa Depan bukan arahan mengenai dampak buruk nikotin atau seberapa berbahaya konsumsi alkohol secara berlebih. Di matanya, luka hati yang luput ditangani bisa jauh lebih mematikan ketimbang segala bahan kimia di atas, dan cinta merupakan obat paling mujarab, dengan pasangan yang sungguh-sungguh mengasihi sebagai dokternya.
Di atas kertas terdengar cheesy, tapi Yandy dengan sensitivitas bertutur yang senantiasa menguatkan karya-karyanya mampu menghindari kesan murahan, untuk memotret cinta layaknya fenomena agung yang melengkapi keindahan semesta. Tengok caranya menggarap konklusi (yang rasanya tepat disebut "anti-La La Land ending"), di mana Yandy memadukan pemakaian lagu tepat guna dengan penyuntingan taktis Hendra Adhi Susanto, guna memvisualkan "gelombang perasaan yang menerjang hebat." Emosinya memuncak. Kita bukan sedang melihat akhir, tapi justru awal sebuah cerita, sebagaimana sore bukan bertugas mengakhiri hari, melainkan mengawali malam panjang dengan segala romantismenya.
REVIEW - SUPERMAN
Perkenalan saya dengan komik pahlawan super Amerika terjadi lewat terbitan Misurind yang waktu itu menguasai pasar. Karena masih duduk di bangku SD, saya pun cuma asal mengambil beberapa judul tanpa memperhatikan urutan nomornya. Akibat tidak mengikuti cerita dari awal, banyak poin cerita luput saya pahami, sejumlah tokoh sampingan pun tidak saya kenali. Tapi pengalaman membaca yang dihasilkan sungguh luar biasa. Rasanya seperti bergabung di tengah jalan, dalam petualangan besar yang sudah berlangsung beberapa waktu.
Superman karya James Gunn memantik perasaan serupa. Ketika film dimulai, sudah tiga dekade berlalu sejak kedatangan Kal-El (David Corenswet) ke Bumi, di mana selama tiga tahun terakhir, sang putra terakhir Krypton memulai karirnya sebagai Superman si pahlawan umat manusia. Permusuhannya dengan Lex Luthor (Nicholas Hoult) telah memanas, romansanya dengan Lois Lane (Rachel Brosnahan) pun telah terjalin.
Perihal menumpas ancaman, Superman tidak sendiri. Anggota Justice Gang yang terdiri atas Guy Gardner/Green Lantern (Nathan Fillion), Mister Terrific (Edi Gathegi), dan Hawkgirl (Isabela Merced) turut ambil bagian. Dunianya sudah berjalan jauh sebelum penonton tiba, dan bakal terus bergulir selepas kita meninggalkan bioskop.
Perayaan terhadap komik pahlawan super. Itulah yang ingin Gunn sajikan. Dia pun enggan membatasi Superman versinya dalam satu era. Fase Silver Age yang dikenal lewat kekonyolannya tidak luput dirayakan, misal saat Lex Luthor coba merusak reputasi Superman, dengan mengutus pasukan monyetnya untuk menciptakan ujaran kebencian di internet. Gunn memang jagonya menangani keanehan khas komik. Karakter macam Mister Terrific yang di permukaan terkesan konyol pun bisa dibuatnya beraksi secara keren.
Era modern yang lebih kompleks pun direpresentasikan dengan cara memanusiakan Superman. Sebagaimana film-film superhero lain buatannya, di sini Gunn kembali menunjukkan kalau karakterisasi solid yang tak menutup mata perihal ketidaksempurnaan si protagonis, tidak bersinonim dengan kegelapan atau keseriusan berlebih (walau ada kalanya pendekatan tersebut diperlukan).
Kisahnya bermula kala Superman berada di titik paling rendah. Si metahuman terkuat untuk pertama kalinya mengalami kekalahan, hingga memerlukan pertolongan anjingnya, Krypto. Dari situlah narasi yang menjauhi pakem klise film pahlawan super digulirkan. Beberapa kali kita mendapati Superman kewalahan mengatasi ancaman Lex Luthor. Bukan berarti ia lemah. Kemenangan tak mendefinisikan kepahlawanan. Superman adalah perwujudan sisi terbaik manusia, yang senantiasa melihat sisi baik dari manusia. Sewaktu ia mengudara, kemudian lagu tema ikoniknya terdengar, harapan akan dunia yang lebih baik seketika menyeruak. Itulah kepahlawanan.
Karenanya, di hadapan kompleksitas dunia modern, pola pikir Superman nampak terlalu naif. Dia hanya ingin menyelamatkan semua makhluk, dari seekor tupai kecil, maupun manusia yang terkekang oleh represi. Di antara tetek bengek geopolitik, tendensi kolonisasi oleh negara-negara adidaya, juga prasangka-prasangka terhadap mereka yang dianggap berbeda, Superman tetap menomorsatukan cinta, bahkan tatkala cinta terkadang menyakitinya, entah dalam bentuk pertengkaran dengan Lois, maupun saat publik mencapnya "alien jahat".
David Corenswet memberi humanisme dalam diri karakternya, baik sebagai Clark Kent atau Superman. Dia masih hijau, belum stabil secara emosi, bukan pula "dewa di antara manusia" layaknya interpretasi Christopher Reeve. Corenswet melahirkan figur pahlawan yang lebih relevan untuk masa sekarang. Di kutub yang berlawanan, Hoult membuat penonton mudah mengutuk aksi Lex Luthor, yang sebagaimana banyak "penjahat" zaman modern, begitu gemar menyebarkan sudut pandang negatif.
Klimaks Superman memang cenderung mengecewakan. Puncak pertarungan sosok metahuman terkuat mestinya lebih bombastis daripada baku hantam generik sebagaimana yang Gunn sajikan di sini. Tapi bahkan di tengah penurunan kualitas tersebut, filmnya menolak kehilangan relevansi. Babak ketiganya tak melibatkan invasi alien atau monster interdimensional. Sebatas dampak dari keserakahan dan kebencian umat manusia yang tidak lagi bisa dikendalikan. Tapi setidaknya, semesta film ini mempunyai pahlawannya yang selalu bisa mendatangkan harapan.