Seperti banyak film independen dan/atau
arthouse lokal lain, dalam menyajikan
isu berbalut kultur suatu daerah yang jarang dieksplorasi, yakni Pegunungan
Pipikoro, Sulawesi Selatan, Mountain Song—yang
menyabet penghargaan “Penulis Naskah Terbaik” di Asian New Talent Award pada Festival Film Internasional Shanghai 2019—menerapkan
tempo lambat, lanskap alam, still shot,
juga kesunyian pemberi nuansa kontemplatif. Bicara tentang kebaruan, sesungguhnya
karya sutradara sekaligus penulis naskah Yusuf Radjamuda ini tidak seberapa
spesial. Toh film tidak melulu soal “baru”.
Tokoh utamanya adalah bocah bernama
Gimba (Alqusyairi), yang tinggal bersama ibu dan kakeknya. Sang ibu tengah
sakit, dan Gimba yang selalu ditinggal sendirian di sebuah gubuk selama ibunya
bekerja, mengkhawatirkan kondisinya. Sempat di sekuen pembukanya, Gimba
ketakutan setengah mati kala dari jauh melihat warga desa menandu seseorang.
Dia berteriak, menangis, mengira itu ibunya. Beruntung, ia salah kira.
Wajar Gimba secemas itu. Di desa
tersebut, sakit (kemungkinan besar) berarti mati. Petugas kesehatan, termasuk
dokter, hanya datang beberapa waktu sekali. Bila ada orang sakit, ia harus
ditandu menempuh jarak luar biasa jauh, menuruni gunung, untuk mencapai rumah
sakit terdekat, kemudian dijemput lagi oleh tim penjemput seusai berobat.
Banyak warga keburu meninggal di tengah perjalanan, termasuk ayah Gimba.
Hanya dari satu elemen itu saja,
Yusuf mampu menyatakan betapa pentingnya Mountain
Song untuk disimak. Walau tidak dibarengi hal baru dalam urusan
penggarapan, film ini punya informasi baru bagi penonton. Tantangan berikutnya
adalah seberapa jauh Mountain Song sanggup
menjaga ketertarikan penonton. Di sinilah filmnya kerap tersandung dalam
pendefinisian “observasi” dan “kontemplasi” di skena arthouse.
Persis sebelum ini, saya membahas
bagaimana Yosep Anggi Noen lewat The
Science of Fictions berhasil memaknai cara bertutur alternatif supaya tidak
terkesan “asal berat”. Yusuf Radjamuda belum memiliki kapasitas serupa. Benar
bahwa penerapan still shot guna
menangkap lanskap-lanskap pegunungan sembari menempatkan Gimba, dalam porsi
kecil, di tengah atau sudut layar, efektif menggambarkan kondisi batin
karakternya. Gimba dihantui kematian, yang melahirkan ketakutan atas
kesendirian.
Tapi di luar itu, gaya “artsy” lain, justru kerap mengurangi
dampak yang diinginkan. Ambil contoh adegan “lempar tangkap buah” Gimba dan
sang ibu. Pemandangan itu hangat, menggelitik, sembari menyiratkan bagaimana
secara tidak langsung, Gimba “dilatih” agar tahu buah mana yang cukup matang
untuk ditumbuk. Tapi akibat berlangsung terlalu lama, rasanya malah melelahkan.
Pun instruksi agar jajaran pemain berbicara lirih nan pelan. Bila menangkap
realisme adalah tujuan besar filmnya, keputusan tersebut justru melucutinya.
Di tengah kesendiriannya menanti
kepulangan ibu, Gimba kerap mengalami peristiwa di luar nalar. Seorang gadis
cilik misterius menyambanginya, pun sesekali Gimba kehilangan kesadaran,
kemudian berpindah ke alam lain. Ke mana pun arah Gimba melangkah di alam ini—yang
gemar memperdengarkan suara-suara aneh tanpa wujud—ia selalu kembali ke tempat
semula. Mengambil istilah Jawa, mungkin Gimba “keselong”. Tapi mistisisme milik Mountain Song bukan bentuk ancaman jahat. Sebaliknya, bersama
ajaran-ajaran dan lagu dari sang ibu, makhluk-makhluk tak kasat mata ini merupakan
“nyanyian” yang menemani, membantu Gimba menghadapi kesendirian.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar