JAFF 2019 - THE SCIENCE OF FICTIONS
Rasyidharry
November 24, 2019
Drama
,
Ecky Lamoh
,
Gunawan Maryanto
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Teoh Gay Hian
,
Yasuhiro Morinaga
,
Yosep Anggi Noen
Tidak ada komentar
Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012), A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One (2013,
film pendek), Istirahatlah Kata-Kata (2016).
Urusan merangkai judul menarik nan estetik, serahkan pada Yosep Anggi Noen.
Tidak terkecuali The Science of Fictions alias
Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah, yang berkesempatan
ditayangkan di dua festival film internasional prestisius, yaitu Locarno Film
Festival dan AFI Fest.
Bukan cuma judul, gagasannya pun unik.
Teori konspirasi soal pemalsuan pendaratan di bulan sudah biasa. Tapi bagaimana
jika proses pembuatan video rekayasa itu dilakukan di Gumuk Pasir Parangkusumo,
Yogyakarta? Begitulah yang terjadi dalam film ini. Alkisah, Siman (Gunawan
Maryanto) melihat pengambilan gambar pendaratan di bulan, ditangkap, lalu
dipotong lidahnya. Sejak itu hidup Siman bergerak lambat layaknya astronot di
luar angkasa.
Sebenarnya pendaratan di bulan
sebatas penghantar saja. Ketimbang itu, poin utama The Science of Fictions adalah soal aktivitas merekam. Seperti
judulnya, ini kisah tentang “ilmu” dalam penciptaan fiksi. Bahwa sekarang,
realita dan fiksi sudah jadi dua entitas yang sukar dibedakan. Bagaimana di
masa kini semua orang dapat dengan mudah merekam, lalu membuat cerita sendiri
semaunya dari situ. Bagaimana semua jadi bahan tontonan, bahkan berkaca dari
adegan penutupnya, mungkin tanpa sadar kita pun termasuk bahan tontonan itu.
Mungkin tidak seunik apa yang
disiratkan sinopsisnya, tapi itu tak melemahkan filmnya. Anggi, yang kembali
menulis naskahnya sendiri, tetap cerdik bermain metafora yang memperkaya
perjalanan kita mengarungi dunia Siman yang tidak punya definisi pasti soal
latar waktu. Memulai kisah di tahun 1960an, yang turut mencakup tragedi 30
September 1965, kita mendapati karakternya memiliki telepon genggam. Ini bukan
kealpaan. Mungkin Anggi sedang mempertontonkan “the science of fictions” itu sendiri, alias seni dalam mendukung
tuturan fiksi, di mana mendobrak logika sah-sah saja.
Kebebasan berimajinasi itu dipakai
Anggi guna menyelipkan momen-momen beraroma surealis, misalnya keberadaan sosok
Sang Aktor (Ecky Lamoh) yang dengan seragam ditambah perawakannya (kecuali
rambut panjang Ecky) mengingatkan kepada politikus Uni Soviet, Leonid Brezhnev,
di mana dia selalu merekam sekitar, serta (tanpa ia sadari) direkam
kehidupannya. Elemen ini masih terkait dengan urusan rekam-merekam tadi.
Gunawan Maryanto kembali
menunjukkan apa itu pendalaman juga olah rasa dalam akting. Tidak perlu sampai
membahas kekacauan batin Siman yang disiratkannya melalui kekuatan ekspresi.
Tengok bagaimana ia bergerak lambat. Ketika saya masih aktif berakting di
teater dulu, salah satu menu latihannya adalah bergerak lambat. Sekilas
gampang, namun percayalah, itu susah. Salah-salah justru kesan dibuat-buat yang
muncul. Gunawan, selaku salah satu dedengkot dunia teater Yogyakarta, begitu
luwes, natural dalam melakoni “tarian astronot” itu.
Siman, yang didera trauma, bergerak
lambat kecuali di saat-saat tertentu sewaktu gagal mengontrol emosi (marah
dan/atau tersulut nafsu), sementara manusia-manusia lain yang tak terjebak masa
lalu, enteng saja melangkah maju. Mereka mengejek Siman, menyebutnya gila, tapi
dasar manusia bermuka dua, banyak yang memanfaatkan Siman dengan berhutang
padanya, atau berebut menjadikannya maskot proyek masing-masing, dari tim
jatilan sampai pengisi acara pernikahan.
Serupa banyak arthouse, The Science of Fictions melaju dalam tempo lambat pun
kerap menerapkan still shot. Bedanya,
dibanding setumpuk sineas termasuk dari Indonesia, Anggi paham jika di istilah “arthouse” terselip kata “art”. Arthouse bukan bermakna memperberat film, melainkan mempercantik,
baik penghantaran rasa atau estetika. Departemen suara contohnya, yang dibantu
kecerdikan Yasuhiro Morinaga (Sekala
Niskala), mampu menyulap suara mesin jahit sampai sendok yang beradu dengan
gelas kaca jadi alunan musik ritmis.
Urusan visual, berkolaborasi dengan
sinematografer siapa pun, selain tampak cantik, Anggi juga memastikan gambarnya
diselubungi misteri yang memancing penonton mengobservasi. Di sini, bersama penataan kamera Teoh Gay Hian (Opera Jawa, Perempuan Punya Cerita, Kucumbu Tubuh Indahku), Anggi mengawali durasi
dengan warna hitam-putih dalam rasio aspek 4:3 yang sesekali terasa
klaustrofobik, lalu begitu kisah memasuki “masa kini”, giliran wide ration dan warna mengisi layar.
Permainan warna, cahaya, serta gerak kamera dalam tempo yang mencerminkan gerakan Siman, menciptakan dunia
yang memanjakan mata pula menantang penonton bernalar dan merasakan, walau
urusan rasa, Anggi belum mampu “mereplikasi” masterpiece-nya, yaitu Istirahatlah
Kata-Kata.
Saya amat mengagumi The Science of Fictions, sampai sekitar
sepertiga akhir hadir dosa besar, kala filmnya menjadikan trauma dan luka hati
sebagai dalih aksi pelecehan seksual. Secara tak langsung kita diajak memaklumi,
bahkan bersimpati atas pelakunya, walau dia akhirnya gagal mendapatkan yang
dimau. Secara pencapaian estetika, kekaguman saya terhadap The Science of Fictions tak menurun, namun ketidakpekaan akan salah
satu isu sosial penting jelas mengurangi nilainya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar