JAFF 2019 - THE SCIENCE OF FICTIONS

Tidak ada komentar
Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012), A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One (2013, film pendek), Istirahatlah Kata-Kata (2016). Urusan merangkai judul menarik nan estetik, serahkan pada Yosep Anggi Noen. Tidak terkecuali The Science of Fictions alias Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah, yang berkesempatan ditayangkan di dua festival film internasional prestisius, yaitu Locarno Film Festival dan AFI Fest.

Bukan cuma judul, gagasannya pun unik. Teori konspirasi soal pemalsuan pendaratan di bulan sudah biasa. Tapi bagaimana jika proses pembuatan video rekayasa itu dilakukan di Gumuk Pasir Parangkusumo, Yogyakarta? Begitulah yang terjadi dalam film ini. Alkisah, Siman (Gunawan Maryanto) melihat pengambilan gambar pendaratan di bulan, ditangkap, lalu dipotong lidahnya. Sejak itu hidup Siman bergerak lambat layaknya astronot di luar angkasa.

Sebenarnya pendaratan di bulan sebatas penghantar saja. Ketimbang itu, poin utama The Science of Fictions adalah soal aktivitas merekam. Seperti judulnya, ini kisah tentang “ilmu” dalam penciptaan fiksi. Bahwa sekarang, realita dan fiksi sudah jadi dua entitas yang sukar dibedakan. Bagaimana di masa kini semua orang dapat dengan mudah merekam, lalu membuat cerita sendiri semaunya dari situ. Bagaimana semua jadi bahan tontonan, bahkan berkaca dari adegan penutupnya, mungkin tanpa sadar kita pun termasuk bahan tontonan itu.

Mungkin tidak seunik apa yang disiratkan sinopsisnya, tapi itu tak melemahkan filmnya. Anggi, yang kembali menulis naskahnya sendiri, tetap cerdik bermain metafora yang memperkaya perjalanan kita mengarungi dunia Siman yang tidak punya definisi pasti soal latar waktu. Memulai kisah di tahun 1960an, yang turut mencakup tragedi 30 September 1965, kita mendapati karakternya memiliki telepon genggam. Ini bukan kealpaan. Mungkin Anggi sedang mempertontonkan “the science of fictions” itu sendiri, alias seni dalam mendukung tuturan fiksi, di mana mendobrak logika sah-sah saja.

Kebebasan berimajinasi itu dipakai Anggi guna menyelipkan momen-momen beraroma surealis, misalnya keberadaan sosok Sang Aktor (Ecky Lamoh) yang dengan seragam ditambah perawakannya (kecuali rambut panjang Ecky) mengingatkan kepada politikus Uni Soviet, Leonid Brezhnev, di mana dia selalu merekam sekitar, serta (tanpa ia sadari) direkam kehidupannya. Elemen ini masih terkait dengan urusan rekam-merekam tadi.

Gunawan Maryanto kembali menunjukkan apa itu pendalaman juga olah rasa dalam akting. Tidak perlu sampai membahas kekacauan batin Siman yang disiratkannya melalui kekuatan ekspresi. Tengok bagaimana ia bergerak lambat. Ketika saya masih aktif berakting di teater dulu, salah satu menu latihannya adalah bergerak lambat. Sekilas gampang, namun percayalah, itu susah. Salah-salah justru kesan dibuat-buat yang muncul. Gunawan, selaku salah satu dedengkot dunia teater Yogyakarta, begitu luwes, natural dalam melakoni “tarian astronot” itu.

Siman, yang didera trauma, bergerak lambat kecuali di saat-saat tertentu sewaktu gagal mengontrol emosi (marah dan/atau tersulut nafsu), sementara manusia-manusia lain yang tak terjebak masa lalu, enteng saja melangkah maju. Mereka mengejek Siman, menyebutnya gila, tapi dasar manusia bermuka dua, banyak yang memanfaatkan Siman dengan berhutang padanya, atau berebut menjadikannya maskot proyek masing-masing, dari tim jatilan sampai pengisi acara pernikahan.

Serupa banyak arthouse, The Science of Fictions melaju dalam tempo lambat pun kerap menerapkan still shot. Bedanya, dibanding setumpuk sineas termasuk dari Indonesia, Anggi paham jika di istilah “arthouse” terselip kata “art”. Arthouse bukan bermakna memperberat film, melainkan mempercantik, baik penghantaran rasa atau estetika. Departemen suara contohnya, yang dibantu kecerdikan Yasuhiro Morinaga (Sekala Niskala), mampu menyulap suara mesin jahit sampai sendok yang beradu dengan gelas kaca jadi alunan musik ritmis.

Urusan visual, berkolaborasi dengan sinematografer siapa pun, selain tampak cantik, Anggi juga memastikan gambarnya diselubungi misteri yang memancing penonton mengobservasi. Di sini, bersama penataan kamera Teoh Gay Hian (Opera Jawa, Perempuan Punya Cerita, Kucumbu Tubuh Indahku), Anggi mengawali durasi dengan warna hitam-putih dalam rasio aspek 4:3 yang sesekali terasa klaustrofobik, lalu begitu kisah memasuki “masa kini”, giliran wide ration dan warna mengisi layar. Permainan warna, cahaya, serta gerak kamera dalam tempo yang mencerminkan gerakan Siman, menciptakan dunia yang memanjakan mata pula menantang penonton bernalar dan merasakan, walau urusan rasa, Anggi belum mampu “mereplikasi” masterpiece-nya, yaitu Istirahatlah Kata-Kata.

Saya amat mengagumi The Science of Fictions, sampai sekitar sepertiga akhir hadir dosa besar, kala filmnya menjadikan trauma dan luka hati sebagai dalih aksi pelecehan seksual. Secara tak langsung kita diajak memaklumi, bahkan bersimpati atas pelakunya, walau dia akhirnya gagal mendapatkan yang dimau. Secara pencapaian estetika, kekaguman saya terhadap The Science of Fictions tak menurun, namun ketidakpekaan akan salah satu isu sosial penting jelas mengurangi nilainya.

Tidak ada komentar :

Comment Page: