20/12/19

HABIBIE & AINUN 3 (2019)

0 View
Di realita, romantika Habibie dan Ainun akan terus abadi dan menyentuh hati, tapi setelah tujuh tahun lalu Habibie & Ainun jadi fenomena saat mencatatkan sekitar 4,6 juta penonton, lalu disusul empat tahun kemudian oleh pengultusan dengan pendekatan blockbuster bernama Rudy Habibie, harus diakui bahwa di layar lebar, kesakralan kisah cinta ini mulai terkikis. Habibie & Ainun 3 menegaskan itu lewat paparan drama yang kembali digarap mewah, diisi akting-akting kuat, namun dilemahkan oleh ketiadaan jiwa.

Jika Rudy Habibie berfokus pada, well, Rudy Habibie (Reza Rahadian), maka film ketiga ini, yang awalnya berjudul Ainun, menceritakan lebih jauh soal kehidupan Hasri Ainun Besari (Maudy Ayunda) sebelum bersatu dengan pasangan sehidup sematinya. Alurnya dibuka saat suatu malam, di acara kumpul keluarga, Habibie menceritakan sosok mendiang sang istri kepada cucu-cucunya. Teguh Widodo, Orlando Bassi, dan Aktris Handradjasa selaku tim tata rias berhasil memperbaiki kekurangan fatal film pertama terkait menuakan para aktor kala secara meyakinkan menyulap Reza menjadi Habibie di usia senja. Sebagai bentuk kepercayaan diri, Reza sempat dibuat membuka pecinya, sekilas menunjukkan uban serta rambut yang telah menipis.

Tentu performa sang aktor turut membantu, di mana melalui detail gestur tangan juga mimik wajah, kerentaan karakternya mampu ditampakkan oleh Reza. Tapi sebaik apa pun aktingnya, Reza tetap tak kuasa menolong CGI buruk, kala latarnya mundur ke era 1950an. Habibie remaja dihidupkan memakai teknologi de-aging menggelikan, yang gagal menciptakan sinkronisasi antara wajah dengan gerak leher Reza. Bukan cuma terlalu mulus (in a weird way), wajahnya seperti melayang. Beruntung ini film tentang Ainun, sehingga kita takkan sering melihat hasil menyedihkan tersebut.

Ainun bercita-cita menjadi dokter meski sebagai wanita, impian itu kerap dianggap remeh. Bahkan begitu diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, diskriminasi gender terus dirasakan, baik dari olok-olok mahasiswa pria, maupun pandangan sebelah mata sang dosen, Pak Husodo (Arswendi Bening Swara). Jadi apakah naskah buatan Ifan Ismail (The Gift, Ayat-Ayat Cinta 2, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta) mengusung pesan female empowerment? Benar bahwa filmnya menyimpan sederet momen perlawanan gambling terhadap seksisme, namun sejatinya, ini hanyalah quasi-empowerment.

Contohnya sewaktu Arlis (Aghniny Haque), sahabat Ainun yang terkenal berani melawan penindasan bahkan memukul senior, mengucapkan kalimat “Ini urusan laki-laki”, saat teman dekatnya, Soelarto (Kevin Ardilova), hendak terlibat baku hantam dengan Ahmad (Jefri Nichol), mahasiswa Fakultas Hukum yang berusaha merebut hati Ainun. Sejak kapan cerita empowerment mengasosiasikan perkelahian sebagai “urusan laki-laki”?

Setelahnya, Habibie & Ainun 3 mengambil sudut pandang menarik terkait tujuannya menguatkan percintaan pasangan legendarisnya. Filmnya mengetengahkan bagaimana mereka bisa langgeng, karena masing-masing mampu belajar dari pengalaman dan kesalahan masa lalu, khususnya hubungan Ainun dengan Ahmad. Bahkan karakter Habibie di sini hanya sebatas pendukung. Setidaknya penonton bisa dibuat memahami itu, meski dilakukan memakai cara gampang, yakni memberi Ahmad karakterisasi yang benar-benar berlawanan dengan Habibie.

Dia lebih agresif, jago merayu wanita, gemar berkelahi, selalu mengalihkan pembicaraan sewaktu Ainun menanyakan soal rencana masa depannya, dan ingin keluar dari Indonesia. Tidak diragukan lagi, Jefri adalah jagonya perihal memerankan tokoh berkepribadian seperti itu, dengan tenaga yang menjadi salah satu dinamo utama penggerak filmnya. Setelah Bebas, ini merupakan kali kedua Jefri dan Reza bermain di satu judul tapi tidak berbagi adegan bersama. Saya berharap suatu hari bisa menyaksikan keduanya bertatap muka di layar.

Seperti Rudy Habibie, Hanung Bramantyo kembali menjadi sutradara. Bermodal pengalaman hampir dua dekade, Hanung adalah sutradara yang hafal betul formula tontonan arus utama agar bisa dinikmati penonton sebanyak mungkin. Bagaimana kamera harus diposisikan supaya gambar nyaman dilihat, bagaimana cerita mengalir supaya mudah diikuti, atau kapan musik mesti muncul dan tenggelam demi mendramatisasi peristiwa. Mungkin Hanung sudah melakukan itu secara otomatis. Tapi otomatisasi itu pula yang membuat film ini bak tanpa jiwa. Habibie & Ainun 3 seperti dibuat berdasarkan rumus-rumus pasti ketimbang suatu permainan rasa.

Bakal semakin kosong andai filmnya tak memiliki Maudy Ayunda dengan segala sensibilitasnya yang sanggup membedakan mana “kelembutan” dan mana “kelemahan”, juga Arswendi Bening Swara yang di balik sikap galak serta kata-kata pedasnya, juga menyimpan keteduhan dalam bertutur kata. Habibie & Ainun 3 merupakan film yang digarap secara kompeten, layak tonton, tetapi urung mengulangi pencapaian film pertama, apalagi menangkap elemen terpenting dari kisah yang diangkat, yaitu “rasa”.

5 komentar :

  1. Hmmm boleh ditonton. Di nilai kurang karena dibandingkan dengan film pertama / emng film nya kurang bagus?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Film pertama disebut cuma buat alat bantu gambaran aja, bukan perbandingan apple to apple

      Hapus
  2. ini franchise IP MAN-nya Indonesia haha... eksploitasi biopik menjadi franchise box office

    BalasHapus
  3. ip man kapan keluar yaa mas rasyid?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Reguler 31 Desember. Tapi bisa aja weekend depan ada midnight dulu

      Hapus