BAD BOYS FOR LIFE (2020)
Rasyidharry
Januari 22, 2020
Action
,
Adil El Arbi
,
Alexander Ludwig
,
Bilall Fallah
,
Charles Melton
,
Comedy
,
Joe Carnahan
,
Joe Pantoliano
,
Kate del Castillo
,
Lumayan
,
Martin Lawrence
,
Paola Núñez
,
REVIEW
,
Vanessa Hudgens
,
Will Smith
4 komentar
Dirilis 17 tahun setelah film
keduanya, Bad Boys for Life tidak
berusaha merombak formula. Alurnya masih menganut pola klasik (kalau tidak mau
disebut klise), pula menerapkan twist
yang—biarpun tidak terduga—tergolong konyol ala film kelas B. Tapi sekali lagi,
filmnya memang tak pernah berniat merevolusi. Ditangani duo sutradara Adil El
Arbi dan Bilall Fallah yang juga ditunjuk mengarahkan Beverly Hills Cop 4, ini adalah bentuk modernisasi selaku
penyempurnaan tanpa perlu merusak warisan yang ditinggalkan.
Semuanya masih seperti yang kita
kenal. Mike Lowrey (Will Smith) masih si detektif playboy pembuat onar, sementara Marcus (Martin Lawrence) tetap
detektif penakut yang selalu mengutarakan keinginan pensiun. Hanya saja kali
ini ia serius. Setelah cucu pertamanya lahir, Marcus ingin menghabiskan lebih banyak
waktu bersama keluarga. Walau sang partner berusaha membujuk, keputusannya
sudah bulat. Sampai terjadi suatu insiden, dan bisa ditebak, Marcus bersedia
kembali untuk “one last ride”.
Saya tak bisa mengungkap detailnya, tapi insiden tersebut berjasa melakukan dua aspek. Pertama, memberi
suntikan emosi ke dalam persahabatan Marcus-Mike. Melalui dua film sebelumnya,
kerekatan mereka sukses dibangun, namun baru kali ini hubungan itu benar-benar
mempunyai hati. Bad Boys for Life sempat
memisahkan keduanya, dan sewaktu kembali bersatu, reuni mereka terasa bermakna,
apalagi setelah terjadinya insiden lain yang tak kalah mengejutkan. Reuni yang
akan membuat penonton mendukung Marcus dan Mike menghabisi para penjahat.
Aspek nomor dua adalah mematenkan
status pasangan ibu-anak keji, Isabel (Kate del Castillo) dan Armando (Jacob
Scipio), sebagai ancaman besar. Kesan itu sudah mulai dibangun sejak
menit-menit awal dalam sekuen keributan penjara, yang turut memperkenalkan
wujud modernisasi macam apa yang dibawa El Arbi dan Fallah. Lebih banyak darah,
sadisme, dan kekerasan eksplisit, yang selaras dengan sedikit sentuhan komedi
hitamnya sekaligus membuat aksinya lebih berwarna, bukan berhenti pada ledakan
bombastis semata. Kedua sutradara menguasai urusan timing, di mana beberapa momen brutal dapat memberi efek kejut.
Perihal aksi jarak dekat, El Arbi
dan Fallah adalah jagonya, tetapi dalam skala set piece lebih besar, mereka (tentu saja) belum selihai Michael
Bay, apalagi ditambah hadangan berupa keterbatasan biaya ($40 juta lebih rendah
dari Bad Boys II). Kekurangan itu
paling kentara saat Bad Boys for Life, serupa
Bad Boys II, memperlihatkan
penjahatnya melemparkan mobil ke arah protagonis kita di tengah kejar-kejaran, dengan
hasil akhir yang terkesan lebih kerdil. Pun penyuntingan di beberapa adegan
aksi bertempo tinggi kerap memunculkan disorientasi yang memusingkan (poin ini
sesungguhnya juga sering jadi masalah Bay).
Tapi sekali lagi, penggemar lama franchise-nya bakal tetap terpuaskan dan
takkan terasingkan. Naskah garapan Chris Bremner (akan menulis Bad Boys 4), Peter Craig (The Town, The Hunger Games: Mockingjay –
Part 1 & 2), dan Joe Carnahan (The
A-Team, The Grey) menyelipkan beberapa referensi terkait dua installment sebelumnya, sedangkan El
Arbi dan Fallah tak lupa mengulangi low-angle
shot berbalut gerak lambat ikonik franchise-nya.
Nostalgia serupa juga muncul
melalui jajaran pemainnya. Joe Pantoliano masih menghibur sebagai Conrad Howard
si Kapten pemarah yang gemar melempar komentar sarkas, dan tentunya duet pemeran
utamanya memproduksi kesolidan chemistry yang
tak sedikit pun luntur setelah 25 tahun. Smith dengan kharisma yang kali ini
dibarengi kerapuhan, dan Lawrence mempertahankan sisi spesial Marcus yang
menggelitik, namun mampu menjadi polisi yang kapabel tiap kali dibutuhkan.
Semakin spesial kala jajaran wajah
lama tersebut ditemani nama-nama baru yang tak berusaha mencuri spotlight, tapi memperkaya dinamika. Paola
Núñez sebagai Rita, mantan kekasih Mike sekaligus pemimpin Advanced Miami Metro
Operations (AMMO); Charles Melton sebagai Rafe si pemuda sok jago; Alexander
Ludwig sebagai Dorn si teknisi berbadan kekar; dan Vanessa Hudgens sebagai
Kelly yang tangguh. Tatkala tokoh-tokoh beda masa itu bersatu dalam pengarahan
bertenaga kedua sutradaranya, klimaks Bad
Boys for Life pun jadi perwujudan sempurna sebuah modernisasi.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:bad boys bad boys,
whatcha gonna do, whatcha gonna do,
When they come for you.
bahkan dari awal film, nuansa khas film bad boys ini tetap dipertahankan. masih ada kolerasi dengan film sebelumnya yang bikin senang pas nonton (bagi yang ngikutin, pasti langsung paham).
Semoga film2 legend seperti Rush Hour dan Die Hard dibuat lagi sekuelnya
Bang rasyid bikin ulasan tentang oscar 2020 dong
Humornya masih kurang nendang.belom bisa ngalahin obrolan mereka di toko elekrtronik...🤣🤣
Posting Komentar