31/01/20

MANGKUJIWO (2020)

0 View
Walau hasilnya belum begitu solid, seri terbaru Kuntilanak yang dimulai dua tahun lalu merupakan salah satu seri horor Indonesia paling berani. Ketimbang mengulangi formula kesuksesan trilogi lama yang dibintangi Julie Estelle, film pertama dan keduanya justru mengusung bentuk horor keluarga dengan menempatkan karakter anak-anak sebagai sentral. Selaku prekuel, Mangkujiwo menegaskan anggapan tersebut saat sekali lagi banting setir ke arah berbeda, bukan cuma dibandingkan para pendahulunya, juga horor-horor lokal kebanyakan.

Ketika budaya klenik kedaerahan biasanya sekadar jadi pajangan, naskah garapan Dirmawan Hatta (The Mirror Never Lies, Bulan di Atas Kuburan, Another Trip to the Moon) dan Erwanto Alphadullah (sebelumnya menjabat manajer produksi di Kuntilanak versi 2018) bersedia mengeksplorasi, bahkan menjadikannya amunisi menakut-nakuti. Begitu menyaksikan Brotoseno (Sujiwo Tejo) menjalankan ritual mencambuki dirinya atau membuat nasi kepal dengan darah dan organ-organ hewan sebagai lauk serta bumbu penyedap, anda akan menyadari Mangkujiwo bukan untuk penonton berperut lemah.

Alkisah, Brotoseno menyimpan dendam setelah disingkirkan dari keraton akibat fitnah Cokrokusumo (Roy Marten). Rencana pembalasan tercetus saat ia menemukan Kanthi (Asmara Abigail), gadis yang dipasung, juga akibat fitnah Cokrokusumo. Dibawanya Kanthi, dipasungnya si gadis di depan pengilon kembar (cermin kembar yang sama-sama dimiliki Brotoseno dan Cokrokusumo) untuk kemudian disiksa tiap malam menggunakan berbagai ritual ilmu hitam, guna menciptakan senjata membalas perbuatan Cokrokusumo.

Jadi, apakah asal muasal sosok Kuntilanak terjelaskan? Kurang lebih. Tersimpan gagasan menarik tentang bagaimana hantu mengerikan ini merupakan produk perebutan kekuasaan. Mangkujiwo adalah kisah mengenai orang-orang biasa yang dijadikan bidak para penguasa. Sayangnya pengilon kembar masih sebatas alat pemberi jalan pintas agar plotnya berjalan. Pokoknya cermin itu adalah cermin ajaib “pemberian” Laut Selatan yang bisa mengabulkan segala permintaan, alias memfasilitasi penulis melakukan apa saja tanpa perlu memikirkan rules atau logika, tidak peduli seacak apa pun itu.

Perseteruan Brotoseno dan Cokrokusumo berlangsung puluhan tahun, dan di sinilah Mangkujiwo menerapkan bentuk narasi non-linear yang cukup berisiko. Di awal durasi, kita seolah disuguhi berbagai cabang alur tak berkaitan yang silih berganti mengisi, termasuk soal Uma (Yasamin Jasem) si gadis remaja yang bekerja di sebuah hotel, dan tidak sengaja melihat pembunuhan yang dilakukan Karmila (Karina Suwandi) dan rekan-rekannya selaku penjual barang pusaka. Nantinya semua cabang tersebut bakal bertemu.

Kelebihan penceritaan non-linear ini adalah memperkuat bangunan misteri. Pertanyaan selalu muncul, menjaga kepadata alur sepanjang 106 menit perjalanan Mangkujiwo. Kelemahannya, tidak semua transisi antar lini waktu terjahit rapi. Lompatan-lompatan kasar kerap tercipta, pun di paruh awal—sebelum dua warna rambut Sujiwo Tejo bisa dipakai sebagai alat bantu membedakan latar waktu—potensi membuat penonton kebingungan cukup besar. Hal ini penting terkait menjaga atensi penonton. Apalagi Mangkujiwo bukan horor yang gemar menebar jump scare, sehingga kesolidan bercerita wajib hukumnya.

Minimnya penampakan mengagetkan hantu digantikan oleh pemandangan lain yang jauh lebih mencekam (dan membuat mual). Sutradara Azhar Kinoi Lubis (Kafir: Bersekutu dengan Setan, Ikut Aku Ke Neraka) memperlihatkan keterampilan memainkan atmosfer. Pacing-nya terjaga, sambil memastikan kamera menangkap tiap detail tata artistik, khususnya dalam ruang tempat Brotoseno melakoni ritual yang tampilannya menimbulkan perasaan tidak nyaman.

Azhar membuktikan bahwa membangun teror tidak melulu harus mengumbar penampakan murahan makhluk halus. Cukup kumpulkan beragam hewan (ular, kodok, kalajengking, laba-laba, cicak), biarkan berkeliaran, atau sekali waktu, bedah isi perut mereka. Mangkujiwo memang tidak takut menumpahkan darah atau organ tubuh, yang dampaknya begitu kuat berkat beberapa efek praktikal mumpuni. Kelemahan sang sutradara—yang telah nampak sejak Kafir—sayangnya masih bisa ditemukan. Azhar Kinoi Lubis jago membangun atmosfer atau mengeksploitasi gore, tapi tidak ketika dihadapkan pada adegan bertempo cepat berbumbu aksi. Klimaks yang mestinya jadi babak pembantaian puncak malah berakhir canggung. Efek slow motion diterapkan demi kesan dramatis, padahal pengadeganan aslinya sudah terlampau lambat.

Selain itu, walau jauh lebih baik dibanding mayoritas kompatriotnya sesama horor lokal, naskah Mangkujiwo juga belum sepenuhnya lepas dari lubang-lubang, dari yang menimbulkan pertanyaan “Kok bisa?”, hingga pengembangan karakter yang tak alamiah. Saya membicarakan karakter Uma di sini. Biarpun sudah “dicuci otak”, keputusannya memasuki babak akhir film tetap terlampau ekstrim, seolah ada jembatan proses yang dilompati.

Mangkujiwo juga memiliki jajaran pemain dengan akting memuaskan. Seperti biasa, apa pun yang dilakukan Sujiwo Tejo di layar selalu memancarkan kemistisan, meski adegan Brotoseno memainkan saksofon terlalu out-of-place (saya cukup yakin ini ide sang aktor). Septian Dwi Cahyo, yang mungkin lebih banyak dikenal selaku seniman pantomim, memerankan Sadi, asisten Brotoseno yang mempunyai badan bungkuk dan tak bisa bicara, tanpa harus jatuh ke ranah karikatur. Dibantu tata rias yang mendukung, Asmara Abigail menghidupkan sosok yang pastinya takkan mau anda temui langsung di dunia nyata. Sedangkan di usia yang baru akan menginjak 16 tahun, Yasamin Jasem menambah satu lagi daftar aktris muda potensial tanah air, selama ia terus mengasah penampilan sekaligus jeli memilih peran.

Di luar kekurangan yang masih bertebaran, setidaknya, Mangkujiwo berhasil membuat elemen kejawen bukan pernak-pernik sambil lalu. Di tiap sudutnya, aroma misterius dari budaya mistisisme itu selalu tercium. Ditambah intensi baik untuk tidak sekadar mengeksploitasi jump scare, juga pengembangan latar cerita memadai supaya status prekuel bukanlah tempelan semata (baca: alasan memperbanyak installment demi menambah profit), Mangkujiwo mampu memperpanjang napas seri Kuntilanak.

7 komentar :

  1. Setelah baca full ulasannya kirain bakal dikasih bintang 3, eh trnyata Mas Rasyid masih berbaik hati ngasih 3,5 wkwkwk. Btw klo cuma nonton trilogi originalnya kuntilanak (2006 - 2008) dan ngga nonton versi dwilogi terbarunya, apakah bakalan "mudeng" klo nonton Mangkujiwo ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bodoh amat, yg penting laku, kata produser

      Hapus
    2. Awalnya mau kasih 3, tapi ngerasa perlu apresiasi lebih sama keberanian franchise-nya terus berevolusi. Minimal nonton 2 film Kuntilanak versi baru

      Hapus
    3. Ya betul. Namanya bikin film mainstream ya "laku" itu jadi hal terpenting. Emang tujuan cari duit kok.

      Hapus
  2. MVP needs to see this review.

    BalasHapus
  3. Trio demit itu kayak diacungi jempol desainnya...

    BalasHapus
  4. Ada yang tau nggak sih urutan film kuntulanak. gw bingung nontonnya.
    kasih tau urutannya laa bang

    BalasHapus