Melalui Onward, Pixar kembali mengkreasi dunia imajinatif mereka sendiri.
Bayangkan Zootopia, tapi ganti para
hewan yang berperilaku dan hidup bagai manusia, dengan makhluk-makhluk mitologi.
Unicorn berebut makanan di tempat sampah seperti kucing liar, naga menggantikan
peran anjing selaku peliharaan, centaur berprofesi sebagai polisi, dan
lain-lain. Dan dalam dunia berisi deretan makhluk ajaib tersebut, tidak ada
keajaiban berupa sihir sebagaimana selalu kita lihat di berbagai kisah fantasi
yang melibatkan mereka.
Lebih tepatnya, sihir sudah
menghilang, digantikan oleh teknologi yang penggunaannya lebih praktis. Tidak
perlu merapal mantra, tidak perlu melalui latihan intens. Konsep menarik, walau
sulit menghilangkan harapan bahwa naskah buatan sutradara Dan Scanlon (Monsters University) bersama Keith Bunin
(Horns) dan Jason Headley (A Bad Idea Gone Wrong) lebih
mengeksplorasi cara kerja dunianya, sebagaimana selalu jadi keunggulan
judul-judul terbaik Pixar.
Di dunia inilah protagonis kita hidup.
Namanya Ian (Tom Holland), elf remaja yang canggung dalam bersosialisasi. Kakaknya,
Barley (Chris Pratt) terobsesi pada sejarah dunia khususnya ilmu sihir beserta
petualangan ajaibnya. Sedangkan sang ibu, Laurel (Julia Louis-Dreyfus),
sepeninggal suaminya, tengah menjalin hubungan dengan polisi centaur, Colt
Bronco (Mel Rodriguez).
Ian tidak pernah bertemu sang ayah,
dan cuma bisa mengenalnya lewat cerita-cerita Barley, beberapa lembar foto,
serta sebuah kaset berisi rekaman suaranya. Hati seperti ditusuk-tusuk saat
melihat Ian menciptakan obrolan imajiner dengan ayahnya menggunakan rekaman
tersebut. Jika momen itu terasa jujur dan intim, mungkin karena ide kisahnya
sendiri Scanlon dapat dari pengalaman personal kala sewaktu remaja, ia menerima
rekaman suara mendiang ayahnya dari seorang kerabat.
Lalu bertepatan dengan ulang tahun
ke-16 Ian, Laurel memberi kejutan. Sebuah kado dari sang ayah. Semakin
mengejutkan, karena kado itu adalah tongkat sihir beserta mantra yang dapat
membangkitkan orang mati selama sehari. Tapi akibat kurang pengalaman, Ian
hanya berhasil mengembalikan kaki ayahnya. Maka, Ian dan Barley harus berpacu
dengan waktu, menjalani misi guna mengembalikan ayah mereka secara utuh.
Sepanjang misi yang mempertemukan
keduanya dengan berbagai rintangan, mulai dari geng motor fairy, hingga gua
rahasia penuh teka-teki dan jebakan, Ian turut melatih kemampuannya sebagai
penyihir muda. Keberadaan ilmu sihir (dan elemen fantasi secara umum), membantu
Onward tampil lebih segar, biarpun alurnya
mengusung pakem standar film road trip.
Khususnya perihal spektakel, di mana Scanlon menunjukkan perkembangan pesat
sebagai sutradara pasca menjalani debutnya tujuh tahun lalu.
Disokong visual memikat yang
membantu menghidupkan dunia imajinatifnya (meski bukan produk visual terbaik
Pixar), Scanlon menyuguhkan petualangan mengasyikkan, yang melibatkan aksi seru
nan menegangkan dan proses memecahkan teka-teki sederhana. Sihir memang kerap
jadi jalan penyelesai masalah, tapi tidak berakhir sebagai jalan keluar yang
(terlalu) mudah, sebab Onward memastikan
bahwa Ian harus belajar dan bertumbuh lebih dulu. Alhasil, pertarungan besar di
klimaks jadi luar biasa memuaskan, sebab di situlah protagonis kita akhirnya membuktikan
perkembangannya setelah proses panjang.
Holland dan Pratt tidak
kesulitan menghidupkan figur remaja canggung dan pemuda nyeleneh, mengingat
peran semacam itu sudah beberapa kali keduanya lakoni. Hal serupa berlaku pada
Pixar, yang dikenal sebagai jagonya mengaduk-aduk perasaan penonton. Di sini,
bahkan pemandangan kecil seperti sepasang kaki yang saling bersentuhan saja
bisa begitu bermakna. Justru momen besarnya, yang diharapkan memberi puncak
emosi, mungkin takkan bisa diterima semua penonton.
Pertama, perlu dipahami dahulu,
pesan apa yang Onward ingin
sampaikan. Seperti judulnya, ini adalah kisah soal melangkah maju. Bukan
tentang mengejar masa lalu, melainkan bagaimana masa lalu berguna untuk masa
kini dan nanti. Sosok ayah yang telah tiada (masa lalu) membantu Ian menyadari
betapa berharganya Barley (masa kini). Ilmu sihir (masa lalu), berkontribusi
pada proses tumbuh kembang Ian (masa depan). Sementara di lingkup keluarga, Onward mengajak untuk lebih
memperhatikan orang-orang tercinta yang masih berada di samping kita, bukannya
tenggelam pada kerinduan terhadap sosok tercinta lain yang telah tiada.
Secara dampak emosi, resolusinya bisa
jadi dianggap antiklimaks, atau malah mengkhianati, oleh sebagian penonton, walau sebenarnya, pilihan konklusi itu sesuai dengan tujuan
filmnya. Sepertinya Onward juga
bentuk terapi pribadi bagi Scanlon sendiri. Bisa dipahami. TAPI, filmnya
terlanjur memberondong dengan ekspektasi yang melibatkan hati. Dan setelah
semua itu, tidak keliru bila ada penonton yang merasa dicurangi. Meminjam
istilah Jawa, apa yang Onward lakukan
itu “bener ning ora pener”.
Boleh aku berkomentar? Aku suka bgt sama film ini.. aku bahkan rela menonton film ini ratusan kali.. yg membuat aku tertarik di sini adalah sosok kakaknya.. dr awal aku lihat dia, dia sosok yg menyenangkan.. pengen bgt punya kakak sprti itu.. sayangnya dia kyk terjebak di masa lalu dan dunia yang tdk realistis.. tp akhirnya dia membuat dunia menghargai masa lalu.. persis seperti yang mas rasyid katakan di atas.. tapi aku bakal beri bintang 5 pd film ini..
BalasHapus