THE WILLOUGHBYS (2020)

3 komentar
Mary Poppins, The Wizard of Oz, Charlie and the Chocolate Factory, hingga The Addams Family (tata artistiknya ditangani Kyle McQueen yang juga menangani versi animasi The Addams Family), adalah judul-judul yang memberi inspirasi kuat terhadap adaptasi buku berjudul sama buatan Lois Lowry ini. Pun ucapan si kucing narator (Ricky Gervais) tentang bagaimana filmnya bukan kisah manis penuh cinta kasih keluarga yang berakhir bahagia pun mengingatkan pada A Series of Unfortunate Events.

Menilik deretan referensi di atas, timbul pertanyaan: Apakah The Willoughbys seaneh itu?. Ya. Apakah kisahnya tidak (berusaha tampil) manis? Tidak juga. Nuansa sentimentil tetap hadir dalam tuturannya mengenai keluarga. Bahwa keluarga yang sesungguhnya tidak harus punya ikatan darah denganmu. Bahwa kamu bisa memilih siapa keluargamu. Dan di situ letak masalahnya. The Willoughbys kesulitan menyeimbangkan opsi-opsi pendekatannya. Apakah animasi semua umur atau dewasa? Apakah animasi mean-spirited atau heartwarming?

The Willoughbys adalah keluarga dengan sejarah panjang, yang tinggal di sebuah rumah kuno di tengah-tengah kota modern. Dahulu nama keluarga ini begitu tersohor. Dengan kumis tebal berwarna merah yang bahkan juga dipunyai para wanita, leluhur Willoughby melakukan beragam hal luar biasa. Sekarang kondisinya berbeda. Mr. dan Mrs. Willoughby (Martin Short dan Jane Krakowski) terlalu sibuk berasyik masyuk. Dahulu nama keluarga ini begitu tersohor, tapi saat Tim (Will Forte) si putera sulung lahir, hanya nama yang orang tuanya beri padanya. Tidak ada perhatian, nihil kasih sayang. Bahkan jika berbuat “nakal”, Tim dikurung dalam gudang batu bara oleh sang ayah.

Mengetahui sejarah panjang keluarga, Tim terobsesi (baca: terbebani) oleh nama “Willoughby”. Dia ingin menjadi Willoughby hebat yang mengembalikan kejayaan keluarga. Sering ia mencoba berlagak tangguh, bahkan tak jarang, tanpa belas kasihan. Sebuah pengingat betapa beban sebuah nama dapat menghasilkan dampak negatif bagi sang penerus, juga soal pengaruh buruknya pola asuh. Anak mungkin membenci orang tua akibat perlakuan tak menyenangkan yang diterima, tapi tanpa disengaja, mungkin saja terjadi mirroring, dan kelak sang anak menjadi sama seperti orang tuanya.

Saya marah menyaksikan tingkah Mr. dan Mrs. Willoughby, karena semua itu tidak dibuat-buat. Orang tua yang menganggap anak sebagai beban bukan pemandangan langka. Walau demikian, banyak dari mereka melanjutkan proses reproduksi. Total ada empat anak di keluarga Willoughbys. Selain Tim, ada Jane (Alessia Cara) si gadis penyayang, dan si kembar Barnaby (Seán Cullen) yang punya nama sama, mungkin karena orang tuanya malas memikirkan dua nama, atau malah tidak sadar kalau putera bungsu mereka kembar.

Keempatnya hidup menderita. Keempatnya diberi jatah makanan sisa kemarin, yang mana selalu orang tua mereka habiskan. Siapa yang memasak untuk keluarga ini? Bukankah tidak ada pelayan? Tapi saya rasa logika semacam itu tidak berlaku. Bahkan untuk standar animasi, The Willoughbys tergolong “di luar nalar”. Ini adalah film yang menempatkan seekor kucing sebagai narator. Ini adalah film di mana empat anak kecil berusaha menjadi yatim piatu.

Memang gelap. Bahkan Linda (Maya Rudolph) si pengasuh eksentrik yang baik hati punya masa lalu yang tidak diisi tawa riang. Bagaimanapun juga ini adalah cerita tentang pengabaian. Anak-anak Willoughbys menemukan bayi yang ditinggalkan dalam kotak di depan gerbang rumah mereka. Jane ingin merawat sang bayi—yang oleh Tim diberi nama Ruth (dari kata “ruthless”)—namun ditentang orang tuanya, yang mengancam bakal mengusir mereka berempat kalau tidak membuang Ruth.

Mulai jengah, Jane pun mencetuskan ide mengirim Mr. dan Mrs. Willoughby ke sebuah liburan palsu, agar mereka berempat bisa menjadi yatim piatu. Setelahnya, anda mungkin bisa menduga peristiwa apa yang menanti, tapi tidak dengan pilihan kreatif dan pendekatan artistiknya. Siapa sangka karyawan-karyawan yayasan penampungan yatim piatu tampil bak anggota Men in Black?

The Willoughbys berani tampil kelam, karakter anak-anaknya sempat terjebak dalam bahaya mematikan yang bahkan lebih mengerikan dibanding klimaks Toy Story 3, mengingat mereka adalah anak-anak manusia sungguhan. Dan tidak seperti animasi heartwarming, tidak ada penebusan dosa di konklusi film ini. Walau demikian, sutradara Kris Pearn (Cloudy with a Chance of Meatballs 2, 2013) membalut visualnya dengan pelangi dan banjir permen beraneka warna.

Tapi bukan itu masalahnya, melainkan ketidakmulusan The Willoughbys beralih tone dari suasana kelam yang sesekali kejam menuju rasa manis jelang konklusi. Kris Pearn dan Mark Stanleigh selaku penulis naskah ingin menggabungkan tone serta bahan baku sebanyak mungkin, yang melahirkan kekacauan plot bertempo cepat, yang melucuti emosi akibat ketiadaan ruang bagi penonton meresapi rasa.

Begitu pula humornya. Sebuah mixed bag antara banyolan kekanak-kanakan demi memuaskan audiens luas dengan komedi berorientasi dewasa. Humor gelapnya lucu sekaligus segar, semisal saat Tim membayangkan berbagai skenario kematian kedua orang tuanya saat liburan. Sedangkan signifikansi humor bocahnya patut dipertanyakan. Bersediakah anda mengajak anak, adik, atau ponakan menonton animasi tentang anak yang berusaha membunuh orang tuanya? Apa anda siap menjawab jika mereka bertanya kenapa orang tua di film ini berkali-kali membiarkan anak-anak mereka nyaris mati? Kreativitas The Willoughbys mengagumkan, tapi begitu memutarkannya ke anak, mungkin anda akan berpikir, “Kenapa aku tidak memutarkan film tentang sekumpulan trolls yang bisa bernyanyi itu saja ya?”.


Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Bang, ada niatan buat review drakor the world of married yang edan dan jahanam itu gak bang?

Madhunrijalun mengatakan...

Kingdom dulu bang. Baru the world of married...

Rasyidharry mengatakan...

Cukup marah-marah di twitter aja kalo World of Married. Kalo di sini jadi kebanyakan kata kasar nanti

Kalo Kingdom, well, season 1 luar biasa bosennya. Season 2 baru itu keren