Apa yang Bulbbul gagal
lakukan adalah menyuguhkan horor mencekam. Sinopsis di halaman Netflix hingga
materi-materi promosinya ibarat clickbait
guna menggaet atensi penonton secara luas, membuat mereka berharap diteror,
lalu mendapati filmnya lebih tertarik menyajikan drama, meski memang betul,
mengandung elemen supernatural. Pun Anvita Dutt, yang melakoni debut
penyutradaraan selepas karir panjang sebagai penulis lirik soundtrack, belum piawai memaksimalkan intensitas dalam membungkus
adegan bernuansa horor.
TAPI, sebagai kritik terhadap isu gender, Bulbbul tampil tegas sekaigus berani
mendobrak batas. Bukan kejutan, mengingat film ini diproduseri oleh Anushka
Sharma—yang selalu vokal menyuarakan perihal kesetaraan gender—di bawah naungan
rumah produksi miliknya, Clean Slate Films.
Mengambil latar tahun 1881, kita diperkenalkan pada sepasang
bocah berusia 5 tahun, Bulbbul dan Satya. Tidak butuh waktu lama sampai kita
sadar, Bulbbul hendak dibawa pergi dari rumah orang tuanya untuk dinikahkan.
Tapi bukan dengan Satya (which is
disturbing enough), melainkan dengan Indranil (Rahul Bose), kakak sulung
Satya yang puluhan tahun lebih tua. Bulbbul
memang gagal menampilkan horor supernatural memikat, namun kisahnya
memaparkan realita yang jauh lebih mengerikan.
Selain Indranil dan Satya, di rumah tersebut juga tinggal saudara
kembar Indranil yang mengalami gangguan mental, Mahendra (juga diperankan Rahul
Bose) beserta sang istri, Binodini (Paoli Dam). Mahendra pun diperlihatkan
menyimpan ketertarikan pada si kecil Bulbbul. Patriarki mengakar begitu kuat di
keluarga ini, bahkan saat Bulbbul menjadi korban pelecehan, alih-alih
mengulurkan tangan sebagai sesama wanita, Binodini malah menyuruhnya bungkam.
Itulah salah satu bentuk realita pahit yang tak
dikesampingkan oleh naskah buatan Anvita Dutt. Sebagaimana gay bisa menjadi homophobic, orang kulit hitam bisa
bertindak rasis terhadap komunitasnya, seksisme pun dapat terjadi antara wanita
yang sama-sama jadi korban ketidakadilan. Sebabnya tak lain konsep patriarki
yang telah mengakar sedemikian kuat dan dilestarikan sedemikian lama. “Satu-satunya
hal pribadi dalam hidup istri adalah suaminya”, kata Indranil. Kalimat tersebut
cukup menggambarkan keseluruhan dinamika yang terjadi.
Kemudian kisahnya melompat 20 tahun, ketika Satya (Avinash
Tiwary) pulang dari London setelah menumpuh pendidikan hukum. Dia mendapati
banyak perubahan. Indranil telah pergi, Mahendra tewas dibunuh oleh pelaku yang
belum diketahui, sedangkan Bulbbul (Tripti Dimri) menjadi matriarch di keluarga. Satya merasa Bulbbul kini berbeda, dan
penampilan Tripti Dimri, yang sebelumnya pernah berpasangan dengan Avinash
Tiwary dalam Laila Majnu (2018),
membuat kita ikut mengamini itu. Alurnya bergerak maju-mundur. Pada bagian flashback, Bulbbul masih sesosok wanita
rapuh. Seorang korban yang hanya bisa pasrah dan beserah. Sementara di “era
sekarang”, figurnya kokoh matanya bersinar, senyumnya lebar, menampakkan kesan
cerah yang agak aneh (in a positive way),
intimidatif, bahkan cukup creepy.
Tapi bukan cuma perubahan Bulbbul yang mengganggu pikiran
Satya, pula kasus pembunuhan berantai yang semua korbannya adalah pria,
tepatnya pria yang melakukan tindak kekerasan serta pelecehan kepada wanita.
Dia pun mulai melakukan penyelidikan. Beberapa warga, termasuk Binodini,
percaya bahwa pelakunya adalah penyihir dari legenda, walau Satya menaruh
kecurigaan pada dokter bernama Sudip (Parambrata Chattopadhyay). Kecurigaan
yang sejatinya bercampur rasa cemburu akibat kedekatan sang dokter dengan
Bulbbul.
Beberapa adegan pembunuhan ditampilkan, mayat-mayat
dipertontonkan, tapi seperti telah disinggung, Anvita Dutt belum memiliki
kapasitas memadai guna memunculkan kengerian dan ketegangan dari rentetan
peristiwa di atas. Sang sutradara cenderung mementingkan visual bergaya, salah
satunya lewat penggunaan warna merah darah di adegan malam hari. Filmnya
ditutup oleh efek suara tawa (atau tangisan?) wanita yang amat menyeramkan,
memunculkan pertanyaan mengapa elemen itu tidak diterapkan sejak awal.
Adegan-adegan yang memperlihatkan pernikahan anak, domestic abuse, pedofilia, sampai
pemerkosaan justru jauh lebih mengerikan serta menjijikkan, seolah Anvita jauh
lebih tertarik mempresentasikan itu ketimbang horor supernaturalnya. Dan
memang, paparan isunya kuat sekaligus berani. Romantisme ditiadakan demi
menyuarakan “para pria ini semuanya sama”. Para pria yang dibutakan kecemburuan
berdasarkan pemikiran bahwa si wanita merupakan miliknya, dan miliknya seorang.
Pun gangguan mental tak bisa dijadikan pembenaran atas ketidakmampuan pria
menyimpan kelaminnya tetap di dalam celana.
Available on NETFLIX
test
BalasHapus